Jakarta (ANTARA) - Pemerintah akhir-akhir ini sedang getol merancang pelatihan bagi pencari dan pekerja ter-PHK. Kemenaker menamakan program itu dengan Program Kartu Prakerja, sedangkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BP-Jamsostek) membuat Program Pelatihan Vokasi yang sudah berjalan dua bulan ini.
Biaya yang dikeluarkan untuk keduanya juga cukup fantastis. Pemerintah mengalokasikan dana Rp10 triliun untuk menjaring 2 juta peserta Program Kartu Prakerja, sementara BP-Jamsostek mengalokasikan dana Rp294 miliar untuk 20.000 pencari kerja yang terputus hubungan kerjanya (PHK).
Selama pelatihan mereka akan mendapat honor dalam jumlah tertentu dan untuk masa tertentu. Jika program Kartu Prakerja menyasar angkatan kerja baru, maka program Latihan Vokasi menyasar pekerja yang sudah menjadi peserta BP-Jamsostek dan terputus hubungan kerja (PHK).
Program ini sudah dimulai pada September lalu dan ditarget hingga akhir Desember 2019 diikuti 1.000 peserta sebagai tahap awal.
Provinsi Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat menjadi pilot project program vokasi, meski program ini sudah disosialisasikan juga di daerah lain, seperti NTT dan Jawa Tengah.
Melihat besarnya anggaran tersebut terkesan ada permasalahan besar pada dunia pendidikan selama ini, atau tingkat pengangguran yang terus membesar.
Mantan Menaker Hanif Dhakiri mengatakan Program Kartu Prakerja dilaksanakan karena berdasarkan kajian, hanya 20 persen tenaga kerja yang kualifikasinya memenuhi kebutuhan dunia usaha.
Kondisi penduduk terdidik saat ini, sekitar 60 persen angkatan kerja masih berpendidikan sekolah menengah pertama atau tak tamat SMP. Dari sisanya, setengah yang memenuhi kualifikasi dunia usaha.
Artinya, jika ada 10 angkatan kerja baru, hanya dua orang yang memenuhi kualifikasi dunia usaha. Sisanya, perlu dilatih agar memenuhi syarat dan terserap dunia usaha.
Karena itu, pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) RI menargetkan dua juta orang akan memperoleh Kartu Prakerja pada 2020 untuk menekan angka pengangguran di Tanah Air.
Selama tiga bulan mereka akan mendapatkan insentif dengan nominal tertentu, ujar Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemenaker RI Khairul Anwar di Jakarta.
Tidak nyambung
Jika demikian, benar dugaan semula bahwa masalah link and match dunia pendidikan dan dunia kerja masih tidak nyambung. Kondisi itu sudah dibahas sejak Orde Baru dan masih terjadi setelah 21 tahun reformasi.
Jika benar argumen Hanif Dakhiri, maka dapat disimpulkan sementara bahwa ketidaksambungan dunia pendidikan dan dunia usaha semakin lebar, terlebih jika mempertimbangkan angkatan kerja baru yang terus bertambah, baik yang lulusan sekolah menengah maupun perguruan tinggi.
Dunia pendidikan dan dunia kerja sepertinya masih jalan sendiri-sendiri. Masing-masing asyik dengan dunianya.
Bahasa terangnya, dunia pendidikan setiap tahun meluluskan alumnusnya, tetapi hanya 20 persen terserap dunia usaha. Sisanya, harus berjuang keras atau harus dilatih lagi agar diterima dunia usaha.
Rektor Universitas Indonesia (UI) Prof. Dr. Ir. Muhammad Anis, M.Met mengatakan tiga pilar utama, pemerintah sebagai pengendali kebijakan, penyelenggara pendidikan dan pengusaha harus duduk bersama untuk merumuskan kebijakan, pendidikan seperti apa yang dibutuhkan dunia usaha.
Pemerintah dinilai harus menentukan kebijakan bahwa prioritas utama adalah pembangunan bidang A, B dan C, misalnya. Konsekwensinya, dunia pendidikan harus mendidik dan menyediakan lulusan dengan kualifikasi tersebut.
Tidak dipungkiri bahwa tamatan sarjana dan seterusnya dipersiapkan untuk level manajerial, sementara lulusan vokasi dan sekolah kejuruan dipersiapkan untuk mengisi jabatan yang memerlukan keterampilan.
Namun, tetap harus ada prioritas bahwa pemerintah akan mengembangkan jabatan profesi tertentu sehingga tidak ada lulusan yang berlebihan di suatu bidang yang ujung-ujungnya menjadi pengangguran terdidik.
Mengacu pada PBI
Berbicara tentang pengangguran, fenomena 96,8 juta peserta BPJS Kesehatan yang menjadi penerima bantuan iuran (PBI) melalui APBN dan 37,3 juta lainnya dibayarkan melalui APBD bisa menjadi gambaran tentang kemampuan nyata masyarakat.
Artinya, terdapat 134,1 juta dari 267 juta penduduk Indonesia yang tidak mandiri atau tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, yakni membayar iuran BPJS Kesehatan secara mandiri.
Angka itu jika dikaitkan dengan kepesertaan aktif BP-Jamsostek yang sekitar 30 juta pekerja plus ASN dan TNI serta Polri dikalikan rata-rata 3 atau 4 anggota keluarga maka angkanya memang demikian.
Inilah gambaran sederhana tentang kondisi riil keluarga Indonesia yang mandiri (mampu membayar BPJS Kesehatan dan BP-Jamsostek) adalah 30 juta peserta aktif BP-Jamsostek, ASN dan TNI serta Polri beserta keluarganya, sedang sisanya adalah keluarga marjinal yang harus disubsidi negara. Kondisi ini memprihatinkan.
Mereka yang disubsidi mungkin pengangguran, penduduk miskin atau penduduk marjinal, yakni sebagian mampu memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan, tetapi tidak untuk jaminan sosial.
Kondisi sosial yang seperti ini yang hendak dipecahkan melalui Kartu Prakerja dan Program Pelatihan Vokasi yang dilakukan secara masif, sebagai jalan pintas yang menghubungkan dunia pendidikan (pelatihan) dengan dunia usaha.
Program ini memerlukan keterlibatan tiga unsur utama, yakni pemerintah, lembaga pendidikan dan pelatihan serta pemikiran para eksekutif dan praktisi perusahaan untuk menyusun program pelatihan yang dibutuhkan dunia kerja saat ini dan di masa datang.
Ketiganya harus duduk bersama agar dunia pendidikan tidak asyik mendidik, sementara perusahaan dan pelaku bisnis tidak memanfaatkan lulusannya.
Ketiganya harus duduk bersama, agar program Kartu Prakerja dan Pelatihan Vokasi bukan program populis membagi-bagi honor/insentif kepada peserta yang pengangguran, tetapi benar-benar memberi kail kepada pencari kerja untuk berusaha (memancing) mendapat "ikan" bagi keluarga dan masa depannya.