Santri melampaui stereotipenya

id Hari Santri, Pondok pesantren,Santri dan sastra,Santri

Santri melampaui stereotipenya

Santri mengikuti kajian kitab kuning yang dibacakan Kyai dengan metode Amtsilati di Pesantren modern Al Aqobah 1 Jombang, Jawa Timur, Sabtu (16/3/2024). Metode Amtsilati merupakan metode cepat membaca kitab kuning yang diterapkan di Pondok Pesantren modern Al Aqobah dan selama Ramadhan para santri diwajibkan mengikuti berbagai kajian kitab kuning. ANTARA FOTO/Syaiful Arif/YU

Bondowoso (ANTARA) - Dulu, santri dan pesantren identik dengan hal-hal yang berbau tradisional. Bahkan, stereotipe santri itu melekat pada pakaian, dimana santri biasa disebut sebagai kaum sarungan, karena kebiasaan sehari-hari mereka mengenakan sarung, bukan celana.

Di bagian bawah, alas kaki, santri dikenal sebagai pemakai terompah, sandal terbuat dari kayu yang tali pengaitnya menggunakan ban bekas.

Status santri di masa lalu juga hanya disandang oleh orang-orang desa, yang pendidikan formalnya rendah. Itu dulu. Di Hari Santri yang diperingati setiap tanggal 22 Oktober, kita dapat melihat tren baru, dimana santri telah mampu melampaui stereotipenya. Daya tarik menjadi santri telah merambah kota dan komunitas masyarakat modern.

Karena itu, di dalam dunia akademik, politik, bisnis, seni, sastra, dan lainnya, kini tidak sulit untuk menemukan sosok berlatar belakang santri. Kini, banyak santri yang sudah biasa dengan pakaian celana, baju jas berdasi, dan sandal berganti dengan sepatu, meskipun ketika di rumah tetap dengan kebiasaan sarungan.

Menyebut mereka yang sudah tidak lagi berada di dalam pesantren sebagai santri adalah warna lain dari kaum yang identik dengan kesederhanaan ini. Dalam sistem pendidikan umum biasa dikenal mantan murid atau mantan siswa, sehingga ada istilah turunannya, yakni mantan guru. Di dunia pesantren tidak mengenal istilah mantan. Santri adalah status seumur hidup, demikian juga dengan guru, yang biasa disebut sebagai kiai.

Seorang santri, meskipun sudah lulus dari pondok pesantren tetap dianggap sebagai santri, terutama di mata kiai pengasuh pondok pesantren tempat mereka menimba ilmu.

Meskipun pesantren menjadi lembaga yang teguh memegang tradisi keilmuan dan akhlak, bukan berarti tidak mengikuti perkembangan zaman. Banyak pesantren yang responsif dengan perkembangan di luar institusi itu, sehingga menghasilkan lulusan yang setelah kembali ke masyarakat, mereka tidak hanya mampu menjadi guru ngaji atau ustaz. Santri, masa kini sudah bertransformasi menjadi sosok yang berkiprah dimana-mana dan bisa diterima di lingkungan yang lebih luas.

Santri masa kini adalah golongan yang tidak lagi minder untuk masuk ke berbagai bidang kehidupan. Pergaulan santri sangat luas, pengetahuannya tak terbatas, dan kiprahnya di berbagai bidang juga sangat diperhitungkan. Santri juga mampu masuk ke dunia profesional.

Kiprah santri yang bukan seperti katak dalam tempurung, setidaknya dapat ditemui dalam buku cerita pemuda dari 5 negara yang isinya merupakan ungkapan cerita anak-anak remaja dari Amerika, Australia, Belgia, Finlandia, dan Indonesia.

Dalam buku yang diinisiasi oleh lembaga pendidikan berbasis yayasan di bawah Katolik itu terdapat tulisan cerita seorang santri dari Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, Jawa Timur, bernama Ahmad Aqil Al Adha.

Tulisan santri yang kini menempuh studi bidang seni teater di perguruan tinggi negeri di Yogyakarta itu mampu sejajar dengan remaja di luar pesantren, bahkan dari luar negeri.

Tentu saja cerita kehidupan pondok pesantren yang ditulis Aqil di buku itu membuat orang di luar pesantren terbuka dan heran. Selama ini, mereka tahu tentang pondok pesantren dan santri adalah kaum yang hanya mau (bisa) berhubungan dengan sesama santri dan seagama.

Mereka baru tahu bahwa di pesantren, kiai, dan santri sudah biasa berhubungan dengan masyarakat luar, bukan hanya dari luar agama Islam, tapi juga dari luar negeri yang non-Islam.

Aqil bercerita bagaimana di pondok pesantren tempat dia belajar, sering didatangi diplomat, yakni dari konsulat, seperti China atau Jepang. Hal itu, karena di Pondok Pesantren Nurul Jadid memang membuka jurusan Bahasa Mandarin dan akan menyusul Bahasa Jepang dan Korea Selatan, selain Bahasa Arab dan Inggris yang sudah lama berjalan.

Kemudian, ada juga santri yang menyandang gelar PhD, piawai mengupas filosofi Tiongkok kuno, lengkap dan fasih mengucapkan Bahasa Mandarin. Pemuda alumni Pondok Pesantren Nurul Jadid itu adalah Novi Basuki, PhD, yang lulus dari perguruan tinggi di China, mulai dari S1 hingga S3.

Karena keahlian dan luasnya jaringan, Novi juga tidak jarang menjadi penyambung diplomasi antara Indonesia dengan China. Ini adalah salah satu peran santri yang jauh melampaui stereotip sebelumnya.

Tokoh santri yang lebih terkenal adalah Prof Nadirsyah Hosen, PhD, akademisi Indonesia berlatar belakang santri dan kini mengajar di Fakultas Hukum, Universitas Melbourne, Australia.

Sebelumnya, alumnus Pondok Pesantren Buntet, Cirebon, ini mengajar di Fakultas Hukum Universitas Monash pada 2015 dan selama 8 tahun menjadi dosen di Fakultas Hukum Universitas Wollongong (2007-2015), keduanya di Australia.

Di dunia politik, pondok pesantren telah berkontribusi besar mendistribusikan santri untuk ikut mengelola negeri ini. Tokoh pondok pesantren yang paling fenomenal dalam politik dan intelektual adalah KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

Gus Dur yang sebelumnya banyak berkiprah di dunia intelektual, aktivitas sosial, bahkan seni budaya, ini mampu menapaki karir politik tertinggi, dengan terpilih menjadi presiden keempat Republik Indonesia, menggantikan BJ Habibie.

Di era kepemimpinan Gus Dur, reformasi politik banyak dilakukan, seperti pemisahan TNI dengan Polri, termasuk perubahan dominasi TNI Angkatan Darat di tubuh TNI, sehingga Panglima TNI (dulu Panglima ABRI), juga bisa diisi oleh perwira tinggi dari TNI AL dan TNI AU secara bergiliran. Padahal sebelumnya, di era Orde Baru, posisi Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Pangab) selalu dipegang oleh perwira tinggi dari TNI AD.

Di luar Gus Dur, politikus santri juga tidak terhitung, terutama mereka berkiprah di partai politik berbasis Islam. Saat ini pun, banyak santri yang menjadi menteri, gubernur, bupati dan wali kota atau pejabat karir sebagai aparatur sipil negara.

Pesantren yang kelahirannya jauh mendahului lahirnya Indonesia, memang telah mengukir sejarah panjang dalam berkontribusi untuk negeri ini, mulai dari zaman pra-kemerdekaan, hingga kini.

Kita bersyukur bahwa negara, lebih menunjukkan kehadirannya dengan mengakui peran pesantren, dengan menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri. Perhatian itu lebih tinggi lagi, dengan pengalokasian dana APBN untuk pondok pesantren dan berbagai program lainnya yang mendukung perkembangan pesantren.


Pewarta :
Editor : Andilala
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.