Kedewasaan berdemokrasi tercermin di ruang digital Pemilu 2024
Jakarta (ANTARA) - Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Wamenkominfo) Nezar Patria menyebutkan masyarakat Indonesia menunjukkan kedewasaan berdemokrasi di momen Pemilihan Umum (Pemilu) serentak 2024 dan hal itu tercermin di ruang digital Indonesia.
Ia menyebutkan hal itu terlihat dari berkurangnya kuantitas hoaks dan politik identitas yang beredar di ruang siber untuk periode kali ini.
“Meskipun tak sepenuhnya menghilang, namun kita juga mencermati ada penurunan pemakaian politik identitas. Dan kita cukup mau apresiasi hal itu. Masyarakat kita juga semakin dewasa dengan pengalaman Pemilu dua kali dan Pilpres sebelumnya,” ungkapnya dalam keterangan persnya yang diterima, Selasa.
Nezar menilai masyarakat sudah banyak yang memetik pelajaran dari Pemilu-Pemilu sebelumnya yang penuh dinamika di ruang digital.
Masyarakat kali ini dinilai telah menerima bahwa perbedaan pilihan politik merupakan sesuatu yang wajar dalam iklim demokrasi maka dari itu kini setiap orang mengambil sikap lebih bijak di media sosial.
Di samping itu, Nezar menyebutkan kesamaan pemahaman dari berbagai pihak khususnya dengan para pengelola platform media sosial juga membantu pemerintah untuk meredam laju peredaran hoaks, disinformasi, misinformasi, dan malinformasi selama Pemilu 2024.
Secara aktif, Kementerian Kominfo menyatakan berkolaborasi aktif dengan para penyelenggara sistem elektronik seperti Google, Facebook, TikTok, dan Instagram untuk mengantisipasi penyebaran hoaks.
“Kami punya satu jaringan koordinasi dengan semua platform-platform ini walaupun mereka punya satu mekanisme sendiri untuk mengantisipasi penyebaran hoaks,” katanya.
Menurutnya alur yang disiapkan bersama platform digital dan pemerintah kali ini sudah lebih ajek dimulai dari platform yang lebih dulu mengantisipasi hoaks yang menyebar dalam platform melalui saluran aduan sesuai dengan community guidelines masing-masing.
Pengawasan lanjutan juga dilakukan lebih luas lagi dengan melibatkan pihak resmi yang memang bertanggung jawab dalam Pemilu seperti KPU maupun Bawaslu.
Di lapisan terakhir, kolaborasi yang lebih luas juga menjadi salah satu faktor kunci menekan peredaran hoaks di ruang digital saat ini.
"Di lini ke tiga, bersama-sama bersepakat konten yang mengandung fitnah yang bisa memecah belah bangsa harus diredam dengan satu kerja sama yang lebih luas,” kata Nezar.
Adapun berdasarkan data penanganan sebaran isu hoaks Kementerian Kominfo, platform Facebook, X (dulu Twitter), dan Instagram menjadi tiga platform teratas sebagai sumber sebaran isu hoaks dan ujaran kebencian.
Nezar mengatakan para pemilik akun media sosial di platform-platform tersebut paling rentan terpapar penyebaran konten negatif.
“Kita punya komitmen yang cukup bagus dalam menciptakan ruang digital yang sehat untuk untuk mensukseskan Pemilu 2024,” ungkapnya.
Meskipun ada kecenderungan menurun terkait hoaks, Nezar berpesan agar masyarakat yetap bisa waspada terhadap hoaks yang mengarah ke black campaign dengan menggunakan berbagai macam medium.
Salah satunya penggunan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang memungkinkan pembuatan dan penyebaran konten bermuatan hoaks lebih mudah dan cepat.
“Dulu (Pemilu 2019) ada beberapa hoaks menggunakan AI, tetapi waktu itu masih mudah dikenali. Sekarang, jauh lebih smooth karena generative AI yang mampu menghasilkan teks juga suara serta gambar sangat coherence, smooth, sehingga kita agak sulit membedakan dengan yang asli,” katanya.
Ia menyebutkan hal itu terlihat dari berkurangnya kuantitas hoaks dan politik identitas yang beredar di ruang siber untuk periode kali ini.
“Meskipun tak sepenuhnya menghilang, namun kita juga mencermati ada penurunan pemakaian politik identitas. Dan kita cukup mau apresiasi hal itu. Masyarakat kita juga semakin dewasa dengan pengalaman Pemilu dua kali dan Pilpres sebelumnya,” ungkapnya dalam keterangan persnya yang diterima, Selasa.
Nezar menilai masyarakat sudah banyak yang memetik pelajaran dari Pemilu-Pemilu sebelumnya yang penuh dinamika di ruang digital.
Masyarakat kali ini dinilai telah menerima bahwa perbedaan pilihan politik merupakan sesuatu yang wajar dalam iklim demokrasi maka dari itu kini setiap orang mengambil sikap lebih bijak di media sosial.
Di samping itu, Nezar menyebutkan kesamaan pemahaman dari berbagai pihak khususnya dengan para pengelola platform media sosial juga membantu pemerintah untuk meredam laju peredaran hoaks, disinformasi, misinformasi, dan malinformasi selama Pemilu 2024.
Secara aktif, Kementerian Kominfo menyatakan berkolaborasi aktif dengan para penyelenggara sistem elektronik seperti Google, Facebook, TikTok, dan Instagram untuk mengantisipasi penyebaran hoaks.
“Kami punya satu jaringan koordinasi dengan semua platform-platform ini walaupun mereka punya satu mekanisme sendiri untuk mengantisipasi penyebaran hoaks,” katanya.
Menurutnya alur yang disiapkan bersama platform digital dan pemerintah kali ini sudah lebih ajek dimulai dari platform yang lebih dulu mengantisipasi hoaks yang menyebar dalam platform melalui saluran aduan sesuai dengan community guidelines masing-masing.
Pengawasan lanjutan juga dilakukan lebih luas lagi dengan melibatkan pihak resmi yang memang bertanggung jawab dalam Pemilu seperti KPU maupun Bawaslu.
Di lapisan terakhir, kolaborasi yang lebih luas juga menjadi salah satu faktor kunci menekan peredaran hoaks di ruang digital saat ini.
"Di lini ke tiga, bersama-sama bersepakat konten yang mengandung fitnah yang bisa memecah belah bangsa harus diredam dengan satu kerja sama yang lebih luas,” kata Nezar.
Adapun berdasarkan data penanganan sebaran isu hoaks Kementerian Kominfo, platform Facebook, X (dulu Twitter), dan Instagram menjadi tiga platform teratas sebagai sumber sebaran isu hoaks dan ujaran kebencian.
Nezar mengatakan para pemilik akun media sosial di platform-platform tersebut paling rentan terpapar penyebaran konten negatif.
“Kita punya komitmen yang cukup bagus dalam menciptakan ruang digital yang sehat untuk untuk mensukseskan Pemilu 2024,” ungkapnya.
Meskipun ada kecenderungan menurun terkait hoaks, Nezar berpesan agar masyarakat yetap bisa waspada terhadap hoaks yang mengarah ke black campaign dengan menggunakan berbagai macam medium.
Salah satunya penggunan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang memungkinkan pembuatan dan penyebaran konten bermuatan hoaks lebih mudah dan cepat.
“Dulu (Pemilu 2019) ada beberapa hoaks menggunakan AI, tetapi waktu itu masih mudah dikenali. Sekarang, jauh lebih smooth karena generative AI yang mampu menghasilkan teks juga suara serta gambar sangat coherence, smooth, sehingga kita agak sulit membedakan dengan yang asli,” katanya.