Menyongsong perayaan Imlek dari satu sudut Kota Jakarta
Jakarta (ANTARA) - Kwee Kian Guan (67) sore itu duduk sembari menatap ke arah langit-langit bangunan kelenteng Hian Thian Siang Tee di Jalan Palmerah Selatan, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Bangunan yang sudah dia urus dalam setahun terakhir, kini terlihat lebih semarak dengan hiasan lilin dan lampion menjelang Tahun Baru Imlek 2575 yang jatuh pada 10 Februari 2024.
Para pekerja memasang lampion berwarna merah di sana. Warna merah diyakini masyarakat Tionghoa membawa keberuntungan. Rencananya, sebanyak 320 buah lampion yang terdiri dari 120 dengan ukuran besar dan 200 buah ukuran lebih kecil akan dipasang dan mulai dinyalakan pada hari raya Imlek hingga setahun ke depan, setiap malam. Jumlah ini lebih sedikit dari tahun lalu yang mencapai 340 buah.
Ada label nama yang terpasang di bagian bawah lampion, menandakan si empunya lentera itu. Menurut Kwee yang juga akrab disapa Sugi, lampion ini dipercaya memberikan cahaya bagi pemiliknya.
Bukan hanya lampion, lilin-lilin berwarna merah juga dimaknai hal serupa. Pengurus kelenteng biasanya memasang lilin-lilin setinggi kira-kira 170 centimeter dengan diameter sekitar 30 centimeter di bagian depan kelenteng.
Lilin ini berasal dari donasi jemaat di sana. Jumlahnya tak sebanyak lampion, yakni 15-20 buah, mengingat terbatasnya ruang di bagian depan kelenteng seluas 800 meter persegi itu. Lilin nantinya akan terus dinyalakan dan diprediksi dapat bertahan hingga enam bulan ke depan.
Selain pemasangan lampion dan lilin berukuran besar, pengurus dan karyawan kelenteng masih melakukan aktivitas rutin, seperti mengganti teh dalam gelas yang ditaruh di atas altar rupang atau patung leluhur (kongco) yang menetap di kelenteng tersebut, salah satunya Hian Thian Siang Tee, seperti yang dilakukan Miauw Jian (67).
Hian Thian Siang Tee dipercaya memiliki kemampuan dalam pengobatan sehingga dikatakan sebagai dewa pengobatan dan disebut tuan rumah di Hian Thian Siang Tee Bio. Miauw yang sudah 30 tahun menjadi pengurus di Hian Thian Siang Tee Bio biasanya mengganti air teh setiap pagi dan sore hari.
Sementara itu, kegiatan bersih-bersih kelenteng serta memandikan semua patung kongco yang merupakan ritual tahunan sepekan menjelang perayaan tahun baru Imlek sudah digelar pada Minggu (4/2). Kegiatan ini diawali sembahyang untuk meminta izin dan menghormati kongco yang diadakan pada 2 Februari lalu.
Ritual saat Imlek
Pada hari-hari menjelang Imlek, biasanya hanya segelintir jemaat yang datang untuk sembahyang. Pada Senin (5/2) misalnya, sejak pukul 15.00 WIB hingga 17.00 WIB, kurang dari lima orang yang datang untuk sembahyang.
Mereka biasanya ke kelenteng pada empat waktu khusus yakni pada malam Tahun Baru Imlek dan Hari Imlek, serta pada malam 15 hari setelah Imlek dan hari ke 15. Umumnya mereka membawa tiga macam buah berbeda, yakni apel, pir dan jeruk, lalu diberikan pada pengurus bio atau kelenteng.
Saat sembahyang, mereka menyalakan dua lilin lalu diletakkan di rak dekat altar kongco bagian depan kelenteng. Selanjutnya, mereka membakar hio atau dupa yang digunakan sebagai pelengkap dalam ritual ibadah masyarakat Tionghoa, untuk ditempatkan di masing-masing altar kongco.
Hian Thian Siang Tee Bio memiliki 18 altar yang masing-masing diberi nomor urutan. Altar dewa pengobatan atau Hian Thian Siang Tee misalnya, berada di urutan ketiga, atau diapit altar Dewi Kwan Im dan Kwan Kong Tee atau dewa keadilan Jemaat nantinya sembahyang dari satu altar ke altar lainnya, menempatkan masing-masing tiga hio di setiap altar dan berdoa.
"Tradisinya seperti itu. Harus ganjil. Setelah itu bakar kertas pembungkus dupa di tungku khusus. Tidak boleh dibuang ke luar kelenteng," kata Sugi.
Biasanya, sehari sebelum Imlek, umat umumnya akan mulai berdatangan untuk sembahyang pada sore hari hingga dini hari. Khusus di Kelenteng Hian Thian Siang Tee, mereka juga akan sembahyang pada ruang yang dipercaya petilasan Raden Surya Kencana.
"Umat kami sembahyang tidak pada dewa-dewa seperti di China. Contohnya Eyang Surya Kencana. Beliau kan Muslim, umat kami juga sembahyang di sini. Tidak terlepas harus agama apa," ujar Sugi.
Harapan dan dukungan
Imlek tahun ini relatif berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya karena Hari Raya bagi warga Tionghoa ini digelar hanya sepekan sebelum Pemilihan Umum 2024.
Namun, nuansa politik tak terasa di Kelenteng Hian Thian Siang Tee. Sugi mengatakan pengurus memang tak ingin ada nuansa politik di tempat ibadah. Kendati begitu, dia tak menutup pintu bagi politisi yang ingin berdoa di kelenteng.
Berbicara harapan, Sugi kompak dengan Miauw dan Kim Jok (68) menginginkan dapat tetap hidup sehat menjalani masa pensiun mereka. Kim Jok, pria keturunan Betawi dan China itu hanya tertawa kala ditanya Sugi tentang harapan untuk menikah lagi.
Di sela perbincangan tentang harapan, mereka juga mengamini dukungan yang diberikan Pemerintah demi kelancaran perayaan Imlek, termasuk dengan menyiagakan aparat berwenang untuk berjaga di sekitar kelenteng.
Selain soal pengamanan, dukungan dari Pemerintah sebenarnya juga mengalir dalam bentuk lainnya. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Kebudayaan misalnya, mengadakan pergelaran seni seperti saat Imlek seperti kesenian Barongsai. "Semoga dengan dukungan itu masyarakat dapat mengenal keberagaman budaya Indonesia lebih dekat," kata Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, Iwan Henry Wardhana.
Para pekerja memasang lampion berwarna merah di sana. Warna merah diyakini masyarakat Tionghoa membawa keberuntungan. Rencananya, sebanyak 320 buah lampion yang terdiri dari 120 dengan ukuran besar dan 200 buah ukuran lebih kecil akan dipasang dan mulai dinyalakan pada hari raya Imlek hingga setahun ke depan, setiap malam. Jumlah ini lebih sedikit dari tahun lalu yang mencapai 340 buah.
Ada label nama yang terpasang di bagian bawah lampion, menandakan si empunya lentera itu. Menurut Kwee yang juga akrab disapa Sugi, lampion ini dipercaya memberikan cahaya bagi pemiliknya.
Bukan hanya lampion, lilin-lilin berwarna merah juga dimaknai hal serupa. Pengurus kelenteng biasanya memasang lilin-lilin setinggi kira-kira 170 centimeter dengan diameter sekitar 30 centimeter di bagian depan kelenteng.
Lilin ini berasal dari donasi jemaat di sana. Jumlahnya tak sebanyak lampion, yakni 15-20 buah, mengingat terbatasnya ruang di bagian depan kelenteng seluas 800 meter persegi itu. Lilin nantinya akan terus dinyalakan dan diprediksi dapat bertahan hingga enam bulan ke depan.
Selain pemasangan lampion dan lilin berukuran besar, pengurus dan karyawan kelenteng masih melakukan aktivitas rutin, seperti mengganti teh dalam gelas yang ditaruh di atas altar rupang atau patung leluhur (kongco) yang menetap di kelenteng tersebut, salah satunya Hian Thian Siang Tee, seperti yang dilakukan Miauw Jian (67).
Hian Thian Siang Tee dipercaya memiliki kemampuan dalam pengobatan sehingga dikatakan sebagai dewa pengobatan dan disebut tuan rumah di Hian Thian Siang Tee Bio. Miauw yang sudah 30 tahun menjadi pengurus di Hian Thian Siang Tee Bio biasanya mengganti air teh setiap pagi dan sore hari.
Sementara itu, kegiatan bersih-bersih kelenteng serta memandikan semua patung kongco yang merupakan ritual tahunan sepekan menjelang perayaan tahun baru Imlek sudah digelar pada Minggu (4/2). Kegiatan ini diawali sembahyang untuk meminta izin dan menghormati kongco yang diadakan pada 2 Februari lalu.
Ritual saat Imlek
Pada hari-hari menjelang Imlek, biasanya hanya segelintir jemaat yang datang untuk sembahyang. Pada Senin (5/2) misalnya, sejak pukul 15.00 WIB hingga 17.00 WIB, kurang dari lima orang yang datang untuk sembahyang.
Mereka biasanya ke kelenteng pada empat waktu khusus yakni pada malam Tahun Baru Imlek dan Hari Imlek, serta pada malam 15 hari setelah Imlek dan hari ke 15. Umumnya mereka membawa tiga macam buah berbeda, yakni apel, pir dan jeruk, lalu diberikan pada pengurus bio atau kelenteng.
Saat sembahyang, mereka menyalakan dua lilin lalu diletakkan di rak dekat altar kongco bagian depan kelenteng. Selanjutnya, mereka membakar hio atau dupa yang digunakan sebagai pelengkap dalam ritual ibadah masyarakat Tionghoa, untuk ditempatkan di masing-masing altar kongco.
Hian Thian Siang Tee Bio memiliki 18 altar yang masing-masing diberi nomor urutan. Altar dewa pengobatan atau Hian Thian Siang Tee misalnya, berada di urutan ketiga, atau diapit altar Dewi Kwan Im dan Kwan Kong Tee atau dewa keadilan Jemaat nantinya sembahyang dari satu altar ke altar lainnya, menempatkan masing-masing tiga hio di setiap altar dan berdoa.
"Tradisinya seperti itu. Harus ganjil. Setelah itu bakar kertas pembungkus dupa di tungku khusus. Tidak boleh dibuang ke luar kelenteng," kata Sugi.
Biasanya, sehari sebelum Imlek, umat umumnya akan mulai berdatangan untuk sembahyang pada sore hari hingga dini hari. Khusus di Kelenteng Hian Thian Siang Tee, mereka juga akan sembahyang pada ruang yang dipercaya petilasan Raden Surya Kencana.
"Umat kami sembahyang tidak pada dewa-dewa seperti di China. Contohnya Eyang Surya Kencana. Beliau kan Muslim, umat kami juga sembahyang di sini. Tidak terlepas harus agama apa," ujar Sugi.
Harapan dan dukungan
Imlek tahun ini relatif berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya karena Hari Raya bagi warga Tionghoa ini digelar hanya sepekan sebelum Pemilihan Umum 2024.
Namun, nuansa politik tak terasa di Kelenteng Hian Thian Siang Tee. Sugi mengatakan pengurus memang tak ingin ada nuansa politik di tempat ibadah. Kendati begitu, dia tak menutup pintu bagi politisi yang ingin berdoa di kelenteng.
Berbicara harapan, Sugi kompak dengan Miauw dan Kim Jok (68) menginginkan dapat tetap hidup sehat menjalani masa pensiun mereka. Kim Jok, pria keturunan Betawi dan China itu hanya tertawa kala ditanya Sugi tentang harapan untuk menikah lagi.
Di sela perbincangan tentang harapan, mereka juga mengamini dukungan yang diberikan Pemerintah demi kelancaran perayaan Imlek, termasuk dengan menyiagakan aparat berwenang untuk berjaga di sekitar kelenteng.
Selain soal pengamanan, dukungan dari Pemerintah sebenarnya juga mengalir dalam bentuk lainnya. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Kebudayaan misalnya, mengadakan pergelaran seni seperti saat Imlek seperti kesenian Barongsai. "Semoga dengan dukungan itu masyarakat dapat mengenal keberagaman budaya Indonesia lebih dekat," kata Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, Iwan Henry Wardhana.