Luwuk, Banggai (ANTARA) - Hidup dalam keterbatasan bukan alasan menyerah pada keadaan, utamanya mengenyam pendidikan tinggi. Malonge (25), warga sub Dusun 3 Tombiobong, Desa Maleo Jaya, Kecamatan Batui Selatan, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, salah satu contohnya.
Perkampungan yang dihuni 32 kepala keluarga ini, tidak ada fasilitas pendidikan maupun kesehatan, kala itu. Untuk menempuh pendidikan, sebagian anak harus berjalan kaki ke desa induk sejauh lima kilometer dan harus menyeberangi sungai deras. Jika musim penghujan, bisa dipastikan mereka tidak bersekolah, apalagi kalau terjadi banjir.
Malonge cukup beruntung karena tak harus melalui penderitaan itu. Ia diambil sebagai anak angkat oleh Djakaria Madaa, warga Kecamatan Kintom, yang mengenal keluarganya saat masih berusia 6 tahun. Di sana, Malonge disekolahkan dari Sekolah Dasar Negeri 2 Kintom, SMP 1 Kintom hingga tamat Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Kintom. Seluruh biaya ditanggulangi ayah angkatnya, meskipun sesekali orang tuanya juga mengirimkan uang tambahan dari hasil mencari hasil hutan dan berkebun.
“Kakek saya berteman dengan pak Djakaria. Dulu mereka sama-sama cari rotan di hutan. Jadi saat saya kecil beliau jemput untuk disekolahkan,” kata Malonge, di sela-sela kegiatan CSR JOB Pertamina-Medco Tomori Sulawesi (JOB Tomori) pada warga KAT Tombiobong, Minggu (30/5/2021).
Pemuda kelahiran 5 September 1996 ini mengungkapkan saat kecil di kampungnya tidak ada fasilitas yang memadai, baik dari sisi infrastruktur jalan, jembatan, pendidikan maupun kesehatan. Masyarakat sudah dikenalkan dengan cara hidup menetap, tteapi belum ditopang fasilitas umum.
Beberapa fasilitas umum baru dibangun dalam tiga tahun terakhir ini seperti fasilitas kesehatan dengan dukungan bidan desa, pendidikan anak usia dini (PAUD) yang merupakan kerja sama Pimpinan Daerah Aisyiyah Kabupaten Banggai dengan JOB Tomori, serta jembatan gantung yang dibuat oleh 'vertical rescue' melalui program 1.000 "jembatan merdeka" bekerja sama dengan Agri Kencana Ltd.
“Setelah lulus SMA, saya lanjut kuliah di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Tompotika Luwuk,” tutur Malonge lagi. Masuk kuliah pada tahun 2014, anak dari pasangan Bohom (50) dan Hiburan (40) ini, sejatinya bisa menyelesaikan pendidikan dan mendapatkan gelar strata satu (S1) tahun 2018. Sayang, kala itu Ia terbentur biaya kuliah, sehingga harus menunda untuk maju ujian proposal dan skripsi.
“Saya juga tidak pernah mendapatkan beasiswa sejak SD. Bahkan kuliah saya berharap mendapat beasiswa, tapi ternyata tidak dapat juga. Akhirnya, saya baru bisa wisuda pada tahun 2019, tertunda satu tahun,” ungkapnya.
Malonge pun berkeluh akan perhatian pemerintah terkait pendidikan di kampung halamannya, dan ia berharap ke depan ada perhatian khusus bagi mereka yang merupakan Komunitas Adat Terpencil (KAT), khususnya pembangunan di bidang pendidikan dan kesehatan.
Meski terbilang orang pertama yang berhasil meraih gelar sarjana di KAT Tombiobong, namun ia bukan yang terakhir. Kakaknya, juga tengah menempuh pendidikan dan sudah berada di semester VI Fakultas Pertanian Untika Luwuk.
“Kakak juga ikut orang dan sekarang kuliah semester keeman,” ungkap anak ke-4 dari enam bersaudara ini.
Selesai kuliah, Malonge kini mengabdi sebagai tenaga honorer di Puskesmas Sinorang, Kecamatan Batui Selatan. Setiap hari, Ia harus melewati jalan rusak dan jembatan gantung untuk tiba di tempat kerjanya.
“Saya berharap ke depan bisa mendapatkan pekerjaan tetap, sehingga saya bisa membantu biaya pendidikan adik – adik saya karena kalau hanya harap pendapatan honorer tidak cukup,” imbuhnya.
Malonge mengatakan, saat ini baru ayahnya yang belajar bercocok tanam tetap. Sementara warga KAT Tombiobong lainnya masih menjalani kegiatan mata pencaharian secara turun temurun yakni mencari hasil hutan seperti rotan, damar dan berburu hewan.
“Kalau orang-orang tua di sini pergi ke hutan untuk mengolah damar dan rotan biasanya selama satu bulan baru mereka kembali ke rumah,” ujarnya.
Penduduk di KAT Tombiobong yang merupakan salah satu komunitas Suku Saluan di Kabupaten Banggai umumnya belum fasih berbahasa Indonesia, dan mereka masih menggunakan Bahasa Saluan, salah satu dari tiga suku asli Banggai.