Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Indonesia diharapkan dapat berperan sebagai aktor utama yang mendorong Perhimpunan Bangsa-Bangsa di Asia Tenggara (ASEAN) dan lembaga-lemba kerja sama dunia untuk bersikap tegas merespon kudeta militer di Myanmar awal minggu ini.
Harapan itu disampaikan oleh sejumlah aktivis pro demokrasi, eks anggota dewan perwakilan rakyat, serta para pembela hak asasi manusia di Indonesia pada acara seminar yang diadakan oleh Migrant CARE, Human Rights Working Group (HRWG), Asia Democracy Network (ADN), Jembatan Flinders, dan SAFENet, Kamis.
Eva Sundari, mantan anggota DPR RI sekaligus salah satu penggerak ASEAN Parliamentarians for Human Rights (APHR), mengatakan Indonesia diharapkan dapat berperan di tiap tingkatan, mulai dari pemerintah, parlemen, dan masyarakat sipil.
Eva mengatakan harapan itu juga jadi permintaan yang disuarakan oleh organisasi masyarakat sipil di Myanmar.
Pemerintah Indonesia, menurut Eva, memiliki modal hubungan baik dengan otoritas di Myanmar, terutama dalam penanganan krisis kemanusiaan di Rakhine.
"Indonesia memberi dukungan konkret terhadap isu Rohingya, pijakannya kuat ke dalam dan bantuannya konkret. Di Rakhine state ada sekolah yang dibangun, ada beasiswa yang terus digelontorkan, ada humanitarian aid, (Indonesia, red) terus melakukan hubungan baik (dengan Myanmar, red)," kata Eva, salah satu pembicara seminar.
Modal hubungan baik itu, Eva berpendapat, sebaiknya dapat dimanfaatkan untuk memengaruhi negara-negara anggota ASEAN untuk mengirim pesan tegas terhadap situasi di Myanmar.
Negara-negara anggota ASEAN menunjukkan sikap yang terpecah terkait isu kudeta militer di Myanmar. Beberapa negara seperti Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Filipina, dengan tegas menyatakan kudeta itu merupakan urusan dalam negeri di Myanmar.
Namun, Brunei Darussalam, yang menjabat sebagai Ketua ASEAN untuk 2021, berpendapat lain.
Beberapa jam setelah berita kudeta tersebar, Sekretariat ASEAN lewat laman resminya menerbitkan pernyataan Ketua ASEAN terkait situasi di Myanmar.
Ketua ASEAN menyampaikan empat poin, yang salah satunya meminta militer segera mengembalikan situasi ke keadaan normal sesuai dengan keinginan dan kehendak rakyat Myanmar.
Dalam seminar yang sama, Rachel Arinii dari Forum ASIA mengatakan Indonesia dapat melayangkan permintaan resmi ke Komisi Antar-
Tidak hanya itu, keanggotaan Indonesia di Dewan HAM PBB juga bisa dimanfaatkan untuk mengusung isu Myanmar di forum-forum dunia, kata Rachel.
Militer Myanmar melancarkan kudeta terhadap pemerintah, Senin (1/2) pagi, dan menangkap penasihat negara Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, para politisi dari partai pemenang pemilu, yaitu Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), serta sejumlah aktivis pro demokrasi dan HAM di Myanmar.
Tidak lama setelah kudeta, militer menetapkan status darurat yang berlaku selama satu tahun. Selama status darurat berlaku, kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif di Myanmar berada di bawah kendali pimpinan tertinggi, Panglima Militer Jenderal Min Aung Hlaing.
Militer Myanmar, lewat pernyataan resmi yang dibacakan oleh Myawaddy Television (MWD), mengatakan status darurat ditetapkan untuk mencegah perpecahan antarkelompok masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 417 Konstitusi Negara 2008. Menurut otoritas militer, pemerintah gagal menyelesaikan sengketa daftar pemilih pada pemilihan umum 8 November 2020.
Walaupun demikian, klaim tersebut ditolak oleh sejumlah aktivis HAM dan demokrasi di Myanmar. Menurut kelompok itu, kudeta merupakan salah satu cara Jenderal Min Aung Hlaing mempertahankan kekuasaannya --lima bulan sebelum ia resmi pensiun pada Juli 2021.
Terkait isu kudeta, Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Luar Negeri, pada Senin siang waktu Jakarta, meminta seluruh pihak yang berkonflik di Myanmar segera menahan diri dan mengedepankan dialog sebagai cara menyelesaikan masalah.
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, sebagaimana dikutip dari pernyataan yang diunggah di media sosial Twitter, mengatakan Indonesia prihatin terhadap situasi politik yang terjadi di Myanmar.
"Indonesia meminta seluruh pihak tunduk pada prinsip-prinsip Piagam ASEAN, mematuhi aturan hukum, tata kelola pemerintahan yang baik, prinsip-prinsip demokrasi, dan pemerintahan yang konstitusional. Indonesia juga menggarisbawahi bahwa seluruh sengketa pemilihan umum dapat diselesaikan lewat mekanisme hukum yang tersedia," kata Kementerian Luar Negeri RI.