LIPI kukuhkan kembali empat profesor riset

id laksana tri handoko,pengukuhan profesor riset,profesor riset

LIPI kukuhkan kembali empat profesor riset

Ketua Majelis Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bambang Subianto menyerahkan Widyamala kepada salah satu profesor riset yang dikukuhkan di Jakarta, Selasa (20/8/2020). (FOTO ANTARA/Martha Herlinawati Simanjuntak)

Teknologi micromachining dan thin-film bisa dimanfaatkan untuk fabrikasi sensor gas, serta teknologi thick-film dimanfaatkan untuk fabrikasi sensor kualitas air
Jakarta (ANTARA) - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengukuhkan empat penelitinya lagi menjadi profesor riset dengan masing-masing bidang kepakaran berbeda yakni elektronika, agama dan tradisi keagamaan, sosiologi umum, dan bioproses.

"Pengukuhan dari empat profesor riset di LIPI yang baru ini merupakan Profesor Riset 143, 144, 145, dan 146. Empat profesor riset yang baru ini adalah para peneliti terbaik di LIPI yang telah mengabdikan dan mendedikasikan karirnya," kata Kepala LIPI Laksana Tri Handoko dalam acara Orasi Virtual Pengukuhan Profesor Riset LIPI, Jakarta, Kamis.

Empat Profesor Riset itu adalah Goib Wiranto dari Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi, Ahmad Najib Burhani dari Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya, Cahyo Pamungkas dari Pusat Penelitian Kewilayahan, dan Dwi Susilaningsih dari Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI.

"Semoga pengukuhan profesor riset pada saat ini memotivasi kita semua untuk terus semakin berkarya dan memberikan sumbangan pemikiran terbaik bagi ilmu pengetahuan dan teknologi di berbagai kondisi sosial di tengah pandemi COVID-19 saat ini," kata Handoko.

Goib Wiranto dalam orasi pengukuhan profesor risetnya yang berjudul "Pengembangan Sensor Berbasis Teknologi Mikroelektronika untuk Pemantauan Pencemaran Lingkungan" mengatakan perkembangan teknologi fabrikasi sensor pencemaran lingkungan berbasis teknologi thick-film, thinfilm dan micromachining/MEMs.

"Teknologi micromachining dan thin-film bisa dimanfaatkan untuk fabrikasi sensor gas, serta teknologi thick-film dimanfaatkan untuk fabrikasi sensor kualitas air," kata Goib.

Dia menjelaskan bahwa pemanfaatan teknologi sensor berpotensi digunakan khususnya untuk bidang lingkungan, pertanian dan perikanan.

Dalam orasi pengukuhan profesor riset yang berjudul "Agama, Kultur (In)Toleransi, dan Dilema Minoritas di Indonesia", Ahmad Najib Burhani menuturkan empat rekomendasi untuk mengatasi problematika dan dilema minoritas di Indonesia.

Empat rekomendasi itu adalah penekanan dan pendekatan hak asasi manusia, penekanan tentang adanya kewarganegaraan yang setara (non-differentiated citizenship) tanpa dibedakan berdasarkan agama atau etnis, pendekatan teologis atau keagamaan serta pendidikan perdamaian, dan pemberlakukan kebijakan non-diskriminatif .

"Prinsip ini akan menolak kategori-kategori kewarganegaraan yang berangkat dari tradisi keagamaan yang lama seperti konsep dzimmi atau kelompok terlindungi dan kafir," kata Ahmad.

Sementara, Cahayo Pamungkas menyampaikan orasi ilmiah dalam pengukuhan profesor risetnya yang berjudul "Rekonstruksi Pendekatan dalam Kajian Konflik di Asia Tenggara: Kasus Indonesia, Filipina, Thailand, dan Myanmar".

Cahyo mengatakan pendekatan yang memandang bahwa identitas etnis dan agama merupakan sumber utama dari intoleransi, radikalisme dan konflik sosial perlu direkonstruksi kembali.

"Pendekatan dalam kajian konflik perlu melihat dan memusatkan perhatiannya pada ekosistem konflik termasuk relasi dominasi dalam sistem sosial, ekonomi, dan politik yang mengakibatkan deprivasi relative," kata Cahyo.

Profesor Riset Dwi Susilaningsih menyampaikan orasi ilmiah yang berjudul "Energi Masa Depan Generasi Tiga Berbasis Mikroba Fotosintetik dan Mikroalga".

Dwi menuturkan jumlah kebutuhan yang meningkat dan laju jumlah penduduk yang tinggi di Indonesia menuntut adanya alternatif energi yang baru, terbarukan, dapat berdaur ulang cepat, dan ramah lingkungan.

"Biofuel dari generasi tiga sangat berpotensi dikembangkan sebagai energi baru terbarukan di Indonesia karena ketersediaan sumber daya genetik yang melimpah, perairan yang luas, cahaya matahari sepanjang tahun dan fluktuasi suhu yang rendah antara siang dan malam," demikian Dwi Susilaningsih.