Wini, NTT (ANTARA) - Siang hari itu, mobil atau oto dalam bahasa Melayu Kupang mulai memasuki pekarangan bebatuan SD Negeri Manufonu Wini, Desa Humusu C, Kecamatan Insana Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur (NTT).
Terlihat konsentrasi para pelajar laki-laki yang tengah menggocek bola di bawah kaki gunung yang membatasi antara Indonesia dan Timor Leste itu langsung buyar.
Permainan lalu terhenti, rasa penasaran bocah-bocah itu pun semakin tinggi. Siapakah gerangan yang akan turun dari mobil itu? Lalu, pintu mobil perlahan terbuka, namun yang ada di dalam mobil seakan ragu menginjakkan kaki ke tanah.
Banyak sorot mata tertuju yang membuatnya tak nyaman. Setelah meyakinkan diri bahwa tatapan dari anak kecil itu hanya untuk menjawab rasa penasaran mereka, barulah kaki turun dari oto.
Setelah itu, saya turun dari mobil melangkahkan kaki di bawah paparan panas Matahari, untuk menyapa mereka. Ada senyuman malu yang tersimpul di ujung bibir.
Dari kejauhan ada sekelompok anak laki-laki dan perempuan yang berbisik-bisik mengenai kedatangan sosok itu.
Tak lama kemudian, permainan bola yang sempat hening itu kembali riuh. Sekelompok anak yang di ujung sana mencoba untuk menyapa.
Tampaknya mereka tengah menghabiskan waktu istirahat sembari mengobrol bersama temannya di bawah pohon.
Sapaan mereka begitu hangat namun malu khas anak kecil pada umumnya. Mereka sempat melontarkan pertanyaan mengenai kedatangan ke sekolah mereka.
Lalu, mereka mengantarkan saya kepada kepala sekolah yang sedang duduk di depan ruang guru. Suasananya sangat rindang dan sejuk.
Setelah berusaha menjelaskan maksud dan tujuan baik yang ingin kami lakukan, sang kepala sekolah tak bersedia. Kendati demikian, dia tak melarang kami untuk melakukan interaksi bersama para murid.
Saya pun mencoba mengumpulkan beberapa murid tadi di bawah pepohonan yang rindang. Tarik-menarik di antara teman pun sempat terjadi.
Peristiwa lucu ini tak boleh terlewatkan. Ponsel yang berada di kantong celana pun bergegas saya keluarkan. Saat ingin menyalakannya, di layar atas, terbaca jaringan tak tersedia di sini.
Sempat terdiam memikirkan bagaimana bisa tak ada jaringan di wilayah sekolah ini. Lamunan saya pecah akibat antusias anak-anak sekolah yang menunggu apa yang akan dilakukan.
Melihat ketulusan wajah mereka satu per satu, membuat saya terenyuh. Mereka seperti nyala lilin-lilin kecil di tengah kegelapan.
Lilin yang berusaha menerangi kegelapan di sekitar mereka. Seperti filosofi bahwa urip iku urup yang berarti hidup itu nyala seperti lilin.
Filosofi lilin walaupun kecil mampu menghasilkan cahaya untuk menerangi sekitarnya. Begitu pun mereka, generasi muda yang akan membawa perubahan bagi kampung halamannya dan Indonesia.
Mulai dari upaya sederhana dengan tetap melanjutkan pendidikan agar bisa mewujudkan cita-cita di kemudian hari. Ada rasa tergelitik juga untuk menanyakan cita-cita dari anak yang berada di tapal batas.
Quinn, siswi kelas III SD, mengaku ingin menjadi guru demi mencerdaskan anak bangsa. Sontak saya kaget, anak sekecil ini bisa memiliki pikiran yang mulia sekali.
"Saya mau jadi guru karena mau mengajar anak-anak," katanya dengan berbinar.
Dari sisi lain ada yang bersemangat meneriakkan cita-citanya menjadi polisi. Falda, namanya, tapi dia hanya menyengir bahkan kabur terbirit-birit saat ditanya alasan ingin menjadi aparat negara.
Tak hanya Falda, Gren juga ingin menjadi TNI. Wajahnya begitu serius saat menjawab itu.
Saat ditanyakan keinginan ingin menjadi presiden, mereka semua kompak menjawab tidak. Dari beberapa daftar cita-cita yang sudah dicatat, ada seorang anak yang menjawab ingin menjadi peternak hewan.
Alasannya sederhana agar ternaknya bisa dijual. Tawa pun pecah di antara kami karena anak-anak sekarang memiliki cita-cita yang tidak mainstream.
Pendidikan jadi bagian wujudkan Indonesia Emas 2045
Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Moderasi Beragama Kemenko PMK, Warsito, mengatakan partisipasi dan pembangunan pendidikan menjadi bagian dalam menciptakan Indonesia berdaulat, maju, dan berkelanjutan yang sejalan dengan visi Indonesia Emas 2045.
Menurutnya, tantangan pada saat ini seperti pendidikan tidak merata, diskriminasi gender dalam pendidikan, pendidikan berkualitas itu 'mahal', dan keterbatasan akses, harus bisa segera dijawab dan dicari solusinya.
Disebutkan terdapat lima sasaran dalam visi Indonesia Emas 2045 yang mencakup pendapatan perkapita setara dengan negara maju, kemiskinan menuju nol persen, dan ketimpangan berkurang.
Kemudian, kepemimpinan dan pengaruh di dunia internasional meningkat, daya saing sumber daya manusia meningkat, dan intensitas emisi gas rumah kaca menurun menuju net zero emission.
Untuk itu, berbagai tantangan harus dapat diinterpretasikan menjadi isu strategis pendidikan tinggi dalam intervensi kebijakan, tantangan ini harus dibawa dalam penyusunan RPJPN 2025-2045 dan RPJMN 2025-2029.
Pemerintah terus melakukan berbagai upaya untuk menggapai visi Indonesia Emas 2045 dengan memastikan terlaksananya pendidikan dan pelatihan kewirausahaan berkualitas.
Namun di sisi lain, Pemerintah tidak bisa bekerja sendirian dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM unggul. Keterlibatan perguruan tinggi penting karena kemampuan dalam memahami karakteristik daerah serta memiliki para ahli dari berbagai disiplin ilmu.
Ia menjelaskan upaya transformasi sosial dengan melakukan pendidikan berkualitas yang merata, antara lain, kualitas pengajaran dan pembelajaran melalui penguatan kurikulum adaptif dan sistem asesmen komprehensif.
Lalu, penguatan pembelajaran berbasis digital, pemerataan akses pendidikan dengan percepatan wajib belajar 13 tahun (1 tahun prasekolah dan 12 tahun pendidikan dasar menengah), hingga partisipasi pendidikan tinggi dan lulusan STEAM (science, technology, engineering, art, and math)
Kemudian, peningkatan kualitas dan distribusi guru dan dosen melalui reformasi pendidikan keguruan, restrukturisasi kewenangan pengelolaan guru, pendidikan agama dan pendidikan keagamaan melalui penguatan kebijakan kurikulum inklusif dan moderat, dan revitalisasi pendidikan nonformal.
Apa yang sedang dijalani anak-anak kecil di perbatasan NTT-Timor Leste itu, kiranya, dapat menjadi lilin-lilin kecil yang menjadi penerang dalam perjalanan bangsa menuju Indonesia Emas.