Industri hijau sebagai jalan keluar dari jebakan pendapatan menengah

id Isf 2024, dekarbonisasi, industri hijau, blended finance, kolaborasi elektrifikasi

Industri hijau sebagai jalan keluar dari jebakan pendapatan menengah

Ilustrasi - Foto udara kincir angin Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Tolo di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan. ANTARA FOTO/Arnas Padda/nym/am.

Jakarta (ANTARA) - Sudah ada pergeseran arah ekonomi dunia yang menginginkan produk lebih rendah karbon sehingga jika tidak melakukan transisi menuju pembangunan industri hijau, maka tak bisa bersaing.

Hal tersebut menjadi argumen Pemerintah Indonesia dalam gelaran Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2024 yang mendiskusikan pemajuan global dengan menggunakan pendekatan dekarbonisasi.

Secara sederhana, industri hijau merupakan pembangunan yang berfokus pada efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya energi baru terbarukan (EBT), dengan tujuan melindungi lingkungan dalam setiap proses produksinya.

Indonesia berpendapat, pengembangan industri hijau menjadi peluang bagi negara-negara di dunia, khususnya negara berkembang untuk bisa mengakselerasi pemajuan ekonomi sehingga dapat keluar dari jebakan pendapatan menengah (middle income trap).

Keadaan itu merupakan suatu kondisi ketika negara berhasil mencapai tingkat pendapatan yang memiliki penghasilan per kapita sebanyak 4.466--13.845 dolar AS, tetapi tidak dapat keluar dari tingkatan negara menengah untuk menjadi negara maju yang memiliki pendapatan per kapita lebih dari 13.845 dolar AS.

Indonesia sendiri sudah lebih dahulu menerapkan konsep industri hijau sehingga kini ada beberapa provinsi industrialis yang berhasil keluar dari jebakan pendapatan menengah, seperti Jakarta dan Kalimantan Timur.

Ada empat manfaat bagi ekonomi suatu negara apabila menerapkan konsep industri hijau dalam strategi pembangunannya, yakni penghematan proses produksi atau efisiensi, memacu reputasi, meningkatkan daya saing, serta potensi lapangan kerja lebih luas.

Manfaat efisiensi bisa dirasakan karena dalam konsep industri hijau, suatu negara memaksimalkan potensi EBT yang ada untuk digunakan sebagai bahan bakar proses produksinya.

Hal ini secara langsung memberikan dampak positif dalam mengurangi biaya harga pokok produksi (HPP), mengingat harga bahan bakar konvensional atau fosil terus mengalami peningkatan, sedangkan bahan bakar EBT bisa didapatkan secara cuma-cuma karena menggunakan tenaga air, angin, panas bumi, sinar Matahari, ombak, serta bioenergi.

Adapun manfaat reputasi dan peningkatan daya saing bisa dirasakan mengingat konsep perdagangan internasional di dunia sudah banyak menerapkan mekanisme pembatasan karbon (carbon border adjustment mechanisnm/CBAM).

Negara yang menerapkan mekanisme ini sedikit menerima produk yang diproduksi dari industri penghasil emisi. Oleh karena itu dengan menerapkan industri hijau, bisa menaikkan reputasi sekaligus daya saing produk yang dijual.

Selanjutnya, investasi di sektor industri hijau bisa menciptakan lapangan pekerjaan hingga 10 kali lipat lebih luas dibandingkan sektor konvensional, dengan proyeksi sebesar 1,66 juta lapangan kerja hingga tahun 2045. Ini karena alur penciptaan industri hijau memerlukan kolaborasi dari hulu hingga hilir.

Menyadari manfaat besar penerapan industri hijau bagi perekonomian, Indonesia dalam gelaran ISF 2024 mengajak pemangku kepentingan secara global untuk tak hanya memerhatikan pemenuhan Perjanjian Paris (Paris Agreeement) melalui dekarbonisasi saja, melainkan juga merayu untuk meningkatkan kapasitas pengembangan industri hijau di negaranya masing-masing.

Skema yang disuguhkan oleh Indonesia untuk mendukung pemajuan industri hijau bagi negara yang masih dalam midle income trap yakni kolaborasi elektrifikasi EBT, serta mekanisme pembiayaan campuran (blended finance).


Kolaborasi elektrifikasi

Strategi ini disuguhkan Indonesia, karena sadar untuk membuat sumber elektrifikasi energi terbarukan bagi industri bukan suatu hal yang murah, serta tidak semua negara memiliki potensi tersebut.

Indonesia diberkahi dengan potensi pengembangan EBT yang melimpah, yakni mencapai 3.687 gigawatt, terdiri atas pengembangan tenaga air (hidro) sebesar 95 gigawatt, tenaga surya 3.294 gigawatt, bioenergi 57 gigawatt, panas bumi (geotermal) 23 gigawatt, energi bayu atau angin 155 gigawatt, serta potensi elektrifikasi dari laut mencapai 63 gigawatt.

Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia berargumen kerja sama bilateral maupun multilateral dalam pengembangan elektrifikasi EBT bagi industri merupakan opsi terbaik.

Negara yang memiliki potensi EBT bisa memanfaatkannya dengan kolaborasi bersama negara yang memiliki kebutuhan tinggi terhadap bauran energi terbarukan. Hal ini bisa menjadi win-win solution pemajuan industri hijau di masing-masing negara sehingga pihak yang masih dalam kategori pendapatan menengah, bisa segera naik kelas.

Seperti yang disepakati dalam gelaran ISF 2024, Pemerintah Indonesia dan Singapura resmi melakukan kerja sama elektrifikasi bauran energi terbarukan, dengan skema Perusahaan Listrik Negara (PLN) menerbitkan program Percepatan Penerapan Energi Terbarukan (ARED), yang bertujuan untuk memiliki 480 gigawatt listrik bersih pada tahun 2060.

Bersama-sama, kedua negara telah mengembangkan industri fotovoltaik surya dan sistem penyimpanan energi baterai (battery  energy storage system/BESS), yang membuat Indonesia bisa mengekspor listrik hijau sebesar 3,4 gigawatt ke Singapura, dengan nilai ekonomi mencapai 25--30 miliar dolar AS.

Inisiasi kerja sama tersebut digadang-gadang mampu menjadi pemicu kolaborasi pemanfaatan elektrifikasi EBT untuk pengembangan industri hijau di negara lain.


Pendanaan campuran

Di hadapan para pemangku kepentingan sektor keuangan global, Utusan Khusus Presiden Republik Indonesia Mari Elka menyebut, guna melakukan transisi energi dan pembangunan industri hijau, memerlukan biaya 1--3 triliun dolar AS.

Angka ini terlalu tinggi untuk didapatkan oleh satu negara saja sehingga solusi realistis yakni dengan bergotong-royong melalui skema pendanaan campuran (blended finance).
 
Dalam perhelatan ISF 2024, Indonesia menginisiasi terbentuknya Aliansi Keuangan Campuran Global (Global Blended Finance Alliance/GBFA) yang beranggotakan delapan negara, yakni Uni Emirat Arab, Fiji, Kenya, Kongo, Luxembourg, Sri Lanka, Prancis, dan Kanada.

Model pembiayaan yang diterapkan dalam pendanaan campuran tersebut yakni dengan dana pinjaman yang meliputi subsidi hibah  serta pinjaman tanpa agunan yang ditawarkan bersama hibah.

Skema tersebut membawa manfaat bagi negara anggota, seperti membantu menjembatani kesenjangan investasi, serta membuka peluang bagi sektor swasta untuk menginvestasikan dana di sektor industri hijau yang memiliki proyeksi profit besar.

Indonesia berinisiatif membawa Global Blended Finance Alliance ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sehingga bisa dikukuhkan menjadi suatu organisasi internasional, dengan harapan dapat memperluas cakupan pendanaan campuran.

Skema kerja sama elektrifikasi EBT, dan pembiayaan campuran menjadi jawaban bagi pembangunan berkelanjutan global yang tak hanya berfokus pada dekarbonisasi, tetapi turut memerhatikan aspek pemajuan industri sehingga negara yang masih dalam fase pendapatan menengah bisa segera naik kelas.

Editor: Achmad Zaenal M