"Program ini harus memiliki anggaran yang jelas dan berkelanjutan. Kerja sama dengan pihak swasta, LSM atau donor internasional dapat membantu menutupi kekurangan anggaran," kata Dicky di Jakarta, Selasa.
Dicky mengatakan bisa saja dalam melaksanakan program ditemui hambatan seperti pembiayaan yang tidak mencukupi.
"Sehingga dikhawatirkan pemerintah bisa membatasi jumlah anak yang mendapatkan makanan atau menurunkan kualitas makanan yang disediakan," katanya.
Karena itu, menurut dia, pemerintah perlu mempersiapkan pelaksanaan program tersebut lebih mendalam sehingga konkret untuk diwujudkan.
Kemudian, perlu juga adanya monitoring dan evaluasi memadai untuk program makan bergizi gratis yang berkelanjutan.
Dia menilai tanpa sistem monitoring dan evaluasi yang baik, sulit untuk mengetahui apakah program ini berhasil mencapai tujuan mengurangi kekurangan gizi atau perlu dilakukan perbaikan.
Solusinya, kata dia, harus ada sistem pemantauan yang terus-menerus untuk menilai dampak program terhadap status gizi anak-anak.
"Data yang dikumpulkan secara berkala dapat digunakan untuk memperbaiki dan menyesuaikan program," ujar ahli epidemiologi tersebut.
Program makan bergizi gratis bertujuan untuk meningkatkan kecukupan gizi, meningkatkan kecerdasan anak, mencegah gangguan pertumbuhan dan perkembangan (stunting) dan pada akhirnya meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) di negara ini.
Penjabat Gubernur Provinsi DKI Jakarta Teguh Setyabudi mengatakan anggaran untuk program makan siang bergizi gratis yang rencananya a
mulai dilakukan pada 2025 masih dalam tahap pembahasan.
Teguh mengatakan pihaknya sedang membahas Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RAPBD) yang ditargetkan rampung sebelum 30 November 2024.
Adapun menu makan siang bergizi gratis yang diujicoba Pemerintah Provinsi DKI senilai Rp20-25 ribu.
Sebelumnya, pemerintah telah mengalokasikan anggaran sekitar Rp71 triliun atau 0,29 persen dari produk domestik bruto (PDB) untuk program tersebut.