Jakarta (ANTARA) - Bulan lalu, para pemimpin dunia berkumpul dalam COP30 di Belém, Brasil, untuk membahas langkah global menghadapi perubahan iklim.
Tidak lama berselang, banjir bandang dan longsor melanda Pulau Sumatra dan sejumlah negara ASEAN lain, dipicu oleh cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi.
Di tengah pembahasan tentang emisi, energi terbarukan, transisi ekonomi hijau, dan bencana banjir, ada satu elemen penting yang jarang disebut, padahal berada tepat di bawah kaki kita setiap hari, yakni tanah.
Mungkin banyak yang bertanya-tanya, “tanah?” Apa hubungannya tanah dengan perubahan iklim?” Ini pertanyaan yang wajar. Bagi banyak orang, tanah hanyalah media untuk menanam padi, sayur, atau tanaman perkebunan.
Tetapi bagi ilmuwan tanah dan iklim, tanah adalah salah satu komponen paling krusial dalam sistem Bumi. Tanah bukan hanya tempat tumbuhnya tanaman, ia adalah mesin raksasa penyimpan karbon, pengatur air, dan penentu ketahanan pangan.
Untuk memahami mengapa tanah penting, mari pahami mulai dari dasar tentang apa sebenarnya yang menyebabkan perubahan iklim?
Perubahan Iklim
Akar permasalahan perubahan iklim adalah peningkatan gas rumah kaca, terutama karbon dioksida (CO₂), metana (CH₄), dan dinitrogen oksida (N₂O).
Manusia mengeluarkan lebih banyak CO₂ ke atmosfer melalui pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi, dan perubahan penggunaan lahan.
Karbon dioksida ini bertahan lama di atmosfer dan memerangkap panas, menyebabkan suhu global terus naik.
Karbon adalah pusat dari persoalan ini. Ia berputar dalam sistem bumi, melompat dari tanaman ke tanah, ke laut, dan ke atmosfer, dalam sebuah siklus yang sangat dinamis. Salah satu tempat penyimpanan karbon terbesar di planet ini, yang sering tidak disadari manusia adalah tanah.
Tanah gudang karbon terbesar di daratan
Inilah fakta yang mungkin mengejutkan: tanah menyimpan lebih banyak karbon daripada gabungan seluruh tanaman dan atmosfer.
Jika atmosfer menyimpan sekitar 830 gigaton karbon, dan seluruh tanaman di dunia sekitar 450 gigaton, maka tanah menyimpan lebih dari 1.500 hingga 2.400 gigaton karbon, dua sampai tiga kali lipat lebih besar (1 gigaton = satu miliar ton, atau 1 trilium kilogram).
Dengan kata lain, tanah adalah raksasa senyap yang menentukan apakah manusia dapat menjaga suhu bumi tetap stabil atau membiarkannya terus memanas.
Tetapi tanah memiliki dua wajah. Pertama, dapat menjadi sumber karbon, yakni melepaskan CO₂ ke atmosfer. Kedua, tampungan karbon yang menyerap dan menyimpan CO₂ dalam jangka waktu lama. Di sinilah cerita semakin menarik.
Tanah sebagai sumber emisi karbon
Tanah dapat menjadi sumber karbon ketika dikelola dengan buruk atau ketika ekosistemnya dirusak.
Contoh paling umumnya adalah pembukaan hutan. Saat hutan ditebang untuk dijadikan lahan pertanian atau perkebunan, karbon yang tersimpan dalam pohon dan tanah dilepaskan ke atmosfer.
Proses lainnya adalah pembajakan tanah. Saat tanah dibolak-balik, bahan organik tanah terpapar udara dan teroksidasi menjadi CO₂. Di tanah gambut, masalah ini jauh lebih parah.
Mengeringkan lahan gambut ibarat membuka lemari besi yang penuh karbon; karbon yang tadinya tersimpan stabil langsung teroksidasi dan dilepas ke atmosfer.
Tidak mengherankan jika sebagian besar emisi lahan di Indonesia berasal dari kebakaran hutan, gambut dan deforestasi.
Penyerap Karbon
Kabar baiknya, tanah juga memiliki kemampuan luar biasa untuk menyerap karbon kembali. Tanaman mengambil CO₂ dari udara melalui fotosintesis, lalu mengirimkan sebagian karbon itu ke tanah melalui akar, sisa-sisa tanaman, dan senyawa yang dikeluarkan akar.
Karbon ini kemudian berubah menjadi bahan organik tanah, yang dapat bertahan puluhan hingga ribuan tahun bila terikat pada mineral tanah. Inilah mengapa pertanian regeneratif seperti agroforestri, tanpa olah, tanaman penutup, semakin populer.
Praktik-praktik ini meningkatkan karbon organik tanah, memperbaiki struktur tanah, dan pada akhirnya membantu mengurangi emisi global.
Dengan praktik yang tepat, tanah dapat menyerap 1 hingga 2 ton CO₂ per hektare setiap tahun. Bayangkan skalanya jika diterapkan secara luas di Indonesia.
Tanaman pertanian berkontribusi pada emisi?
Pertanyaan umum muncul: “Bukankah tanaman menyerap karbon dioksida? Mengapa tanaman tetap dituding sebagai penyumbang emisi?”
Jawabannya sederhana: karena proses sebelum dan saat pertanian. Konversi ini juga menggantikan akar pepohonan yang dalam dan kuat dengan akar tanaman budidaya yang dangkal, sehingga kemampuan tanah untuk menyimpan karbon, menahan air, dan menjaga strukturnya menurun drastis.
Jika perkebunan dibangun di atas gambut, emisi terus keluar dari tanah yang mengering. Selanjutnya tanaman pertanian tidak akan dapat menyerap karbon sebanyak hutan alami.
Jadi masalahnya bukan pada tanamannya, melainkan pada jejak karbon dalam proses konversi lahan dan pertanian.
Siklus Air
Tanah tidak hanya menyimpan karbon; tanah juga merupakan penyimpan air terbesar di daratan.
Ketika hujan jatuh ke permukaan bumi, tanah menyerap dan menahan sebagian air tersebut, lalu secara perlahan mengalirkannya ke bawah untuk mengisi kembali air tanah. Proses ini sangat dipengaruhi oleh keberadaan vegetasi berakar dalam seperti pepohonan.
Ketika hutan ditebang, lapisan pelindung berupa tutupan vegetasi hilang. Tanpa akar yang membentuk jalur infiltrasi dan menjaga struktur tanah, jumlah air yang dapat meresap ke dalam tanah berkurang.
Sebaliknya, air hujan langsung menghantam permukaan tanah yang terbuka, menyebabkan limpasan permukaan dan mempercepat erosi tanah.
Perubahan iklim semakin memperburuk masalah ini. Kejadian cuaca ekstrem yang lebih sering dan lebih intens seperti hujan lebat baru-baru ini di Sumatra menghasilkan volume air yang melebihi kapasitas infiltrasi tanah.
Pada lahan yang telah terdeforestasi, hujan ekstrem dengan cepat mengikis tanah yang tidak terlindungi, memicu rangkaian dampak berantai berupa mempercepat aliran dari hulu ke hilir.
Dampaknya tidak berhenti pada bencana alam. Hilangnya lapisan tanah atas mengurangi kesuburan, menurunkan produktivitas pertanian, dan mengancam ketahanan pangan jutaan penduduk di Indonesia.
Tanah yang rusak juga melepaskan karbon kembali ke atmosfer, mempercepat perubahan iklim.
Tanah sebagai solusi mitigasi dan adaptasi
Dengan kapasitasnya menyimpan karbon dan air dan kemampuannya memperbaiki ketahanan pangan, tanah sebenarnya berada di tengah solusi perubahan iklim. Untuk mengatasi perubahan iklim, terdapat dua strategi yaitu mitigasi dan adaptasi.
Mitigasi berarti upaya untuk mengurangi atau mencegah penyebab perubahan iklim. Mitigasi mengacu pada segala tindakan yang bertujuan mengurangi emisi gas rumah kaca atau meningkatkan penyerapannya agar pemanasan global tidak semakin parah.
Sebagai mitigasi, tanah dapat menyerap karbon melalui peningkatan bahan organik, menghentikan kehilangan karbon melalui pengurangan deforestasi, memulihkan lahan terdegradasi, dan mengembalikan fungsi gambut.
Sebagai adaptasi, tanah yang sehat membantu tanaman bertahan terhadap kekeringan, hujan ekstrem, dan peningkatan suhu.
Tanah yang kaya karbon memiliki kapasitas air lebih baik, mengurangi erosi, dan meningkatkan produktivitas pertanian. Dengan kata lain, masa depan pertanian Indonesia sangat ditentukan oleh kesehatan tanahnya.
Langkah Strategis
Jika Indonesia ingin memanfaatkan peran tanah dalam agenda iklim global, terdapat beberapa langkah yang bisa diambil.
Pertama, Indonesia perlu membangun kebijakan soil security sebagai kerangka nasional yang memastikan keberlanjutan tanah.
Kedua, mempercepat transisi ke pertanian regeneratif melalui insentif dan dukungan teknis.
Ketiga, mengurangi deforestasi, memastikan rehabilitasi gambut, mangrove, dan lahan kritis menjadi prioritas nasional.
Terakhir, memasukkan ilmu tanah ke dalam perencanaan ekonomi, pangan, dan iklim.
Tanah bukan sekadar medium tanam, melainkan penentu bagi manusia untuk dapat menjaga stabilitas iklim sambil memberi makan penduduk yang terus bertambah.
Dengan pengelolaan yang tepat, tanah dapat menjadi penyerap karbon yang kuat, melindungi lahan dari cuaca ekstrem, dan membentuk fondasi pembangunan pertanian berkelanjutan.
Jika manusia memberikan perhatian yang seharusnya, maka tanah akan menjadi aktor utama dalam cerita Indonesia menghadapi perubahan iklim, bukan lagi sekadar latar belakang yang terlupakan.
*) Penulis adalah Profesor Ilmu Tanah di Sydney University, Australia.
