Jagat raya sudah heboh dengan fenomena alam pada Rabu (31/1), pukul 18.48 WIB sampai dengan pukul 22.11 WIB, akan terlihat di sebagian besar negara-negara di Planet Biru di Galaksi Bima Sakti ini, termasuk di seluruh wilayah Indonesia.
Fenomena alam tersebut adalah fenomena gerhana bulan yang terjadi bersamaan pada saat bulan yang merupakan satelit alami bumi berada di titik terdekat dengan bumi yang dikenal dengan istilah "supermoon". Dan kebetulan lainnya adalah purnama pada rabu adalah hari adalah yang kedua terjadi di bulan Januari 2018.
Ya, bulan purnama sudah terjadi pada 1 Januari 2018 dan kembali akan terjadi pada 31 Januari 2018. Dengan alasan itu maka dikenal dengan istilah "blue moon' atau bulan biru.
Jadi Rabu malam, kata Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin, bulan akan tampak lebih besar dari purnama biasanya karena berada pada titik terdekat dengan bumi dan pada saat bersamaan akan terlihat merah seperti darah karena terjadi gerhana bulan.
Pada saat gerhana bulan terjadi, ia menjelaskan bahwa satelit bumi selalu menampakkan warna merah seperti darah karena itu disebut "blood moon".
'Publik menganggap fenomena ini berbeda, tapi secara astronomis gerhana bulan pada saat bulan di titik terdekat dengan bumi ini fenomena biasa. Ini menjadi luar biasa karena media massa menamakannya `super blue blood moon' karena bulan purnama yang kedua ini akan tampak lebih besar dan berwarna merah," ujar Thomas.
Fase gerhana bulan
Kepala Lapan mengatakan gerhana bulan akan mulai terjadi pada pukul 18.48 WIB di mulai dari sisi bawah atau sisi timur purnama yang tergelapi. Kemudian totalitas akan terjadi pada pukul 19.52 WIB.
Pada saat itu, lanjutnya, bulan tidak akan gelap total karena masih ada cahaya matahari yang dipantulkan atau dibiaskan oleh atmosfer bumi. Warna merah matahari akan diteruskan, membuat warna bulan menjadi merah seperti daerah.
Totalitas gerhana bulan akan terjadi sampai pukul 21.08 WIB.
"Jadi totalitasnya terjadi sekitar satu jam," ujar dia.
Fase gerhana bulan sebagian akan terjadi lagi, di mulai dari sisi kanan bawah dan purnama mulai kembali tersibak. Fase tersebut akan selesai pukul 22.11 WIB.
Fase gerhana ini aman untuk dilihat dengan mata telanjang sama seperti saat melihat bulan purnama, sehingga tidak perlu menggunakan alat khusus. Dengan binokuler atau teleskop tentu akan bisa melihat gerhana secara lebih detil, bagian kawah-kawah di bulan dan pergeseran gelap di purnama tersebut.
Dampak gerhana bulan
Bulan mempunyai dampak terhadap pasang surut air laut. Pada saat purnama, bulan berada hampir sejajar dengan matahari, sehingga efek air pasang bulan diperkuat oleh gravitasi matahari.
"Ditambah dengan kondisi `supermoon' di mana jarak bulan sangat dekat tentu akan menambah efek pasang. Pada saat gerhana, posisi matahari, bumi dan bulan benar-benar pada posisi segaris dan efeknya semakin tinggi pasang-surutnya,¿ lanjutnya.
Jadi, Thomas mengatakan masyarakat di daerah pesisir yang perlu waspada, terutama mereka yang berada di pantai yang landai karena berpotensi terkena banjir pasang. Dalam kondisi yang biasa memang akan terjadi genangan air saja, tapi jika dikombinasikan dengan cuaca buruk di laut tentu air limpasannya akan lebih tinggi.
Dan jika pada saat bersamaan di darat terjadi hujan maka banjir, menurut dia, akan semakin lama untuk surut.
Pernyataan ini sama dengan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang meminta masyarakat waspada terhadap tinggi pasang maksimum dapat mencapai 100 hingga 140 centimeter (cm), dan surut minimum dapat mencapai minus 100 sampai 110 cm.
Thomas mengatakan kondisi pasang-surut tersebut terjadi dua hari sebelum dan dua hari setelah gerhana atau purnama terjadi.
Jika dikaitkan dengan gempa bumi, Thomas menjelaskan hingga saat ini tidak ada teknologi maupun orang yang mampu meramalkan kapan dan di lokasi mana akan terjadi. Namun gerhana atau bulan baru atau purnama bisa berpotensi menjadi pemicu terjadinya gempa.
Aktivitas lempeng Indo-australia dari selatan Jawa atau dari barat Sumatera yang menyusup ke lempeng Eurasia bisa tertahan pada saat purnama atau bulan baru atau saat gerhana. Dengan demikian terdapat energi yang tersimpan di sana yang tidak dapat diketahui kapan akan terlepas, lanjutnya.
Tidak dapat diperhitungkan seberapa persen dampak gerhana atau purnama bisa memicu gempa bumi mengingat penelitian belum konklusif. Jika pun menjadi pemicu tentu pelepasan energi pada pergerakan lempeng yang memicu gempa akan terjadi di lokasi yang belum terjadi gempa, bukan lokasi yang baru terjadi gempa.
Bukti bumi bulat
Lebih lanjut, terkait dengan "fenomena" bumi datar, Profesor Riset Astronomi dan Astrofisika ini mengatakan gerhana bulan menjadi momen tepat membuktikan bahwa bumi berbentuk bulat.
Saat gerhana bulan pada Rabu dan purnama tergelapi dengan sempurna maka yang menggelapinya merupakan bayangan bumi dan membuktikan bahwa bumi itu bulat.
Sehingga, menurut dia, gagasan para penggemat bumi datar yang menyebutkan ada obyek yang tidak diketahui yang menutupi bulan itu benar-benar tidak logis.
Untuk membuktikan lagi bahwa bumi itu bulat, maka Thomas mengajak para penggemar gagasan bumi datar untuk membuktikan bahwa fase gerhana benar mulai terjadi pada pukul 18.48 WIB dan totalitas pada pukul 19.52 WIB.
Jika waktu tersebut tepat maka, menurut dia, sistem bulan, bumi dan matahari itu betul dan sudah bisa dihitung. Ini menjadi bukti bumi itu bulat.