Palu (ANTARA) - Pemerintah Provinsi (Pemrov) Sulawesi Tengah dan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulteng menyepakati adanya sanksi sosial, dalam implementasi keadilan restoratif (restorative justice).
“Mudah-mudahan akan menjadi arah yang baru bagi masyarakat, sehingga penyelesaian tidak hanya berakhir di pengadilan,” kata Gubernur Sulteng Anwar Hafid di Palu, Senin.
Penegasan itu disampaikan Anwar usai melakukan penandatanganan nota kesepakatan, bersama Kepala Kejati Sulteng Nuzul Rahmat. Kerjasama itu terkait implementasi sanksi sosial, terhadap pelaku tindak pidana umum yang diselesaikan berdasarkan restorative justice.
Anwar mengapresiasi dan mendukung penuh kolaborasi itu, yang menjadi langkah maju dalam mewujudkan penegakan hukum yang adil, bermartabat dan humanis di Sulteng.
Lanjut dia, dalam kerangka restorative justice, sanksi sosial tidak diatur secara kaku, melainkan disepakati melalui dialog antara pelaku, korban dan masyarakat. Bentuknya pun beragam, mulai dari ganti rugi, kerja sosial atau lainnya yang disepakati para pihak yang terlibat.
Kata Anwar, pemprov juga sedang mendorong upaya memformalkan lembaga peradilan adat dan hukum adat melalui peraturan daerah (perda). Terobosan itu dapat menjadi solusi penyelesaian masalah hukum, tanpa melalui peradilan pidana. Dia mengakui model itu sudah mulai berlaku di beberapa kabupaten dan kota seperti Buol, Sigi dan Palu.
Dia mencontohkan di Kecamatan Lindu, Kabupaten Sigi, hukum adat jauh lebih efektif mencegah pembalakan liar, sehingga hutan di wilayah itu masih terjaga kelestariannya.
“Mau tebang kayu saja untuk membangun rumah, harus melalui kesepakatan dengan pemuka adat,” ungkapnya.
Anwar berharap kolaborasi yang terjalin akan menjadi tonggak penting mewujudkan sistem hukum yang lebih adil, humanis dan bermartabat dalam mewujudkan Sulteng Nambaso.
Turut melaksanakan penandatanganan nota kesepahaman yakni Bupati Buol, Bupati Sigi, Wabup Donggala, Wabup Banggai Laut dan Wakil Walikota Palu dengan Kejaksaan Negeri masing-masing wilayah.
