Palu (ANTARA) - Menemukan lalampa, kue lapis ubi atau dadar gulung di tengah hiruk pikuknya Singapura buat saya adalah sesuatu yang sangat menarik. Saya seperti menemukan durian runtuh.
Seperti Senin, 12 Agustus ini. Seusai bertemu dengan ahli transportasi publik Bruno Wildermuth di Parade Park, Marine Parade, Central Singapore, saya berjalan keluar mencari Mass Rapid Transit Station. Tak dinyana saya melihat Bengawan Solo, toko kue yang tersohor di Negara Kota ini. Saya terhenyak saat melihat lemper, salah satu varian olahan beras ketan yang bila dibakar berubah nama menjadi lalampa. Ada pula getuk singkong gula merah, lapis ubi, dadar gulung, binka dan jajan pasar lainnya.
Saya seperti sedang berada di Pasar Tua, Pasar Bambaru, Palu Barat, Sulawesi Tengah. Ada banyak penjual jajanan pasar di sana. Tempat saya biasa mencari lalampa, kue lapis, dadar gulung, binka dan lain-lain.
Saya juga ingat Golden Bakery yang terkenal di Kota Palu itu. Nah soal Bengawan Solo, saya akan ceritakan sedikit kisahnya.
Toko kue ini didirikan pada 1979 oleh Tjendri Anastasia yang kemudian dikenal sebagai Anastia Liew setelah menikah dengan Johnson Liew di Singapura. Perempuan kelahiran Pulau Bangka pada 1947 ini besar di Palembang, Sumatera Selatan. Lalu pada 1970 ia hijrah ke Singapura.
Anastasia punya bakat alami dalam urusan bakery lantaran ibu dan tantenya dikenal karena usaha itu. Sebelum Bengawan Solo didirikan, perempuan ini memulai bisnisnya seperti saat ini, ia memulai usahanya dari rumah.
Ia membuat kue mentega, sifon dan kue lapis lalu menjualnya langsung ke kawan-kawannya. Sayang, karena inspeksi kesehatan, ia harus menutup usahanya itu. Ia harus memiliki izin produksi makanan dari Pemerintah Singapura. Sampai kemudian karena desakan pelanggan, ia mengajukan permohonan izin produksi. Lalu ia memberinya nama Bengawan Solo, merujuk pada lagu ciptaan Gesang Martohartono (1 October 1917 – 20 May 2010) yang tersohor itu.
Baca juga: Opini - Singapura, Sulawesi Tengah dan Gubernur pasca Longki
Dalam sebuah wawancara pada 2013, seperti dilansir di situs SWHF.sg di bawah Singapore Council of Women’s Organisations, saat memulai usahanya, Anastasia bilang; "Saya hanya punya satu oven kecil, satu mixer kecil, tak punya tempat khusus memotong kue. Semuanya saya lakukan secara manual. Saya hanya menggunakan bahan-bahan terbaik dan segar."
Tapi sekarang, Bengawan Solo sudah memiliki 38 outlet di seantero Singapura dengan 23 pusat produksi. Bengawan Solo menjadi salah satu bakery
Pada akhirnya memang tampilan, kemasan dan mutu produksi itulah yang menjamin keberlangsungan sebuah produk. Juga jangan dilupakan bagaimana menata tempat jualannya menjadi lebih menarik, bersih dan mungkin instagramable seperti yang dimaui oleh kaum milineal kini.
Tengok saja, Golden Bakery atau Coco di Kota Palu, tentu lebih menarik hati tinimbang jajanan pasar di tempat lain. Padahal mutu jajanan di Pasar Tua atau Pasar Bambaru itu tak kalah dari Golden atau Coco. Rasanya pun tak jauh beda.
Ini adalah pekerjaan rumah buat Pemerintah Kota Palu, didukung Pemerintah Provinsi Sulteng namun membutuhkan partisipasi aktif masyarakat. Sebagaimana contoh kasus saat penertiban Pasar Inpres Manonda Palu. Penertiban itu selalu berakhir ricuh sebab pedagang tetap berkeras menggelar dagangannya di bahu jalan. (Jafar Bua, Penerima Fellowship Temasek Foundation pada program Asia Journalism Fellowship 2019 di Lew Kuan Yew Institute of Policy Studies, National University of Singapore.)