Pakar: Generasi pemilih baru berpotensi hadirkan iklim politik lebih baik

id Pakar Hukum,Bivitri Susanti,Pemilih Pemula,Pemilu 2024

Pakar: Generasi pemilih baru berpotensi hadirkan iklim politik lebih baik

Tangkapan layar - Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti dalam diskusi bertajuk “Pemilu Asik, Menyatukan Indonesia”, sebagaimana dipantau melalui kanal YouTube RRI NET OFFICIAL, di Jakarta, Kamis (28/7/2022). ANTARA/Tri Meilani Ameliya.

Jakarta (ANTARA) - Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menilai para pemilih pemula dan muda berpotensi menghadirkan iklim politik yang lebih baik usai pelaksanaan Pemilu 2024 di tengah adanya tren peningkatan jumlah suara tidak sah.

"Menurut saya, justru generasi pemilih baru ini yang akan membawa iklim politik baru di Indonesia," ujar Bivitri saat menjadi narasumber dalam diskusi bertajuk “Pemilu Asik, Menyatukan Indonesia”, sebagaimana dipantau melalui kanal YouTube RRI NET OFFICIAL, di Jakarta, Kamis.

Potensi tersebut, lanjut dia, muncul karena pemilih pemula yang berasal dari kalangan generasi Z kelahiran tahun 1997-2012 memiliki pola pikir kritis sehingga mereka dapat menjadi sosok pemilih yang cerdas dan berkualitas dalam memilih pemimpin ataupun wakil rakyat Indonesia.

Untuk mengoptimalkan potensi tersebut, menurut Bivitri, pemilih pemula perlu didorong untuk memiliki beragam informasi kepemiluan yang tepat, detail informasi mengenai latar belakang dan rekam jejak para peserta pemilu, terutama yang akan mereka pilih, serta memanfaatkan fungsi kontrol terhadap para wakil rakyat usai Pemilu 2024 dilaksanakan.

"Nanti setelah 2024, kalau dia (wakil rakyat terpilih) bandel diingatkan, lewat media sosial juga tidak apa-apa karena politisi juga melirik ke media sosial," ucap dia.

Hal senada juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati atau yang akrab disapa Ninis. Menurut dia, pemilih pemula dan generasi muda merupakan kalangan yang melek politik.

Anak-anak muda, lanjut Ninis, peduli terhadap isu-isu perkembangan politik terkini. Namun pada praktiknya, mereka cenderung dianggap sebagai "penonton", yakni tidak dilibatkan secara langsung dalam ranah politik ataupun pemilu.

"Tantangannya adalah anak muda selama ini dalam politik atau pemilu hanya dianggap sebagai penonton. Dari luar saja, mereka tidak diberikan akses untuk terlibat di dalamnya," ucap Ninis.

Oleh karena itu, dia menilai sudah sepatutnya pihak penyelenggara pemilu ataupun pemerintah melibatkan secara langsung generasi muda di panggung politik dan pemilu agar pelaksanaan Pemilu 2024 dapat berkualitas dan menghadirkan iklim politik yang lebih baik.


Pastikan suara sah

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati meminta penyelenggara pemilihan umum (pemilu) agar memastikan para pemilih yang datang ke tempat pemungutan suara (TPS) dapat memberikan suara yang sah.

“Ini tantangan untuk penyelenggara pemilu agar tidak sekadar mengajak orang ke TPS, tetapi memastikan mereka datang dan memberikan suara. Jangan sampai suara tidak sah,” ujar Ninis, sapaan akrab Khoirunnisa Nur Agustyati, saat menjadi narasumber dalam diskusi bertajuk “Pemilu Asik, Menyatukan Indonesia”, sebagaimana dipantau melalui kanal YouTube RRI NET OFFICIAL, di Jakarta, Kamis.

Sejauh ini, Ninis menyampaikan bahwa meskipun ada tren peningkatan jumlah pemilih yang datang ke TPS, surat suara yang tidak sah ternyata semakin meningkat dari waktu ke waktu, bahkan sebagaimana data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) suara tidak sah dalam pemilihan legislatif (pileg) pada tahun 2019 mencapai 17 juta suara.

“Untuk pemilihan DPR RI saja, suara tidak sah 17 juta suara, kalau dikonversi jadi 60-70 kursi,” ujar Ninis.

Sebagaimana data yang dimuat dalam laman Rumah Pemilu diketahui bahwa tren peningkatan suara tidak sah terjadi sejak Pemilu 1999 sampai Pemilu 2019. Pada Pemilu 1999, suara tidak sah senilai 3,4 persen dari total suara, yakni 3.708.386 suara. Lalu pada Pemilu 2004, jumlah suara tidak sah meningkat menjadi 8,8 persen atau 10.957.925 suara.

Pada Pemilu 2009, jumlah suara tidak sah meningkat menjadi 14,4 persen atau sekitar 17.540.248 suara dan Pemilu 2014 sempat mengalami penurunan menjadi 10,6 persen suara tidak sah atau sekitar 14 juta suara. Terakhir, pada Pemilu 2019, suara tidak sah mencapai 11,1 persen atau 17.503.953 suara.

Dengan demikian, menurut Ninis, persoalan tersebut sepatutnya diatasi penyelenggara dengan memastikan para pemilih yang hadir di TPS memberikan suara sah.

“Ini harus dilihat lagi apakah mereka datang ke TPS itu berdaya karena ada data juga yang menunjukkan semakin ke sini, tren suara tidak sah semakin tinggi. Jadi, orang datang ke TPS banyak, suara tidak sah semakin banyak,” ujar Ninis.

Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti memandang salah satu penyebab suara tidak sah pada Pemilu 2019 terkait pemilihan anggota DPR itu mencapai angka 17 juta itu adalah fenomena ketika banyak pemilih muda yang merasa tidak relevan dengan calon anggota DPR.

“Saya melihat ada fenomena teman-teman muda yang merasa anggota DPR atau DPD tidak relevan, mungkin itu penyebabnya,” ucap dia.