Jakarta (ANTARA) - Baru-baru ini, Komisi I DPR RI mengirimkan draf RUU Penyiaran tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun 2002 kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR. Draf terbaru yang diterima tertanggal 27 Maret 2024 ini telah memicu perdebatan sengit dan penolakan dari berbagai kalangan.
RUU Penyiaran ini diusulkan dengan tujuan memperbarui regulasi penyiaran yang telah berusia lebih dari dua dekade. Komisi I DPR RI berargumen bahwa perubahan ini diperlukan untuk menyesuaikan regulasi dengan perkembangan teknologi dan dinamika industri penyiaran yang semakin kompleks. Penolakan terhadap RUU ini didasarkan pada beberapa alasan utama yang perlu mendapat perhatian serius.
Draf terbaru RUU Penyiaran ini dianggap kontroversial karena sejumlah alasan, termasuk ketentuan yang dinilai dapat membatasi kebebasan pers dan memperkuat kontrol pemerintah terhadap media. Berbagai organisasi jurnalis dan aktivis hak asasi manusia telah mengeluarkan pernyataan menolak RUU ini, dengan alasan bahwa kebijakan yang diusulkan dapat membahayakan prinsip-prinsip demokrasi dan kebebasan berekspresi.
RUU yang dikeluarkan pada 27 Maret 2024 menimbulkan beberapa kritik utama. Kritik pertama, adalah keterlibatan pemerintah yang berlebihan dalam mengatur konten penyiaran. Pasal-pasal dalam draf RUU ini dinilai berpotensi mengancam kebebasan pers dan independensi media, mengingat pengalaman masa lalu di mana campur tangan pemerintah sering menyebabkan sensor dan pembatasan kebebasan berekspresi.
Kritik kedua, adalah kurangnya partisipasi publik dalam penyusunan RUU ini. Sejumlah asosiasi penyiaran, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil merasa tidak dilibatkan secara cukup dalam proses konsultasi dan dialog.
Kritik ketiga, adalah potensi dampak ekonomi negatif. Regulasi yang terlalu ketat dan kontrol pemerintah yang berlebihan dapat membuat investor enggan berinvestasi di sektor penyiaran, menghambat inovasi dan pertumbuhan ekonomi.
Kritik keempat, adalah kendala teknologi. RUU ini dianggap belum sepenuhnya mengakomodasi perkembangan teknologi penyiaran, seperti konvergensi media dan digitalisasi, sehingga bisa menjadi penghambat inovasi teknologi.
Reaksi signifikan terhadap RUU ini muncul dari berbagai perspektif. Dari perspektif regulasi, perubahan terhadap UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran seharusnya mempertimbangkan dinamika industri penyiaran yang terus berkembang, termasuk aturan mengenai penyiaran digital, platform OTT, dan hak cipta.
Dari perspektif sosial, penyiaran memainkan peran penting dalam membentuk opini publik dan budaya masyarakat, sehingga aturan dalam RUU ini harus melindungi kepentingan publik dan mencegah monopoli atau dominasi oleh beberapa pemain besar.
Dari perspektif ekonomi, pelaku industri penyiaran khawatir bahwa aturan baru dapat membebani operasional dan menurunkan daya saing mereka, terutama jika regulasi tersebut memperkenalkan biaya tambahan atau pembatasan yang ketat.
Dari perspektif politik, penolakan terhadap RUU ini juga bisa dilihat dari perspektif politik, di mana ada kepentingan-kepentingan tertentu yang bermain. Dukungan atau penolakan dari berbagai fraksi di DPR serta tekanan dari kelompok-kelompok masyarakat atau industri, bisa sangat mempengaruhi proses legislasi. Misalnya, jika RUU ini dianggap lebih menguntungkan kepentingan politik tertentu atau mengancam kebebasan pers, maka tidak heran jika ada penolakan yang signifikan.
Penolakan terhadap RUU Penyiaran terbaru ini mencerminkan kekhawatiran yang mendalam tentang masa depan kebebasan pers dan independensi media di Indonesia. DPR dan pemerintah perlu mendengarkan suara dari berbagai kalangan, termasuk media, akademisi, dan masyarakat sipil, untuk menyusun regulasi yang tidak hanya melindungi kepentingan nasional, tetapi juga menjamin kebebasan berekspresi dan pertumbuhan ekonomi di sektor penyiaran. Sebuah RUU yang disusun tanpa partisipasi publik yang memadai dan transparansi hanya akan menghasilkan regulasi yang dipertanyakan legitimasi dan efektivitasnya.
Secara ekonomi, penolakan RUU ini juga dapat dipahami dari sudut pandang para pelaku industri penyiaran. Mereka mungkin merasa bahwa aturan baru dapat membebani operasional dan menurunkan daya saing mereka, terutama jika regulasi tersebut memperkenalkan biaya tambahan atau pembatasan yang ketat. Industri penyiaran membutuhkan regulasi yang tidak hanya melindungi konsumen, tetapi juga mendorong inovasi dan investasi. Jika RUU ini dianggap terlalu restriktif, pelaku industri mungkin akan menolaknya demi mempertahankan kelangsungan bisnis mereka.
Secara keseluruhan, penolakan terhadap RUU Penyiaran ini mencerminkan kompleksitas isu yang dihadapi. Regulasi penyiaran haruslah seimbang antara perlindungan kepentingan publik, kemajuan industri, dan kebebasan berekspresi. Legislasi yang baik harus mampu menjawab tantangan-tantangan ini dengan cermat dan inklusif, melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam proses penyusunannya. Hanya dengan demikian, regulasi yang dihasilkan bisa diterima luas dan efektif dalam pelaksanaannya.
Dalam hal ini pula menimbulkan spekulasi dari pandangan mahasiswa yang dengan tegas menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) yang saat ini sedang dibahas oleh pemerintah dan DPR. Penolakan ini bukanlah tanpa dasar, melainkan karena beberapa alasan yang mendasar dan krusial.
Pertama, RUU tersebut kurang transparan dalam proses penyusunannya. Sebagai warga negara, kita berhak mendapatkan informasi yang jelas dan lengkap mengenai isi dan tujuan dari setiap RUU yang sedang dibahas. Transparansi merupakan fondasi penting dalam demokrasi, karena memungkinkan masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif dan kritis dalam proses legislasi. Sayangnya, dalam kasus ini banyak sekali pasal-pasal yang terkesan disembunyikan dan tidak dijelaskan secara rinci kepada publik.
Kedua, banyak pasal dalam RUU tersebut yang dirasa merugikan rakyat kecil. Sebagai contoh, beberapa ketentuan di dalamnya berpotensi membatasi kebebasan berpendapat dan berserikat, yang merupakan hak dasar setiap warga negara. Ini sangat mengkhawatirkan, mengingat kebebasan tersebut adalah pilar penting dalam kehidupan demokratis dan akademis. Mahasiswa dan masyarakat luas harus memiliki ruang untuk menyampaikan pendapat tanpa takut dikriminalisasi atau diintimidasi.
Ketiga, mahasisws merasa bahwa RUU ini disusun tanpa melibatkan partisipasi publik yang memadai. Sebagai mahasiswa, mewakili suara muda yang peduli terhadap masa depan bangsa, namun merasa diabaikan dalam proses penyusunan RUU ini. Partisipasi publik bukan hanya sekadar formalitas, tetapi esensi dari demokrasi yang sesungguhnya. Jika aspirasi dan kekhawatiran masyarakat tidak didengarkan, maka proses legislasi ini tidak mencerminkan kehendak rakyat.
Oleh karena itu, para mahasiswa juga mendesak pemerintah dan DPR untuk menghentikan pembahasan RUU ini dan membuka dialog yang lebih luas dan inklusif dengan semua elemen masyarakat. Mahasiswa berharap agar setiap RUU yang akan disahkan benar-benar mencerminkan keadilan sosial dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
*) Devanya Theresia Siregar, Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Medan Area