Resensi - 'The Comfort Zone' anjuran agar tak meninggalkan zona nyaman

id The comfort zone,Zona nyaman,kristen butler,best seller,aruna books

Resensi - 'The Comfort Zone' anjuran agar tak meninggalkan zona nyaman

Buku The Comfort Zone Emang Boleh Senyaman Ini? karya Kristen Butler telah terjual lebih dari 100.000 eksemplar dan diterjemahkan dalam 10 bahasa. (ANTARA/Hanni Sofia)

Jakarta (ANTARA) - Ketika banyak orang percaya bahwa untuk maju harus keluar dari zona nyaman, Kristen Butler justru hadir dengan pesan yang kontradiktif sekaligus menyegarkan yakni “Masuklah ke zona nyamanmu. Nikmati. Rayakan.”

“Jangan tinggalkan zona nyaman karena zona nyaman itu enak,” demikian prinsipnya.

Pemikirannya itu dituangkan dalam buku berjudul The Comfort Zone, terbit pada 2023, dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul 'Emang Boleh Senyaman Ini?' diterbitkan oleh Penerbit Aruna Books pada Juni 2024.

Pemikiran yang berbeda dengan kebanyakan orang itu seketika membawa buku ini menjadi international best seller sekaligus menempatkan buku ini sebagai salah satu buku yang paling banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, hingga saat ini tercatat telah alih ke dalam 10 bahasa.

Buku setebal 374 halaman ini memang membawa perspektif baru tentang kenyamanan yang sering dipandang sebelah mata oleh mereka yang mendewakan tantangan. Pantas jika sampai saat ini telah terjual lebih dari 100.000 eksemplar.

Judul buku ini saja sudah menggoda. Alih-alih berlagak serius seperti motivator kebanyakan, Butler justru menggoda pembaca untuk mempertanyakan ulang anggapan klise bahwa "zona nyaman adalah musuh."

Dengan gaya bahasa santai yang penuh kehangatan, Butler seakan berbicara langsung kepada pembacanya, seperti seorang teman yang dengan lembut menyadarkan bahwa tidak ada salahnya merasa nyaman.

Bahkan, dari kenyamanan itulah seseorang sebenarnya bisa tumbuh tanpa stres yang bisa menggerogoti tubuh dan jiwa.

Kristen Butler, yang dikenal sebagai pendiri Power of Positivity dan penulis buku laris 3 Minute Positivity Journal, tidak sekadar menawarkan teori hampa. Ia membawa kisah hidupnya sebagai bukti.

Dalam bab pembuka, ia mengungkap perjalanan hidupnya yang penuh gejolak, dari tekanan karier hingga kehidupan pribadi yang hampir membawanya ke jurang kelelahan fisik dan mental. Di titik terendah itu, ia menemukan sesuatu yang selama ini diabaikan: rasa nyaman.

Dari sana, ia mulai membangun hidupnya kembali, bukan dengan memaksa dirinya untuk "melawan rasa takut" atau "menghancurkan batasan," tetapi dengan memeluk apa yang membuatnya merasa damai.

Butler memberikan argumen menarik yang dibalut riset psikologi dan pengalaman hidup nyata. Ia menjelaskan bahwa otak manusia justru bekerja lebih optimal ketika berada dalam keadaan nyaman.

Zona nyaman bukanlah kubangan stagnasi, melainkan ruang di mana kreativitas bisa berkembang tanpa tekanan.

Ia mengibaratkan zona nyaman sebagai taman yang subur; hanya dengan berada di sana dan merawatnya, seseorang bisa menuai buah yang manis.

Terjemahan bahasa Indonesia yang dikerjakan dengan apik oleh Widyawati, Rediningrum ini mampu mempertahankan nada asli Butler yang ramah dan menginspirasi.

Gaya bahasa Kristen Butler yang ringan, penuh keakraban, dan sesekali reflektif membuat buku ini enak dibaca bahkan untuk mereka yang skeptis terhadap buku self-help. Setiap paragraf terasa seperti percakapan, tidak pernah menggurui, dan selalu memberi ruang bagi pembaca untuk merenung.

Meski buku ini santai, jangan kira isinya kosong. Butler memberikan langkah-langkah praktis untuk menciptakan zona nyaman yang produktif.

Salah satunya adalah dengan mengenali hal-hal kecil yang membuat pembacanya merasa tenang dan nyaman, cara tercepat dan termudahnya adalah dengan melakukan hal-hal yang menyenangkan.

Kebanyakan orang menjalani hari-harinya tanpa pernah bertanya apa yang menyenangkan bagi diri mereka.

Ia juga menekankan pentingnya mengatakan "tidak" pada hal-hal yang tidak selaras dengan nilai atau kebutuhan masing-masing orang.

Buku 'Emang Boleh Senyaman Ini?' mengajarkan bahwa kekuatan bukan berasal dari memaksa diri untuk melampaui batas, melainkan dari mengetahui kapan harus berhenti.

Ada satu bagian yang sangat menyentuh, yaitu ketika Butler berbicara tentang pentingnya memberi diri sendiri izin untuk berhenti sejenak. Dalam budaya yang sering kali memuja produktivitas tanpa henti, saran ini terasa seperti angin segar.

Butler tidak meminta semua orang untuk menjadi malas; ia hanya mengingatkan bahwa manusia butuh jeda untuk benar-benar hidup. Dari jeda itulah lahir ketenangan, dan dari ketenangan, datanglah kebijaksanaan.

Buku ini tidak hanya berbicara kepada para pekerja yang sibuk atau mereka yang sedang mengalami kebuntuan. Pesannya universal, yakni siapa pun yang merasa terlalu keras pada diri sendiri atau terjebak dalam siklus tekanan sosial akan menemukan pelipur lara di sini.

Dengan penuh kasih, Butler mengajak pembaca untuk merangkul zona nyaman mereka tanpa rasa bersalah. Ia mengingatkan bahwa tidak ada gunanya berlari terlalu kencang jika seseorang lupa menikmati perjalanan.

Buku Fenomenal

Amy Shah, pakar kesehatan dengan sertifikasi ganda serta penulis  'I’m So Effing Tired', menyebut Kristen Butler sebagai seorang pembaharu dalam bidang pola pikir.

“Ini adalah area yang sangat perlu kita benahi untuk meningkatkan kesehatan pikiran dan tubuh yang mengalami kelelahan total. Beberapa orang mungkin awalnya melihat premis buku ini berlawanan dengan intuisi lalu berpikir, ‘tunggu, apa?’

Namun begitu kau memahami pesan tentang bagaimana zona nyaman bukan penghalang yang menghambatmu untuk meraih impianmu, melainkan sebaliknya, ini akan mengubah hidupmu. Buku inilah yang dibutuhkan dunia saat ini,” katanya dalam testimoni buku tersebut.

Sementara Vex King, penulis buku terlaris nomor 1 di Sunday Times menyebut buku The Comfort Zone sebagai buku fenomenal dan menyentuh. “Itulah yang telah dilakukan Kristen untuk dirinya sendiri dan kini ia menginspirasi jutaan orang di seluruh dunia untuk menjalani hidup yang penuh keberlimpahan dan kebahagiaan,” katanya.

Namun, buku ini tidak luput dari beberapa kelemahan. Ada bagian-bagian yang terasa repetitif, terutama ketika Butler kembali menekankan pentingnya "berdamai dengan diri sendiri." Bagi sebagian pembaca, pesan ini bisa terasa berulang.

Tetapi mungkin itu adalah bagian dari strategi Butler untuk menekankan bahwa konsep ini memang penting dan sering diabaikan.

Selain itu, bagi pembaca yang terbiasa dengan pendekatan motivasi berbasis dorongan keras atau narasi “kalau tidak keluar dari zona nyaman, kamu gagal,” buku ini mungkin terasa terlalu lembut.

Namun, justru kelembutan inilah yang menjadi kekuatan Butler. Dalam dunia yang keras, ia menawarkan oasis untuk berhenti sejenak dan mengingat apa yang benar-benar penting.

Akhirnya, buku 'Emang Boleh Senyaman Ini?' bukan hanya sebuah buku, tetapi juga undangan untuk berdamai dengan diri sendiri.

Dengan membaca buku ini, siapapun akan seperti diingatkan bahwa kenyamanan bukanlah kemunduran, melainkan fondasi untuk bergerak maju.

Jika seseorang sedang mencari panduan hidup yang lebih ramah, tanpa tekanan untuk menjadi sempurna, buku ini adalah jawaban yang dibutuhkan.

Ketika menutup halaman terakhir buku ini, pembacanya mungkin akan tersenyum dan berkata kepada diri sendiri: “Emang Boleh Senyaman ini? Ternyata boleh banget!”

Kristen Butler telah menulis sebuah buku yang tidak hanya menginspirasi, tetapi juga menenangkan, sebuah pelukan hangat di tengah dunia yang penuh tuntutan. Dan siapa yang tidak butuh pelukan seperti itu?

Butler, melalui bukunya, mengingatkan kita bahwa dalam hiruk-pikuk dunia yang kerap mendewakan ambisi dan kerja keras tanpa henti, kenyamanan adalah ruang yang sah untuk dihuni.

Buku 'Emang Boleh Senyaman Ini?' bukan hanya sekadar bacaan, melainkan sebuah pernyataan sikap bagi siapa saja yang ingin menemukan kedamaian di tengah tekanan kehidupan.

Dalam setiap halamannya, Butler mengajak kita untuk berani mendefinisikan ulang makna sukses, bukan dari seberapa jauh kita melampaui batas, tetapi dari seberapa baik kita menjaga diri untuk terus berjalan.

Sebuah pesan yang sederhana namun berdaya besar: terkadang, langkah terbesar menuju kebahagiaan adalah berhenti sejenak, berikan diri kita jeda lalu merenung, mencari arti untuk menikmati zona nyaman kita sendiri.