Ketika warga sekitar SJA tak perlu lagi "bercakar ayam"

id Astra argo, PT ana, sawit, minyak, CPO, kebun sawit

Ketika warga sekitar SJA tak perlu lagi "bercakar ayam"

Ilustrasi- Sejumlah kendaraan bermotor melintas di Bundaran Tugu Poso di Kota Poso, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, Selasa (22/12/2020) malam. ANTARA/Basri Marzuki

Palu (ANTARA) -
Pembangunan manusia menjadi hal yang sangat penting untuk diukur sekaligus sebagai acuan dalam pembangunan daerah jangka panjang. Semua daerah, tentu ingin maju dan hidup lebih baik. Demikian juga dengan kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. 
 
Kabupaten itu memang berbenah dan terus bergerak maju. “Apa yang yang menjadi harapan pemerintah pusat seperti yang disampaikan Bapak Tito Karnavian membangun Indonesia dari desa dan perbatasan itu sudah beberapa tahun kami di daerah Poso sudah memulai,” kata Bupati Poso dr. Verna G.M Inkiriwang, seperti dikutip dari website Kabupaten Poso.
 
Pernyataan itu disampaikan sebagai ungkapan optimis bahwa Poso dapat memenuhi harapan nasional yang diungkapkan pemerintah pusat melalui Kementrian Dalam Negeri saat menggelar kick off Pelaksanaan Penguatan Pemerintahan dan Pembangunan Desa Tingkat Nasional, Juli lalu di Jakarta. 
 
Dampaknya pembangunan Poso memang terlihat. Berdasarkan laporan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Poso 2021 saja, tingkat pencapaian yang telah dilakukan khususnya di bidang kesehatan, pendidikan, dan ekonomi memperlihatkan tren positif. Data hasil riset lapangan Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Poso ini menunjukkan perkembangan pembangunan manusia.
 
"IPM Kabupaten Poso selama 10 tahun terakhir meningkat secara rata-rata sebesar 0,86 poin per tahun," demikian tertulis dalam laporan Indeks Pembangunan Manusia 2021 yang diterbitkan BPS Kabupaten Poso. Dari sisi lapangan usaha, dari tahun ke tahun perekonomian Poso masih ditopang sektor pertanian. 
 
Selama periode 5 tahun terakhir, kontribusi lapangan usaha ini secara rata-rata berkisar antara 37-39 persen dari total PDRB Kabupaten Poso. Kabupaten ini tumbuh berkembang.
 
Begitulah yang juga dirasakan Selvinus. Kawasan tempat ia dan keluarga tinggal mengalami kemajuan. Selvinus bersyukur dengan kehidupannya sekarang. Selain berdagang kelontong dengan kios di jalan trans Sulawesi, anak-anaknya yang berjumlah 4 orang juga sangat menentramkan hatinya. Satu orang sudah lulus dari akademi kesehatan di kota Palu, usianya 24 tahun dan kini bekerja di RSUD Poso. Anak kedua yang kini berusia 22 tahun mengabdi di puskesmas Taripa, Desa Petiro Kecamatan Pamona Timur.
 
Tidak hanya itu, kendaraan roda empat bukan barang aneh di rumahnya. "Roda dua saja dulu harus baku pinjam, tidak dapat beli," katanya mensyukuri dampak positif kehadiran perusahaan perkebunan kelapa sawit di desanya. 
 
"Orang sekarang so banyak beli mobil," lanjut Selvinus. Yang menarik, Selvinus mengungkapkan bahwa kemampuan teman dan tetangga-tetangganya membeli mobil karena mereka berkebun kelapa sawit.
 
Lelaki berusia 56 tahun yang tinggal di Desa Petiro ini tak bisa membayangkan seandainya dulu pemerintah kabupaten Poso tak melihat peluang dan mengundang investor. Sebab, lahan yang dikelola masyarakat sering tergenang air. Termasuk lahan yang Selvinus gunakan untuk menanam padi.  
 
"Malamnya padi yang menguning sudah siap dipanen, paginya banjir datang dan tidak bisa panen," kenang Maranata, warga asli kelahiran Desa Tiu, rekan dan tetangga Selvinus. 
 
Ketertarikan warga terhadap kebun kelapa sawit, karena mereka melihat bukti nyata pengaruh tanaman ini bagi perekonomian keluarga. Selvinus ingat betul kapan PT Sawit Jaya Abadi (SJA), perusahaan kelapa sawit mulai beroperasi di daerahnya. Selvinus merupakan satu di antara banyak warga masyarakat yang membantu persiapan operasional perusahaan. Ia membantu mengolah lahan pada 2010 sampai 2012. Dari hasil bekerja itu taraf hidup keluarganya semakin baik. Termasuk mendapat pekerjaan selain dari bertani.
 
Sebagai perusahaan yang sangat menyadari arti penting lingkungan dan masyarakat, Reymond Ugi, CDO PT SJA menegaskan bahwa perusahaan perkebunan kelapa sawit tempatnya bekerja tidak hanya fokus pada bisnis. “Kepedulian dan tanggung jawab pada lingkungan kami wujudkan melalui program-program corporate social responsibility (CSR),” katanya.
 
Kepedulian pada lingkungan, menurutnya, bukan sekadar perintah hukum atau ketentuan undang-undang. Kepedulian dan tanggung jawab pada lingkungan harus dilakukan karena perusahaan juga ingin beroperasi secara berkelanjutan, ingin hidup dalam jangka panjang. “Bagaimana bisa diterima kalau kita tidak ramah pada lingkungan dan masyarakat sekitar,” tegas Reymond.   
 
Itu sebabnya, Reymond mengungkapkan bahwa upaya memberikan dampak positif pada masyarakat menjadi program yang penting. Sama seperti keyakinan Silas, Maranata dan Selvinus, ia juga menegaskan bahwa PT SJA memberi dampak positif bagi masyarakat.         

Perihal kehadiran PT SJA pun berjalan baik-baik saja. Proses berlangsung dengan menerapkan prinsip musyawarah mufakat. Tidak tercatat peristiwa kekerasan apalagi intimidasi yang memaksakan masyarakat. Sebagaimana perubahan pada umumnya, memang tidak semua masyarakat langsung menerima rencana kehadiran perusahaan tersebut. Rapat yang melibatkan masyarakat difasilitasi perangkat desa.
 
Silas mengakui bahwa saat perusahaan akan masuk, memang sempat terjadi pro kontra. 
 
"Saya belum kepala desa pada waktu itu, tapi sudah perangkat desa," kata pria berusia 49 tahun ini. Perbedaan pendapat berakhir. Sebagian besar masyarakat menyetujui perusahaan beroperasi. Mereka membubuhkan tanda tangan sebagai bukti persetujuan. PT SJA pun memulai usahanya. Selain mengolah lahan juga menjalankan program CSR yang ditujukan untuk meningkatkan kehidupan masyarakat.
 
Selvinus pribadi merasa sangat bersyukur. 
 
"Sekarang ekonomi terasa bagus, anak-anak bisa sekolah dan banyak juga masyarakat desa yang jadi karyawan perusahaan," lanjut Silas. Ia tak mampu membayangkan bagaimana seandainya perusahaan tidak masuk dan beroperasi di sana. Ia merasakan dan mengakui sendiri bahwa tanah-tanah tersebut tidak produktif. Keadaannya berbeda sekali ketika perusahaan perkebunan kelapa sawit kemudian beroperasi.
 
Berkebun sawit, menurutnya menjadi pilihan yang terbaik untuk ia tekuni. Silas makin optimistis setelah mendengar kisah sukses tetangga serta kemudahan menanam pohon penghasil minyak goreng yang banyak dibutuhkan masyarakat ini. Bila badan semakin tua, menurutnya, akan sangat berat mengelola lahan. 
 
"Tapi kalau berkebun sawit kan, biar sudah tua masih bisa," kata Silas.
 
Tidak hanya Maranata maupun Selvinus yang sudah berkebun sawit, menurut Silas, warga sekitar juga banyak yang memanfaatkan lahannya dengan berkebun kelapa sawit.
 
Terkait pekerjaan masyarakat waktu dulu, Maranata punya analogi yang bisa menggambarkan harapan masyarakat terhadap perusahaan kelapa sawit. 
 
Dahulu, katanya, orang belum bisa berpikir dan melihat perkebunan sebagai peluang. Belum mampu berpikir tentang investasi. Yang dikerjakan hari ini semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidup hari itu juga.
 
Misalnya, mencari ikan ke danau, dijual ke kampung-kampung dan hasilnya untuk makan hari itu. Tidak bisa menabung. “Ibarat ayam, kita bercakar-cakar pagi untuk makan sore,” katanya berusaha menggambarkan keseharian warga yang belum berpikir jauh tentang kebutuhan di masa depan. Kebutuhan hari ini, dicari hari ini juga.
 
Dengan kehadiran perusahaan, kini jauh lebih baik. Putaran uang di desa sangat besar, anak-anak bisa sekolah dengan baik. Warga semakin bisa merancang masa depan.
 
Pengakuan tentang dampak positif itu juga disampaikan Putri Stevani Sapa S.Kep, Kepala Desa Petiro yang lokasinya bersentuhan langsung dengan PT SJA. Kehadiran perusahaan sangat membantu. Ekonomi, menurutnya, sekarang tumbuh pesat. 
 
Salah satu penyebabnya, kata kepala desa perempuan satu-satunya di kabupaten Poso ini, karena banyak masyarakat yang mendapat penghasilan rutin karena terbukanya lapangan pekerjaan di perusahaan.