Menkominfo: pemblokiran hoaks jangan diartikan antidemokrasi

id Hoaks,blokir,Take down,Ruang digital,antidemokrasi,Kominfo,menkominfo

Menkominfo: pemblokiran hoaks jangan diartikan antidemokrasi

Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G Plate, dalam konferensi pers virtual, Senin (23/11/2020). ANTARA/HO-Kementerian Kominfo/pri.

Tidak (pemblokiran hoaks). Tugas itu adalah mandat demokrasi untuk menjaga ruang digital yang bersih

Jakarta (ANTARA) - Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Johnny G Plate mengatakan pemblokiran hoaks dan penurunan (take down) konten tertentu di ruang digital oleh Kementerian Kominfo jangan diartikan sebagai perilaku anti-demokrasi.

"Tidak (pemblokiran hoaks). Tugas itu adalah mandat demokrasi untuk menjaga ruang digital yang bersih," kata Johnny dalam Rapat Kerja Nasional X Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia secara virtual di Jakarta, Senin.

Johnny menilai ruang digital harus bersih dari hoaks agar tidak menciptakan kegaduhan yang kerap muncul di era pasca-kebenaran (post-truth era) seperti sekarang.

Dia menambahkan, di era sekarang, informasi yang tidak benar (hoaks) pada ruang digital dapat menyebabkan ujaran kebencian (hate speech) apabila dibiarkan begitu saja tanpa adanya konfirmasi dari pihak yang berwenang.

Karena itu, Kementerian Kominfo memberi label bagi informasi hoaks, misinformasi, malinformasi ataupun disinformasi. Kominfo juga bertugas memblokir konten-konten berisi ujaran kebencian (hate speech) agar tidak menyebabkan permusuhan.

"Nah ini hal-hal kotor yang harus dibersihkan dari ruang digital. Kementerian Kominfo ditugaskan oleh Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk memastikan ruang digital bersih. Namun, jangan dihadapkan dengan demokrasi, seolah-olah Kominfo antidemokrasi," tutur Johnny.

Johnny mengatakan Indonesia sudah tidak bisa balik lagi ke era otoritarian, karena pemerintah sudah berada pada titik yang hanya dapat melihat ke depan.

Pemerintah, kata dia, terus berupaya meningkatkan kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat agar lebih bertanggung jawab.

Pemerintah juga berupaya meningkatkan kualitas kebebasan pers agar lebih bermanfaat.

"Sebagai contoh, kebebasan pers dulu berada di bawah Departemen Penerangan. Saat ini pers sudah ada Dewan Pers sendiri. Penyiaran sudah ada Komisi Penyiaran, dan seterusnya, yang tidak langsung dikelola di bawah Kementerian tapi ada lembaga-lembaga yang mengatur," ujar Johnny.

Selain itu, Johnny mengatakan ada banyak lembaga quasi (The Quasi Government) yang dibentuk di era reformasi saat ini untuk memastikan agar demokrasi tidak berjalan mundur sehingga menjadi otoritarian lagi.

Menurut Johnny, demokrasi tidak dapat bertumbuh bila ruang digital beroperasi secara tidak sehat. Karena operasi ruang digital yang tidak sehat tadi hanya akan mendorong demokrasi jatuh pada masa kegelapan.

"Indonesia membutuhkan demokrasi yang cemerlang dan terang-benderang. Karena itu, Indonesia secara kolaboratif ekosistemnya, untuk menjaga agar ruang digital kita senantiasa bersih," kata Johnny menegaskan.