Usman dan Harun, kenangan tak manis di Orchard Road

id Singapura,Jafar Bua

Usman dan Harun, kenangan tak manis di Orchard Road

Ilustrasi (ANTARA/HO-Jafar Bua)

Perdebatan tentang dua anggota KKO itu belum usai; Di Indonesia mereka disambut sebagai Pahlawan Nasional, sedang di Singapura mereka disematkan sebutan tak manis; Teroris.
Singapura (ANTARA) - Sebuah plakat bertanda Singapore Preservation of Monuments Board - Dewan Pelestarian Monument dipasang di MacDonald House di Orchard Road.

Fasad bangunan ini dilestarikan sebagai salah satu monument. Monument ini menyimpan kisah hubungan Indonesia - Singapura yang tak manis di zaman Bung Karno, Presiden pertama Indonesia dan juga menyimpan kisah pilu anak bangsa yang harus dihukum mati di tiang gantungan.

Pada 10 Maret 1965, sebuah bom diledakkan ditempat ini oleh tiga orang sukarelawan Indonesia yang terlibat dalam apa yang disebut oleh Bung Karno, sebagai Komando Ganyang Malaysia. Dalam buku sejarah Singapura dikenal sebagai Konfrontasi Indonesia - Malaysia atau Konfrontasi saja. 

Saat itu, Federasi Malaya atau Persekutuan Tanah Melayu pada 1961 berkeinginan menggabungkan Brunei, Sabah dan Sarawak ke dalam Federasi Malaysia. Keinginan itu ditentang Bung Karno. Menurut Proklamator kita itu, pembentukan federasi yang kemudian hari menjadi Malaysia sebagai kolonialisme dan imperialisme gaya baru. 

Dalam situasi perang itulah, tiga sukarelawan Indonesia yang diketahui adalah anggota Korps Komando Operasi (KKO), cikal bakal Marinir TNI Angkatan Laut dikirim ke Singapura.

Merujuk pada buku Gretchen Liu, The Singapore Foreign Service yang terbit pada 2005, tugas Usman Janatin, Harun Thohir dan Gani Arup adalah memantik ricuh antar-ras di Singapura. 

Mereka membawa 12,5 kilogram bahan peledak untuk meledakan pusat pembangkit listrik setempat. Entah bagaimana yang mereka ledakan kemudian adalah MacDonald House yang kala itu menjadi kantor Hong Kong and Sanghai Bank. Sebanyak tiga orang tewas dan puluhan lainnnya luka-luka. Dua orang yang tewas termasuk pegawai Bank tersebut. 
Ilustrasi (ANTARA/HO-Jafar Bua)

Baca juga: Opini - Singapura, Sulawesi Tengah dan Gubernur pasca Longki
Baca juga: Bengawan Solo dan Lapis Ubi Pasar Bambaru


Tugas selesai, ketiga sukarelawan itu pun melarikan diri dan bersembunyi. Beberapa hari kemudian Usman dan Harun tertangkap, sedang Gani entah bagaimana bisa lolos. Selama masa Konfrontasi itu tidak kurang 50-an bom diledakan sukarelawan Indonesia yang menyusup ke Singapura. 

Dalam paperbook yang dipublikasikan National Security Coordination Center; The Fight Against Terror Singapore's National Security Strategy, dipaparkan dua anggota KKO itu kemudian dihukum gantung pada 17 Oktober 1968. Meski beberapa kali delegasi Indonesia datang meminta penangguhan hukuman. 

Hukuman itu memicu kemarahan di Indonesia. Kepulangan jenazah dua personel KKO itu ke Tanah Air disambut secara besar-besaran. Sejak saat itu, hubungan Indonesia - Singapura memanas. Kedutaan Besar Singapura di Jalan Indramayu, Menteng, Jakarta Pusat diserbu dan dirusak massa.

Sekitar 1970-an, Perdana Menteri Pertama Singapura, Lee Kuan Yew berkunjung ke Jakarta. Ia pun menyempatkan diri menabur bunga di pusara dua anggota KKO yang dihukum mati tersebut. Keduanya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Ia bertemu dengan Presiden kedua Indonesia, Soeharto. Ketegangan Indonesia - Singapura pun mencair.  

Publik dunia melihat ini sebagai langkah diplomasi luar biasa dari Lee Kuan Yew. Soeharto pun menyambut baik kunjungan Lee itu. Sejak saat itu, Lee dan Soeharto bersahabat karib. Hubungan Indonesia - Singapura membaik.

Hanya saja, perdebatan tentang dua anggota KKO itu belum usai; Di Indonesia mereka disambut sebagai Pahlawan Nasional, sedang di Singapura mereka disematkan sebutan tak manis; Teroris. (Jafar Bua-Penerima Fellowship dari Temasek Foundation dalam program Asia Journalism Fellowship 2019 di Institut of Policy Studies, National University of Singapore.)
Ilustrasi (ANTARA/HO-Jafar Bua)