Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi IV DPR RI Johan Rosihan menyoroti fluktuasi harga komoditas pangan di tingkat petani dan konsumen yang terjadi pada 2021 seperti harga gabah, jagung, cabai, telur, minyak goreng dan lainnya.
“Selama tahun 2021 ini produk pangan yang bersumber dari impor seperti daging dan kedelai, harganya terus melonjak yang berakibat merugikan pelaku UMKM (usaha mikro, kecil dan menengah), serta merugikan konsumen karena daya beli yang semakin lemah pada masa pandemi ini," kata Johan dalam keterangan pers yang diterima di Jakarta, Selasa.
Dia mengemukakan pada awal 2021 telah terjadi fluktuasi harga kedelai yang berdampak pada perajin tahu tempe dan kebijakan kenaikan HET pupuk bersubsidi. Johan menilai hal tersebut telah berdampak pada naiknya harga pangan sehingga pengeluaran rumah tangga terhadap pangan semakin meningkat, dan menambah beban rumah tangga petani untuk melaksanakan kegiatan usaha taninya.
"Pada tahun 2021 ini telah terjadi pergerakan kenaikan harga minyak goreng yang terus melambung, padahal Indonesia merupakan negara produsen minyak sawit (CPO) terbesar di dunia dengan pertumbuhan rata-rata 3,61 persen per tahun," katanya.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian, harga minyak goreng kemasan sederhana per 3 Januari 2022 rata-rata berada di kisaran Rp19 ribu per liter di seluruh Indonesia. Harga ini 25 persen lebih tinggi di atas HET yang sebesar Rp11 ribu per liter.
Kenaikan harga minyak goreng kemasan di tingkat konsumen tercatat merangkak naik perlahan sejak pertengahan tahun 2021 menyusul naiknya harga minyak sawit mentah atau CPO di tingkat global.
Johan juga menyoroti bahwa tahun 2021 belum ada kebijakan untuk mengurangi beban biaya produksi yang harus dikeluarkan petani. Dia mencontohkan, subsidi pupuk banyak yang tidak tepat sasaran, dan tidak ada kebijakan harga yang diterima petani sebagai harga layak untuk meningkatkan nilai pendapatan petani terhadap komoditas pertanian yang dihasilkan.
Johan menilai sistem data dan informasi pangan harus disempurnakan lagi agar akurasi kondisi pangan di lapangan terus terpantau untuk mengantisipasi fluktuasi harga. Dia menyarankan agar pemerintah memperkuat sistem data dan informasi stok pangan yang ada agar bisa mengantisipasi apabila terjadi kekurangan atau kelebihan stok yang berdampak pada naik turunnya harga suatu komoditas.
Dia mewanti-wanti agar tidak terjadi penurunan produksi pertanian yang bisa berdampak pada kesenjangan antara ketersediaan dan kebutuhan pangan. "Jika semakin melebar maka pemerintah hanya bisa meningkatkan kebutuhan impor sehingga ketergantungan impor terus meningkat setiap tahun," katanya.