Pasalnya, Wakil Ketua Komisi Nasional Disabilitas Deka Kurniawan menjelaskan keluarga kerap kali menjadi agen pertama yang menumbuhkan kesadaran para penyandang disabilitas mengenai keterbatasan yang mereka miliki.
“Tentu masih ada masyarakat yang menganggap disabilitas itu aib, namun anggapan itu baru akan berdampak pada penyandang disabilitas jika keluarganya mengatakan dan memperlakukan dia sebagaimana anggapan masyarakat. Jadi, penyandang disabilitas mendapatkan stigma negatif itu justru dari keluarganya dulu,” kata Deka dalam rilis yang disiarkan di Jakarta, Jumat.
Ketika keluarga secara langsung maupun tidak langsung terus mengingatkan dan menegaskan kekurangan yang dimiliki para disabilitas, lanjut dia, hal tersebut nantinya mempengaruhi kesadaran dan cara pandang penyandang disabilitas dalam melihat kapasitas dirinya.
Alhasil, penyandang disabilitas akan cenderung bersikap inferior, malu, dan minder dalam menilai peran dirinya di dalam unit terkecil seperti keluarga.
“Ketika keluarga memperlakukan secara negatif, maka penyandang disabilitas pun akan otomatis berpikir negatif. Dan ini yang membahayakan, stigma yang diberikan orang tua. Jadi keluarganya malu dengan istilah cacat itu sehingga mereka jadi ikut underestimate dirinya juga,” jelasnya.
Situasi yang demikian jelas merugikan penyandang disabilitas karena memberikan hambatan tambahan pada proses pengembangan kapasitas dirinya, baik secara emosi, keahlian, maupun sosial.
Pada akhirnya, pelanggengan stigma disabilitas dari keluarga semakin meminggirkan bahkan mengucilkan para penyandang disabilitas di lingkungan yang lebih luas, yakni masyarakat karena keterbatasan berlapis yang dimiliki.
“Rasa malu akibat dari stigma itu yang menjadi penghambat besar, menjadi tembok besar yang membuat seorang penyandang disabilitas akhirnya mengalami kerugian besar karena tidak berkembang,” katanya.