Kedua bocah lelaki asal salah satu desa di pinggiran Kota Palu itu setiap hari turun gunung mencari rezeki di ibu kota provinsi untuk bisa mendapatkan uang guna membantu keuangan rumah tangga orang tua mereka.
Mereka adalah Sabrin (7) dan Nali (8), warga Desa Matantimali, Kecamatan Kinovaro, Kabupaten Sigi.
Kedua bocah tersebut mengaku sempat bersekolah, tetapi tidak bisa melanjutkan pendidikan karena kondisi ekonomi keluarga mereka yang tidak menunjang.
"Orang tua kami hanya petani kecil. Karena itu kami tidak bisa melanjutkan pendidikan," kata Sabrin yang juga mengaku ada hubungan keluarga dengan Nali.
Kebetulan orang tua kedua bocah itu bersaudara kandung. Mereka juga selama ini mencari nafkah sebagai pemulung di Kota Palu.
Meski setiap hari mereka harus berjuang keras untuk mendapatkan uang demi membantu keuangan orang tua mereka, kedua bocah itu tidak pernah merasa putus asa.
Apalagi harus kecewa karena tidak bisa sekolah seperti layaknya anak-anak lain yang memiliki tingkat ekonomi cukup bagus.
"Kami senang dengan pekerjaan ini. Biar hanya jadi tukang pikul barang di pasar asal bisa mendapatkan uang," kata Sabrin dan Nali.
Keduanya mengatakan jika lagi berutung, dalam sehari dari hasil usaha mereka itu bisa memperoleh uang sampai Rp60 ribu.
Tetapi biasanya juga sepanjang hari, kalau lagi kurang beruntung hanya bisa mendapatkan uang sekitar Rp20 ribu.
Pernah seharian kami berdua hanya bisa dapatkan uang dari jasa sebagai tukang pikul barang-barang belanjaan Rp15 ribu.
"Uang itu hanya pas untuk mengganjal perut agar tidak kelaparan," kata kedua bocah yang murah senyum itu.
Keduanya mengaku karena sudah dua tahun terakhir ini menjadi tukang pikul barang-barang belanjaan di pasar tradisional yang terletak di Kecamatan Palu Barat itu. Mereka sudah punya beberapa langganan tetap.
Langganan tetap mereka, semunya adalah ibu-ibu rumah tangga.
Setiap kali ibu-ibu yang sudah menjadi langganan mereka datang berbelanja di pasar, Sabrin dan Nali pasti dicari. "Ya kalau langganan tetap biasanya mereka cukup mengerti memberikan uang lebih dibandingkan ibu-ibu lain.
Kalau ibu-ibu yang selama ini sudah menjadi langganan kami biasa diberi uang Rp5.000 per orang. "Tapi kalau bukan langganan biasanya paling besar upah pikul barang belanjaan hanya Rp2.000 per orang," ujar kedua lelaki berkulit hitam itu.
Sabrin dan Nali juga mengatakan bahwa anak-anak seusia mereka banyak yang bekerja seperti mereka. "Bukan hanya kami. Ada juga anak-anak dari desa-desa lain di sekitar Lembah Palu yang mencari rezeki di pasar-pasar dan juga pusat-pusat perbelanjaan lain di Kota Palu," kata mereka.
Ingin sekolah
Kedua bocah tersebut mengaku punya keinginan seperti anak-anak lainnya, yakni bersekolah. "Kalau ekonomi orang tua kami sudah membaik, kami ingin sekolah lagi," kata Sabrin.
"Namun demikian, entah kapan keinginan mereka itu bisa terwujud. Tapi kalaupun tidak sekolah karena tidak punya biaya, kami juga tidak memaksakan diri," kata mereka.
Yang penting bisa dapat uang untuk membantu orang tua.
Kedua bocah itu juga mengatakan terkadang mereka tidak bisa pulang ke rumah dan terpaksa tidur di pasar meski hanya beralaskan koran bekas atau kardus.
Masalahnya, untuk kembali ke desa mereka cukup jauh. Biasanya naik sepeda motor ojek atau menumpang kendaraan truk.
Dari Palu sampai di desa mereka jaraknya sekitar 50 kilometer, dengan jalan berkelok-kelok. Desa Matantimali berada pada ketinggian sekitar 1.500 meter dari permukaan laut.
Beberapa tahun lalu, Desa Matantimali sebagai lokasi olah raga paralayang. Tetapi dalam tiga tahun terakhir ini, lokasi olah raga paralayang sudah dipindahkan ke Desa Wayu, Kecamatan Kinovari, Kabupaten Sigi.
Desa Wayu sendiri berada di atas ketinggian 800 meter dari permukaan laut.
Untuk sampai ke Desa Matantimali `kita` harus mengeluarkan biaya (sewa ojek) dari Palu Rp100 ribu. "Jadi kami memilih untuk pulang kampung terkadang seminggu atau dua minggu sekali," kata Sabrin.
Data Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Tengah menyebutkan jumlah anak putus sekolah di daerah itu masih cukup tinggi.
Diperkirakan hingga kini masih ada sekitar 150 ribu anak tersebar di 10 kabupaten dan Kota Palu yang hingga kini tidak bisa melanjutkan pendidikan karena berbagai faktor.
Namun faktor paling dominan adalah karena kesulitan ekonomi, kata Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sulteng Abubakar A.
Sementara jumlah anak putus sekolah di Indonesia berdasarkan data dari Komnas Perlindungan Anak tercatat sekitar 12 juta jiwa, termasuk tentunya Sabrin dan Nali, dua bocah yang bekerja sebagai kuli pemikul barang di tengah kemiskinan orang tua mereka.(SKD)
"Namun demikian, entah kapan keinginan mereka itu bisa terwujud. Tapi kalaupun tidak sekolah karena tidak punya biaya, kami juga tidak memaksakan diri," kata mereka.
Yang penting bisa dapat uang untuk membantu orang tua.
Kedua bocah itu juga mengatakan terkadang mereka tidak bisa pulang ke rumah dan terpaksa tidur di pasar meski hanya beralaskan koran bekas atau kardus.
Masalahnya, untuk kembali ke desa mereka cukup jauh. Biasanya naik sepeda motor ojek atau menumpang kendaraan truk.
Dari Palu sampai di desa mereka jaraknya sekitar 50 kilometer, dengan jalan berkelok-kelok. Desa Matantimali berada pada ketinggian sekitar 1.500 meter dari permukaan laut.
Beberapa tahun lalu, Desa Matantimali sebagai lokasi olah raga paralayang. Tetapi dalam tiga tahun terakhir ini, lokasi olah raga paralayang sudah dipindahkan ke Desa Wayu, Kecamatan Kinovari, Kabupaten Sigi.
Desa Wayu sendiri berada di atas ketinggian 800 meter dari permukaan laut.
Untuk sampai ke Desa Matantimali `kita` harus mengeluarkan biaya (sewa ojek) dari Palu Rp100 ribu. "Jadi kami memilih untuk pulang kampung terkadang seminggu atau dua minggu sekali," kata Sabrin.
Data Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Tengah menyebutkan jumlah anak putus sekolah di daerah itu masih cukup tinggi.
Diperkirakan hingga kini masih ada sekitar 150 ribu anak tersebar di 10 kabupaten dan Kota Palu yang hingga kini tidak bisa melanjutkan pendidikan karena berbagai faktor.
Namun faktor paling dominan adalah karena kesulitan ekonomi, kata Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sulteng Abubakar A.
Sementara jumlah anak putus sekolah di Indonesia berdasarkan data dari Komnas Perlindungan Anak tercatat sekitar 12 juta jiwa, termasuk tentunya Sabrin dan Nali, dua bocah yang bekerja sebagai kuli pemikul barang di tengah kemiskinan orang tua mereka.(SKD)