Jakarta, (Antaranews Sulteng) - Mantan Ketua DPR RI Setya Novanto menemui sejumlah vendor pengadaan KTP elektronik untuk membicarakan harga "chip" atau keping kartu KTP-el di rumah Setnov.
"Saya ditelepon, disuruh datang ke rumah Pak Novanto. Saya datang malam-malam. Kalau tidak salah ada Pak Paulus Tannos. Saat itu saya ditanya 'cost' kartu untuk produksi berapa, saya jawab 'based on' pengalaman HP Amerika sekitar 2,5 s.d. 3 dolar AS per keping," kata saksi mantan Country Manager Hewlett Packard (HP) Enterprise Services Charles Sutanto Ekapradja dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Charles menjadi saksi untuk terdakwa Setya Novanto yang didakwa dalam kasus korupsi KTP-el yang merugikan keuangan negara senilai Rp2,3 triliun.
Dalam dakwaan Setnov, disebutkan bahwa ada pertemuan di rumah Setnov di Jalan Wijawa XIII No. 19 Kebayoran Baru pada tahun 2012 itu dihadiri Charles. Setnov menanyakan harga 1 keping kartu ID dan bertanya apakah KTP-el dapat menggunakan "chip" produk Cina yang harganya lebih murah. Saat itu Charles menginformasikan harga automated finger print identification system (AFIS) merek L-1 yang digunakan dalam KTP-el terlalu mahal.
"Saya ditanya apakah bisa menggunakan 'chip' dari negara lain, yaitu Cina, terus terang HP tidak pernah menggunakan 'chip' dalam jangka waktu 1 tahun. Jadi, saya tidak bisa jawab secara umum, semestinya 'chip' yang dibutuhkan memnuhi standar. Selama kartu itu memenuhi ISO sebetulnya bisa bisa saja. Setelah itu, saya pulang," ungkap Charles.
Charles mengaku respons Setnov saat itu hanya "manggut-manggut".
Dalam pertemuan itu, Charles juga menanyakan kepada pemilik perusahaan Delta Energy Investment Made Oka Masagung yang juga rekan dekat Setnov mengenai "seberapa berpengaruhnya Setnov di KTP-el dan dijawab Made Oka Masagung, 'Sudahlah percaya saja sama dia (Setnov)'.
"Benar saudara mengatakan 'terkadang kami membutuhkan blessing atau persetujuan orang-orang seperti Setya Novanto agar tidak dipersulit dan tidak dihambat'?" tanya ketua majelis hakim Yanto.
"Iya," jawab Charles.
Selain Charles, vendor KTP-el yang hadir di rumah Setnov juga adalah Dirut PT Sandipala Paulus Tannos sebagai penyedia "chip" KTP-el.
"Di BAP 16 katanya Paulus Tannos pernah minta modal ke Made Oka?" tanya hakim.
"Di luar itu pertemuan itu karena dia tidak punya modal untuk membeli mesin, jadi minta dicarikan pinjaman untuk mendapatkan uang ke Pak Oka Masagung," ungkap Charles.
"Saudara juga menanyakan kepada Made Oka Masagung siapa pemilik KTP-el lalu saudara menjawab multipartai merah kuning biru, memang partai apa?" tanya jaksa penuntut umum KPK Eva Yustisiana.
"Itu yang saya dengar dari pasaran, asumsi saya kuning itu Golkar, merah itu PDIP, biru itu Demokrat," jawab Charles.
Pertemuan itu adalah pertemuan ketiga antara Charles dan Setnov. Charles mengenal Made Oka Masagung dari mantan mertuanya.
Ia mengaku mendengar mengenai proyek KTP-el lalu menelepon Made Oka dan 3 minggu kemudian ia diajak ke rumah Setnov.
"Pada pertemuan pertama saya ditanya dari mana punya keahlian apa HP. Beliau (Setnov) dan Pak Oka pindah bicara ke ruangan lain, tidak dengar. Setelah itu, sudah saya diajak pulang. Saya sempat tanya itu siapa, ya, dia bilang udah ikutin aja prosesnya," jelas Charles.
Pertemuan kedua adalah di Gedung DPR RI ramai-ramai di ruangan besar sekaligus makan siang.
"Tujuannya saya tidak tahu. Saya cuma diajak beliau (Made Oka)," ungkap Setnov.
Setnov pun tidak membantah ada pertemuan tersebut di rumahnya.
Dalam perkara ini, Setnov diduga menerima 7,3 juta dolar AS dan jam tangan Richard Mille senilai 135.000 dolar AS dari proyek KTP-el. Setya Novanto menerima uang tersebut melalui mantan direktur PT Murakabi sekaligus keponakannya Irvanto Hendra Pambudi Cahyo maupun rekan Setnov dan juga pemilik OEM Investmen Pte.LTd. dan Delta Energy Pte.Lte yang berada di Singapura Made Oka Masagung.
Adapun jam tangan diterima Setnov dari pengusaha Andi Agustinus dan Direktur PT Biomorf Lone Indonesia Johannes Marliem sebagai bagian dari kompensasi karena Setnov telah membantu memperlancar penganggaran. Total kerugian negara akibat proyek tersebut mencapai Rp2,3 triliun.