Jakarta (ANTARA) - Kisah dimulai saat Ellie Chu (Leah Lewis), seorang siswi berdarah Asia yang tinggal di Squahamish, Amerika Serikat, didekati oleh teman sekolahnya, Paul Munsky (Daniel Diemer) untuk menulis surat cinta kepada siswi populer di sekolah, Aster Flores (Alexxis Lemire).
Karena Ellie tengah membutuhkan uang saat itu, ia kemudian menghargai jasa menulis surat cinta pesanan Paul, dan pertemanan mereka dimulai sejak saat itu.
Hubungan antara Ellie dan Paul yang semula transaksional, kemudian tumbuh menjadi pertemanan yang hangat dan saling mendukung satu sama lain dengan caranya masing-masing.
Ellie mengajari Paul yang canggung agar dapat berbicara dengan lancar kepada Aster. Ellie pun berpura-pura menjadi Paul untuk bertukar pesan lewat surat dan chat dengan Aster.
Seiring perjalanannya menulis surat-surat Paul yang akan ditujukan kepada Aster, Ellie mulai merasakan bahwa ada perasaan yang tumbuh dan belum pernah ia rasakan sebelumnya untuk gadis tersebut.
Nuansa hangat segera dibangun di awal film dan berhasil menimbulkan rasa yang dekat bagi penonton. Ellie digambarkan tinggal di sebuah flat sederhana di atas stasiun kereta kota dengan ayahnya (Collin Chou).
Tak hanya mampu memberikan kehangatan yang manis antara ayah dan anak, sutradara Alice Wu juga dapat menyisipkan kondisi sosial bagi imigran di Amerika.
Wu mampu memasukkan nuansa pengalaman imigran dengan sentuhan lembut, seperti bagaimana ia menceritakan adanya perlakuan rasis dari orang-orang sekitar, meskipun keluarga Chu merupakan keluarga yang berpendidikan.
Emosi dan nuansa yang dibangun sejak awal film terus dihidupkan dari adegan satu ke yang lain dengan runut, baik hubungan Ellie dengan sang ayah maupun pertemanannya di sekolah.
Banyak pengambilan gambar yang diambil dengan teknik-teknik tertentu dan dipadukan dengan palet warna bumi (earthy) yang didominasi dengan warna cokelat, krem, dan hijau.
Penggunaan teknik ini bisa dibilang selain menghasilkan visual yang cantik, juga mampu menggugah keikutsertaan dan menimbulkan emosi yang dekat dengan penonton.
Pengambilan gambar yang sederhana ini juga selaras dengan visi sutradara untuk menceritakan premis cerita yang sederhana dari para lakonnya yang merupakan siswa sekolah menengah atas.
Upaya Wu sebagai sutradara untuk menceritakan kisah dan latar belakang para tokohnya disampaikan dengan perlahan, namun menyegarkan.
Penokohan yang begitu kuat dari seluruh aktor utama yang terlibat dalam film ini, menimbulkan rasa yang campur-aduk, yang seakan ingin penonton ikut bagi.
Adegan demi adegan pun dijahit dengan rapi dan mampu menunjukkan akting yang tulus dan jujur dari para pemainnya.
Khususnya penampilan kedua lakon utama, yakni Leah Lewis dan Daniel Diemer sebagai sepasang teman dengan dinamika emosi yang naik-turun, mampu menggugah banyak perasaan penonton, mulai dari guyonan ringannya hingga rasa haru dari pilihan mereka masing-masing.
Ketika awal Netflix mengunggah cuplikan (trailer) dari "The Half of It", baik kreator maupun studio telah menegaskan bahwa film ini "tak seperti film drama remaja pada umumnya".
Benar saja, walaupun akar dari film ini adalah drama romansa, jelas terlihat bahwa Wu berfokus pada bentuk cinta yang lain - kepada teman hingga keluarga.
Tak hanya itu, Wu yang pernah menyutradarai drama queer lainnya, "Saving Face" (2004) ini juga mengajak penonton untuk ikut merenungi pilihan - terutama bagi Ellie yang menyadari seksualitasnya yang tak lurus, sebagai bagian dari perjalanan mencari jati diri.
Pun dengan bagaimana lakon lainnya seperti Paul, dapat menjadi seorang teman yang menerima dan menghormati pilihan sahabatnya, tanpa harus mengatakan "benar/salah" - walaupun pilihan itu mungkin tak sejalan dengan hati dan pikiran Paul sendiri.
Secara keseluruhan, "The Half of It" merupakan film dengan cerita yang mudah dinikmati bagi penyuka film berjenis drama dengan sudut pandang baru yang menyegarkan dan menggugah perasaan.
Film berdurasi 1 jam 45 menit dengan rating 13+ itu telah tayang di Netflix mulai 1 Mei lalu.