Jakarta (ANTARA) - Indonesia, saat ini sedang menikmati bonus demografi, di mana sebagian besar merupakan penduduk usia produktif. Hanya saja, peluang ini bisa menjadi bencana, apabila sistem ketenagakerjaan kita tidak segera bertransformasi secara fundamental.
Data terbaru dari Indikator Pasar Tenaga Kerja Indonesia Februari 2025 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) bulan Juni menyuguhkan adanya ketimpangan peluang kerja yang masih sangat nyata, terutama bagi generasi muda, perempuan, dan pekerja informal.
Tingkat pengangguran terbuka (TPT) secara nasional memang menurun menjadi 4,76 persen pada Februari 2025. namun di balik angka itu, kelompok usia muda (15–24 tahun) masih mencatatkan TPT yang cukup tinggi, yaitu 16,16 persen. Ini artinya dari 100 orang penduduk berumur 15–24 tahun yang termasuk angkatan kerja, terdapat sekitar 16 orang yang belum bekerja.
Ini tentu bukan sekadar angka, namun potret bahwa keberpihakan sistemik kita dalam menjembatani antara pendidikan dengan dunia kerja perlu ditingkatkan.
Masalahnya tidak berhenti di situ. Lulusan pendidikan tingkat menengah, baik umum maupun kejuruan, mencatat tingkat pengangguran tertinggi dibanding kelompok pendidikan lain, yakni 6,99 persen.
Fakta ini menandakan adanya ketidaksesuaian antara keterampilan yang diajarkan dan kebutuhan pasar. Kita terlalu lama menanamkan harapan bahwa sekolah akan otomatis membawa pekerjaan. Nyatanya, banyak anak muda kita yang tercebur ke dunia kerja, tanpa peta dan bekal yang cukup.
Bagi perempuan, tantangan datang dari sisi yang berbeda. Data menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja perempuan masih tersekat dalam pekerjaan informal, dengan upah yang lebih rendah dan jam kerja yang lebih fleksibel. Kondisi ini seringkali bukan karena pilihan, melainkan karena keterbatasan. Tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan masih jauh tertinggal dibanding laki-laki, dan banyak yang terdorong keluar dari pasar kerja, setelah menikah atau melahirkan.
Tantangan struktural, seperti minimnya tempat penitipan anak, norma sosial, dan kurangnya perlindungan kerja bagi ibu menyusui atau pekerja paruh waktu membuat perempuan sulit bertahan di dunia kerja formal. Padahal, penelitian Bank Dunia menunjukkan bahwa peningkatan partisipasi kerja perempuan secara signifikan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Selain itu, ada kelompok pekerja informal. Di negara-negara dengan tingkat pertumbuhan penduduk atau urbanisasi yang tinggi, ekonomi informal cenderung tumbuh untuk menyerap sebagian besar tenaga kerja.
Menurut BPS, sebanyak 59,40 persen dari total penduduk yang bekerja berada di sektor informal. Ini berarti lebih dari separuh tenaga kerja Indonesia berada dalam kondisi kerja yang rentan. Ini adalah strategi bertahan hidup, terutama bagi mereka yang tidak memiliki akses terhadap pekerjaan tetap. Mereka bekerja, namun tidak terlindungi.
Jika kita menengok lebih jauh ke struktur ketenagakerjaan, terlihat bahwa sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan masih menyerap tenaga kerja paling besar, yakni 28,54 persen, disusul oleh sektor perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan perawatan sepeda motor (19,26 persen) dan industri pengolahan (13,45 persen).
Sektor-sektor ini memang penting, namun umumnya bersifat padat karya, berproduktivitas rendah, dan sangat rentan terhadap perubahan keadaan dan krisis harga.
Kenyataan ini menggambarkan bahwa mayoritas tenaga kerja Indonesia masih terserap di sektor-sektor tradisional. Hal ini menandakan bahwa kita belum benar-benar beranjak dari struktur ekonomi lama.
Padahal, dalam visi besar Indonesia Emas 2045, transformasi ke arah industri bernilai tambah tinggi dan sektor jasa modern menjadi syarat mutlak agar Indonesia bisa lepas landas menjadi negara maju.
Di sisi lain, tingginya proporsi pekerja informal menambah kompleksitas. Bekerja tanpa perlindungan hukum, tanpa kepastian pendapatan, dan tanpa jaminan sosial adalah bentuk ketidakadilan struktural yang tidak bisa terus dibiarkan. Negara harus hadir, bukan hanya untuk menciptakan lapangan kerja, tetapi juga untuk memastikan bahwa pekerjaan yang tersedia adalah layak dan bermartabat.
Transformasi ketenagakerjaan yang berpihak pada kelompok-kelompok ini bukanlah pilihan, melainkan kebutuhan mendesak. Dan transformasi ini tidak bisa hanya dibebankan kepada Kementerian Ketenagakerjaan semata. Ini adalah misi kolektif bangsa.
Pertama, dunia pendidikan harus mulai membenahi orientasinya. Kurikulum kejuruan harus diperbarui secara berkala dan dikembangkan bersama pelaku industri, bukan dalam ruang tertutup kementerian. Pendidikan vokasi harus membekali siswa dengan keterampilan yang betul-betul dibutuhkan pasar, termasuk keterampilan digital, komunikasi, kewirausahaan, dan manajemen risiko. Koneksi antara sekolah dan dunia industri harus dihidupkan, tidak cukup hanya dalam bentuk program magang singkat.
Kedua, industri sebagai pengguna tenaga kerja harus berani berinovasi dalam sistem rekrutmen dan pelatihan internal. Anak muda yang belum berpengalaman bukan berarti tidak kompeten. Dengan pelatihan yang tepat, mereka bisa tumbuh menjadi pekerja unggul. Selain itu, sektor swasta juga memiliki peran besar dalam menciptakan sistem kerja yang ramah perempuan dengan fleksibilitas jam kerja, fasilitas pendukung keluarga, dan perlindungan di tempat kerja.
Ketiga, pemerintah daerah dan pusat harus bersinergi memperkuat perlindungan sosial bagi pekerja informal. Ini mencakup jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, dan program pensiun yang bisa diakses secara sukarela, tetapi terintegrasi. Langkah BPJS Ketenagakerjaan memperluas cakupan ke pekerja informal harus didukung dengan subsidi dan insentif agar partisipasinya semakin luas.
Keempat, peran komunitas dan organisasi masyarakat juga sangat vital. Mereka bisa menjembatani pelatihan, membangun literasi keuangan dan digital, serta mengadvokasi hak-hak kelompok rentan. Di beberapa kota, program pelatihan keterampilan berbasis komunitas terbukti lebih menjangkau pekerja informal ketimbang program pemerintah pusat yang seringkali terlalu birokratis.
Transformasi ketenagakerjaan juga membutuhkan pembaruan data dan sistem pemantauan yang adaptif. Penggunaan big data, integrasi dengan sistem jaminan sosial, dan tracer study lulusan sekolah harus menjadi bagian dari sistem pemantauan pasar kerja nasional yang berbasis bukti. Data dari Sakernas sudah menjadi fondasi yang sangat baik, namun perlu diperkuat dengan insight yang lebih dinamis.
Data bukan hanya statistik di atas kertas, melainkan kompas untuk menavigasi arah pembangunan. Perbaikan pasar kerja harus berpijak pada pemahaman yang dalam terhadap siapa yang belum terjangkau oleh sistem yang ada.
Kita tidak bisa bicara pertumbuhan ekonomi, tanpa memastikan bahwa generasi muda kita punya masa depan yang layak, bahwa perempuan bisa bekerja, tanpa dihantui stigma dan diskriminasi, dan bahwa pekerja informal punya hak atas rasa aman. Pasar kerja Indonesia sedang di persimpangan jalan. Arah mana yang kita pilih akan menentukan wajah bangsa ini di masa depan.
Transformasi ketenagakerjaan harus dimulai dari berpihak pada yang terpinggirkan. Karena di sanalah sesungguhnya letak kekuatan dan potensi terbesar Indonesia, yaitu pada mereka yang selama ini masih terabaikan.
*) Nuri Taufiq adalah analis data di Tim Kemiskinan Direktorat Statistik Ketahanan Sosial, BPS RI
