Pakar ekonomi: Selamatkan korporasi, harga Pertamax perlu dinaikkan

id pertamina,bbm non subsidi,pertamax,pertalite,bumn,bumn migas

Pakar ekonomi: Selamatkan korporasi, harga Pertamax perlu dinaikkan

Ilustrasi - Antrean kendaraan yang sedang mengisi BBM di salah satu SPBU. (ANTARA/HO-Pertamina)

Jakarta (ANTARA) - Pakar ekonomi bisnis Profesor Hamid Paddu menilai Pertamina perlu menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi jenis Pertamax.

"Mandat pertama yaitu korporasi. Dalam hal ini, Pertamina harus menyelamatkan juga korporasinya untuk negara. Kalau tidak dinaikkan, bisa berdampak serius pada keuangan BUMN tersebut,” katanya melalui sambungan telepon di Jakarta, Kamis.

Sejak Maret 2024 BBM nonsubsidi RON 92 tersebut belum disesuaikan, sementara itu pada awal Agustus lalu SPBU swasta kembali menaikkan harga BBM sejenis.

Hamid menyatakan Pertamina sebagai BUMN tidak hanya menjalankan mandat dari pemerintah tetapi juga merupakan korporasi yang memiliki kewajiban mendapatkan keuntungan.

"Itu sebabnya, dalam kondisi harga minyak berfluktuasi serta nilai tukar mata uang yang tertekan seperti sekarang, mau tidak mau Pertamina harus menyesuaikan harga Pertamax agar tidak merugi," ujarnya.

Pengelolaan BBM nonsubsidi seperti Pertamax, lanjutnya menjadi kewenangan Pertamina karena Pertamax mengacu kepada pasar.

Dalam kondisi demikian, tambahnya, jika perusahaan terus menahan harga Pertamax, tentu akan berdampak langsung kepada Pertamina, oleh karena itu harus dinaikkan sesuai mekanisme pasar.

Dibandingkan harga BBM RON 92 SPBU lain, Pertamax di DKI Jakarta yang saat ini djiual Rp12.950/liter memang jauh lebih rendah. Revvo 92 dari Vivo misalnya, sudah dibanderol Rp14.320/liter dan Super dari Shell Rp14.520 per liter. Bahkan dibandingkan BP 92 (BP AKR) yang dijual Rp13.850/liter, Pertamax juga jauh lebih murah.

Hamid menyatakan keyakinannya kalau pun Pertamina menaikkan Pertamax, tentu harga yang dibanderol masih kompetitif sesuai dengan hasil penghitungan cost-nya.

"Pertamina tidak mungkin menaikkan harga semaunya," katanya.

Sementara itu, guna mencegah migrasi pengguna Pertamax ke Pertalite, dia berharap agar BUMN migas itu terus meningkatkan sistem targeting.

"Sekarang kalau mau isi Pertalite kan dipantau dengan alat digital. Dari situ akan ketahuan setiap penggunaan Pertalite pada setiap mobil itu. Tetapi, sistem tersebut harus terus di-improve, diperbaiki terus karena berkaitan dengan informasi data yang dinamis," katanya.