Jakarta (ANTARA) - Pertahanan siber nasional tak lagi hanya urusan pemerintah. Faktanya, sebagian besar serangan siber menimpa sektor bisnis dan swasta.
Sepanjang tahun 2022, pelaku kejahatan siber tak hanya menyerang pengusaha di level perusahaan. Sekitar 60 persen usaha mikro, kecil, dan menengah pun mengalami serangan tersebut (Kaspersky: 2022).
Sejumlah serangan siber bahkan menyasar perusahaan swasta yang melaksanakan fungsi pelayanan publik. Misalnya, Pada 24 Februari 2022, hari invasi Rusia ke Ukraina, serangan dunia maya mengganggu akses internet satelit broadband yang dikelola oleh Viasat Inc, satu perusahaan Amerika Serikat yang memasok akses internet di Eropa. Serangan itu menggunakan malware "AcidRain" yang dirancang untuk menghapus perangkat lunak pada modem dan router. Meski serangan ini bertujuan untuk mengganggu komando militer dalam perang Rusia-Ukraina, kenyataannya banyak pelayanan publik yang terganggu.
Serangan malware "AcidRain" tak hanya mengancam objek pemerintah atau militer, juga berdampak pada aktivitas penduduk sipil dan objek sipil lainnya. Diketahui, akses internet offline selama lebih dari 2 minggu. Perusahaan energi besar Jerman kehilangan akses pemantauan jarak jauh ke lebih dari 5.800 turbin angin. Hampir 9.000 pelanggan penyedia layanan internet satelit mengalami pemadaman internet di Prancis. Selain itu, sekitar sepertiga dari 40.000 pelanggan penyedia layanan internet satelit lain di Eropa (Jerman, Prancis, Hongaria, Yunani, Italia, Polandia) terpengaruh. (Reuters: 2022)
Keseluruhan situasi di atas menggambarkan bahwa serangan siber berdampak begitu meluas pada hampir semua sektor. Secara nyata, publik dirugikan. Tentu saja, tidak bisa hanya mengandalkan peran dan tanggung jawab dari pemerintah. Semua sektor yang menggunakan internet sebagai basis kerjanya, baik negara maupun swasta, sudah seharusnya turut mengambil peran dan tanggung jawab pula.
Fenomena ini cukup menjadi perhatian komunitas global. Sejak tahun 2013, korporasi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang berbasis di Silicon Valley, California Amerika Serikat l, menyadari pentingnya kolaborasi antara sektor swasta dan pemerintah dalam rangka meningkatkan keamanan digital secara nasional. Google, Apple, Amazon, dan perusahaan raksasa yang berbasis di sana secara sadar membangun komunikasi dengan Pemerintah AS untuk mengantisipasi serangan siber dengan batasan hukum yang jelas. Hal demikian dilakukan karena layanan perangkat lunak dan perangkat keras yang disediakan korporasi Silicon Valley menjangkau publik secara meluas dalam bentuk layanan komunikasi, keuangan, dan lainnya.
Nah, upaya serupa yang seharusnya juga digagas dalam pembangunan “Bukit Algoritma” oleh Pemerintah. Terletak di Cikidang dan Cibadak Sukabumi, Jawa Barat, “Bukit Algoritma” digadang-gadang akan menjadi 'Silicon Valley'-nya Indonesia, yaitu kawasan pengembangan riset dan sumber daya manusia yang berbasis industri 4.0. Dalam peta jalannya, “Bukit Algoritma” di dalam kawasan itu akan dibangun science park, gedung penelitian yang akan disewakan untuk teknologi kuantum dan kecerdasan buatan, rekayasa nano untuk teknologi bangunan, penelitian otak dan rekayasa genetika, hingga produksi obat-obatan. Juga akan dibuat bangunan riset untuk komponen semikonduktor, pabrikasi otak komputer, dan energy storage berbentuk baterai.
Rencana “Bukit Algoritma” ini, jika memang diarahkan seperti “Silicon Valley,” tentu membutuhkan dukungan sumber daya yang tidak sedikit. Di samping itu, program Industri 4.0 yang dicanangkan Pemerintah juga membutuhkan sumber daya di bidang TIK dalam jumlah yang cukup besar. Seiring dengan program transformasi digital yang membungkus “Bukit Algoritma” dan Industri 4.0, di situ pula dibutuhkan kebijakan dan keahlian dalam bidang keamanan digital.
Perguruan tinggi sebagai institusi yang menyediakan sumber daya tersebut, sudah seharusnya mempersiapkan diri untuk memenuhi potensi permintaan (demand) yang bakalan tinggi itu. Dalam pandangan penulis, kampus harus mengubah dirinya untuk dapat, tak hanya memenuhi permintaan, tetapi juga menciptakan generasi digital yang berkualitas. Orientasi keahlian yang mendukung penguatan keamanan siber tak bisa ditawar lagi.
Hal utama itu adalah pengembangan sikap mental kompetitif dan berpikir strategik bagi peserta didik. Kemampuan ini yang sering kali dilupakan. Bermental kompetitif artinya tidak takut bersaing dengan negara-negara lain dalam mengambil peran di dunia maya. Sementara berpikir strategik adalah kemampuan untuk mampu mengidentifikasi peran apa yang bisa dimainkan dan potensial di masa depan di antara belantara profesi di dunia digital.
Cerita mengenai orang-orang yang “tidak lulus kuliah” seperti Steve Jobs atau Mark Zuckerberg yang sukses mendirikan perusahaan besar (Apple dan Facebook atau Meta) tak perlu lagi dibesar-besarkan. Kesuksesan mereka bukan karena faktor drop out, tetapi mental kompetitif dan berpikir strategik.
Saat ini, Silicon Valley hampir didominasi alumni dua universitas ternama di Amerika Serikat, yaitu Harvard University dan Stanford University.
Untuk memperoleh output mental kompetitif dan kemampuan berpikir strategis pada mahasiswa, kampus harus membuka diri dan memfasilitasi mahasiswa dengan kebebasan akademik dan pengalaman kepemimpinan. Tentu saja kurikulum, fasilitas pendidikan, dan metode ajar dalam hal ini adalah instrumen untuk mencapai tujuan di atas.
Dengan demikian, dalam konteks program “Bukit Algoritma” dan Industri 4.0 dalam bingkai program transformasi digital, dunia pendidikan tak hanya berorientasi tentang penyediaan sumber daya dan tenaga kerja, tetapi mulai diarahkan untuk penyediaan sumber daya secara mandiri untuk memperkuat ketahanan siber nasional.
*) Ngasiman Djoyonegoro adalah pengamat intelijen, pertahanan, dan keamanan; Rektor Institut Sains dan Teknologi Al-Kamal Jakarta.
: