Menjadi nakhoda terbaik di tengah krisis

id GAPKI,Tofan Mahdi

Menjadi nakhoda terbaik di tengah krisis

Tofan Mahdi bersama bukunya Pena Di Atas Langit. (antara/foto/firman)

Menghadapi krisis dan ketidakpastian saat ini, Indonesia membutuhkan nakhoda-nakhoda kapal yang tidak saja bagus tetapi juga hebat.
Palu (ANTARA) - Buku Great by Choice karya Jim Collins dan Morten T. Hansen ini sudah tuntas saya baca lebih setahun lalu. Tak lama setelah mendapatkan buku ini dari CEO Astra Agro Bapak Santosa.

Berbeda dengan buku-buku manajemen dan bisnis yang pernah saya baca, termasuk Good to Great karya Jim Collins sendiri, Great by Choice mengulas satu faktor yang menjadikan buku ini berbeda. Apa itu? Krisis atau guncangan ekonomi. Krisis yang tidak saja membuat banyak perusahaan hanya bisa bertahan tapi banyak juga perusahaan-perusahaan yang awalnya kita kenal sebagai perusahaan yang besar dan memiliki kapitalisasi pasar tinggi di pasar modal, harus gulung tikar. 

Namun tidak semuanya terseret gelombang badai itu, ada juga perusahaan yang tidak saja bertahan, tetapi justru berkembang dengan pesat. Dalam Great by Choice, perusahaan-perusahaan yang berkembang pesat setelah melewati berbagai guncangan ekonomi termasuk krisis ekonomi global, dimasukkan dalam kelompok 10X (baca: Ten X-er). Yang sederhananya berarti, mampu mencatatkan pertumbuhan bisnis dan kapitalisasi pasar minimal 10x lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan industri. 

Mengapa perusahaan-perusahaan tersebut bisa sukses? Apa rahasianya? Business leadership apakah yang dimiliki pemimpin perusahaan-perusahaan tersebut? Benarkah perusahaan-perusahaan tersebut memiliki pemimpin yang lebih visoner, lebih inovatif, lebih cepat mengambil keputusan, pun perusahaan melakukan sebuah perubahan yang radikal dalam menghadapi krisis? Ternyata jawabannya tidak selalu demikian. Inilah yang membuat buku ini menjadi menarik dan relevan terutama saat perekonomian Indonesia, seperti halnya negara-negara lain di dunia, dihantam badai akibat global pendemic covid-19 atau kita biasa menyebut virus corona.

Baca juga: Presdir AAL Santosa, CEO Idaman Terbaik 2019
 
Buku (ANTARA/HO-Dokumen TM)


Teman-teman semua  pasti sudah mengikuti update kondisi makro dan mikro ekonomi negara kita saat ini. Saat artikel ini saya tulis nilai tukar rupiah masih berada di level Rp 15.700 per USD, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di level 4.706, indeks LQ45 pada level 713,26. Jika dibandingkan dengan harga penutupan akhir 2019 (atau hanya sekitar 3 bulan) IHSG dan LQ45 sudah terkoreksi sekitar 25%. Bahkan ada beberapa saham unggulan di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang dalam periode tersebut harga sahamnya turun lebih dari 30%. Tragis. 

Beberapa sektor bisnis juga terlihat menghentikan operasi sementara. Yang terdampak paling parah dari krisis saat ini antara lain sektor pariwisata dan seluruh mata rantai industrinya termasuk perhotelan, sektor ritel, juga sektor keuangan dan perbankan yang pasti akan menghadapi risiko kenaikan non performing loan (kredit macet).

Sektor komoditas juga menghadapi ketidakpastian situasi yang sama. Harga minyak mentah turun tajam dan saat ini berada di kisaran USD 31 per barel.  Harga CPO (minyak sawit mentah) juga relatif rendah dan industri sawit menghadapi tantangan pasar ekspor yang lemah. Jadi nyaris semua sektor bisnis sudah terhantam badai COVID-19 ini. Dan situasi yang buruk tersebut tidak saja  terjadi di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia termasuk Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya. Sampai kapan krisis ini akan berakhir? Tidak ada seorang analis ekonomi terhebat pun di dunia ini yang persis tahu. 

Tetapi apakah semua perusahaan unggulan akan tumbang? Adakah yang akan tetap bertahan dan berkembang pesat di tengah ketidakpastian ini? Kedua penulis buku Great by Choice percaya bahwa setiap krisis (seberat apapun) tetap akan melahirkan perusahaan-perusahaan yang hebat.

Baca juga: Sawit tetap jadi tumpuan perekonomian Indonesia

Dicontohkan dalam kelompok 10X antara lain Intel, Microsoft, juga ada perusahaan penerbangan AS Southwest Airlines. Dan buku ini menemukan pola yang sama dalam kepemimpin pada 10X yang membentuk sebuah piramida yaitu: disiplin fanatik, paranoia produktif, dan kreatifitas empiris. Disiplin fanatik berarti konsistensi tindakan untuk mencapai tujuan jangka panjang, paranoia produktif berarti menghadapi ketidakpastian dengan kewaspadaan, ketenangan, dan tindakan produktif. Sedangkan kreatifitas empiris memiliki arti keberanian dalam mengambil keputusan tegas berdasarkan data-data empiris yang telah dipelajari sebelumnya.

“Berjaya dalam dunia yang kacau bukan sekadar tentang tantangan bisnis. Melainkan tentang prinsip-prinsip yang membedakan organisasi hebat dari organisasi bagus,” tulis Collins dan Hanaen dalam bukunya.

Menghadapi krisis dan ketidakpastian saat ini, Indonesia membutuhkan nakhoda-nakhoda kapal yang tidak saja bagus tetapi juga hebat. Belajar dari negara lain yang sukses mengatasi COVID-19 untuk kemudian mengembangkan strateginya sesuai konteks Indonesia adalah juga sikap yang hebat.

Bagi pemimpin perusahaan, tentu saja selain seperti tiga filosofi kepempinan para 10X seperti tersebut di atas, juga perlu mengoptimalisasi sumber daya yang menjadi satu kekuatan. Tidak boleh ada nada yang sumbang, semua harus satu suara dan mengikuti panduan dirigen (CEO)-nya. Dalam kondisi yang normal saja tidak boleh ada nada yang sumbang, apalagi dalam kondisi krisis seperti sekarang. Para karyawan (masyarakat dalam konteks kepemimpinan publik) juga harus mendukung strategi pemimpin dalam menghadapi situasi sulit ini.

Hanya itu cara yang masuk akal agar bangsa kita bisa segera keluar dari krisis dan perusahaan tempat kita bekerja tidak saja bisa bertahan tetap tumbuh dan berkembang dalam jangka panjang. 

Stay safe, stay healthy, dan yakin bahwa badai akan segera pergi. Salam. (tofan.mahdi@gmail.com) *)Tofan Mahdi, praktisi komunikasi. Ketua Bidang Komunikasi GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia)

Baca juga: Tofan Mahdi raih Spokespersons of the Year 2019 Award
 
Tofan Mahdi bersama penulis. (antara/foto/ist)