Palu, Sulawesi Tengah (ANTARA) - Pembangunan hunian sementara (huntara) untuk korban bencana alam di Sulawesi Tengah sampai saat ini belum juga tuntas, antara lain disebabkan pemerintah belum membayar kontraktor penggarap, yang membuat mereka menghadapi kesulitan keuangan untuk melanjutkan pekerjaan.
"Ya benar. Semua huntara yang sudah dibangun memang belum ada yang dibayar, akibatnya ada di antara kontraktor lokal yang kesulitan cash-flow (arus kas) untuk menyelesaikan pekerjaannya," kata Arie Setiadi Murwono, Kepala Satuan Tugas Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk Penanganan Bencana Alam Palu-Sigi-Donggala-Parigi Moutong di Sulawesi Tengah kepada jurnalis di kantornya di Palu, Kamis.
Didampingi Kepala Balai Wilayah Prasarana Permukiman Sulawesi Tengah Ferdi Kana Lo, Kepala Balai Wilayah Sungai Sulawesi Tengah Yusuf Tambing dan Kepala Satuan Kerja Perencanaan Balai Pelaksana Jalan Nasional XIV Slamet serta staf khusus Menteri PUPR Bidang Komunikasi Rudy Novrianto, Arie menjelaskan satuan tugasnya mendapat tugas dari pemerintah untuk membangun 699 unit huntara bagi korban bencana yang melanda Sulawesi Tengah pada 28 September 2018.
Namun, menurut dia, jumlah huntara yang selesai baru 626 unit dan 73 unit sisanya ditargetkan rampung sebelum 24 April 2019.
Data dari Pemerintah Kota Palu mencatat akibat terhambatnya pembangunan huntara sekitar 20.000 warga kini masih tinggal di tenda-tenda pengungsian.
Semula, kata Arie, pembangunan huntara tersebut akan dikerjakan oleh badan usaha milik negara dalam lingkup Kementerian PUPR seperti PT Pembangunan Perumahan, PT. Wijaya Karya, PT. Hutama Karya dan yang lainnya.
Karena pertimbangan pentingnya melibatkan kontraktor lokal, pekerjaan pembangunan huntara diserahkan kepada kontraktor lokal melalui Gapensi Sulawesi Tengah. Tetapi dalam perkembangannya, pembayaran proyek yang bersumber dari dana siap pakai Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terlambat dicairkan.
"Kami sudah mengusulkan pembayaran tahap pertama pada Desember 2018, namun saat itu tidak keburu dibayar karena sudah di penghujung tahun anggaran. Kami kemudian diminta mengusulkan lagi pada Januari 2019, namun sampai saat ini belum ada pencairan karena penetapan pejabat-pejabat berwenang seperti PPK (pejabat pembuat komitmen) dan lain-lain baru tuntas pada Februari 2019," ujarnya.
Kendati demikian, Arie yakin masalah pembangunan huntara akan selesai sebelum masa transisi II tanggap darurat bencana selesai pada 24 April 2019.
"Harus selesai, malu saya kalau tidak selesai. kami terus mengupayakan berbagai terobosan guna mengatasi masalah-masalah yang ditemui," ujarnya.
Rp 450 juta/unit
Kepala Balai Prasarana Perumahan Sulawesi Tengah Ferdi Kana Lo mengemukakan huntara yang dikerjakan kontraktor lokal itu jumlahnya sekitar 100 unit dengan nilai proyek antara Rp400 juta sampai Rp450 juta tiap unit. Setiap unit huntara terdiri atas 12 bilik yang dilengkapi sarana MCK, air bersih dan listrik.
"Karena keterlambatan pembayaran, kontraktor itu kesulitan cash-flow untuk menyelesaikan pekerjaannya, namun huntara lainnya tidak ada masalah sebab pendanaannya ditangani langsung oleh BUMN karya-karya tersebut," ujarnya.
Untuk membantu mengataasi kesulitan kontraktor, Ferdi telah berkoordiansi dengan Bank Sulteng untuk membantu kontraktor lokal menndapatkan pinjaman dengan jaminan huntara-huntara yang mereka telah dan sedang kerjakan.
"Saya sendiri pasang badan untuk menjamin para kontraktor ini di Bank Sulteng agar mendapatkan pinjaman, sehingga masalah huntara bisa segera dituntaskan," ujarnya.
Ia mengaku tidak bisa memastikan kapan dana pembangunan huntara dari BNPB bisa cair karena prosesnya masih agak panjang. Untuk mencairkan dana dari BNPB itu, BPKP harus melakukan audit dulu terhadap semua huntara yang sudah dibangun.
Baca juga: Kementerian PUPR diminta segera atasi persoalan air bersih di huntara
Baca juga: 11.000 meteran listrik siap dipasang di huntara Pasigala
Baca juga: Pemkot Palu imbau pengungsi pelihara huntara