Ia memaparkan, anggaran yang diberikan pemerintah untuk Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) RI sebesar Rp1,6 miliar per tahun masih belum maksimal untuk upaya pemajuan kebudayaan.
"Anggaran tersebut praktis sebagian besar hanya untuk pegawai, nah pegawai ini kan tugasnya membuat konsep bagaimana kebudayaan itu selain dilestarikan, juga bisa dimajukan untuk menyatu dengan kegiatan ekonomi, tetapi kalau sedikit begitu, berarti sosialisasinya kan juga sedikit," ucapnya.
Oleh karena itu, menurutnya, perlu dilakukan penguatan budaya sebagai pertahanan tata nilai, utamanya nilai bangsa Indonesia yakni gotong royong.
"Misalnya, kalau kita panen padi, kemudian masyarakat menanggap wayang atau tayub (tarian khas Surakarta), dalam tayub itu kan orang tidak hanya melihat tarian, tetapi juga disiapkan makan, berpakaian khusus, sehingga secara otomatis ekonomi kreatif kan bisa tumbuh," ujar dia.
Ia menyebutkan, budaya bisa menjadi penopang ekonomi tertinggi suatu negara jika dikelola dengan baik.
"Sumber daya minyak, lama-lama bisa habis, batu bara, lama-lama juga habis, tetapi budaya itu semakin lama, semakin besar dan tumbuh, sumbernya tidak akan pernah mati, tetapi ya kita harus mau merawat dan kreatif membesarkannya," tuturnya.
Untuk itu, ia berpesan agar masyarakat lebih sering menggalakkan kembali ritual-ritual budaya Indonesia secara rutin.
"Misalnya kalau di sini ya 'Sragenan', itu tidak perlu yang besar tetapi hanya sekali, yang penting menjadi rutinitas kita sehari-hari," kata dia.
Ia juga menekankan pentingnya perubahan kebijakan kebudayaan yang mengarah pada peningkatan perekonomian masyarakat.
"Komisi X membuat panitia kerja (panja) untuk revisi Undang-undang tentang Pariwisata, yang pariwisata harus didekatkan dengan budaya. Mengapa? Karena (budaya) kita kaya raya," kata dia.
"Kalau kita mau bangun destinasi super prioritas, tetapi tidak didukung dengan tarian atau budaya asli Indonesia, maka akhirnya yang akan menikmati (hasilnya) bukan orang Indonesia," imbuhnya.
Ia berpesan agar pemerintah dan para pemangku kepentingan segera menentukan peta arah budaya yang mengarah pada kesejahteraan perekonomian masyarakat.
"Kebudayaan itu sangat menentukan arah perekonomian kita, jadi kita jangan mau hanya jadi pasar, sehingga orang menyukai yang viral-viral saja, paradigma tentang budaya itu harus diubah, kita juga bisa harus memproduksi budaya agar bisa diakui dunia," tuturnya.