Athirah, WNI yang raih juara lomba essay COVID-19 di Australia

id athirah

Athirah, WNI yang raih juara lomba essay COVID-19 di Australia

Pertemuan virtual yang diikuti oleh peserta dan pengurus IMS di Wollongong, New South Wales, Australia, Jumat (19/06/2020). (ANTARA/H0-Haidar FS)

Wollongon, Australia (ANTARA) - Setelah meraih juara ketiga saat kegiatan Kompetisi Qur'an tahun lalu, kali ini Mara Athirah Siagian kembali mendapat juara dua lomba menulis essay tentang Covid-19.

Acara tersebut merupakan rangkaian “Perayaan 2020 Refugee Week” diadakan oleh Red Cross Australia dan Illawarra Multicultural Service, sebuah lembaga sosial-kemanusiaan di Wollongong, New South Wales, Australia.

Pengumuman para pemenang dilakukan melalui pertemuan virtual yang diikuti oleh seluruh peserta dan pengurus IMS Wollongong, Jumat (19/05/2020), dengan jumlah peserta sebanyak 50 orang dari semua kalangan, terutama warga negara luar Australia yang sedang berada di Wollongong dan sebagian besar dari mereka ikut bersama dengan orang tuanya, baik sebagai pelajar maupun pekerja di berbagai sektor.

Athirah -- sapaan akrab Mara Athirah Siagian berhasil juara dua setelah menulis essay berjudul "The Plan". Tulisan ini merupakan kisah nyata yang dia alami beberapa waktu lalu. Dia bercerita tentang rencana perjalanannya ke Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, pada saat lebaran yang lalu. Untuk bersilaturahmi dengan nenek dan sepupu-sepupunya yang sudah enam tahun tidak bertemu. Rencana mudik ke kampung orang tuanya ini, sudah hampir final, tinggal berangkat saja, karena tiket pesawatnya sudah dibeli pulang pergi dari Sydney Australia ke Medan, Sumatra Utara, Indonesia.

Akan tetapi dengan adanya penyebaran corona virus atau Covid-19 ini, membuat penerbangan internasional dihentikan. Demikian pula pembatasan sosial yang diadakan oleh Pemerintah Australia yang melarang melakukan perjalanan jauh, sehingga rencana pulang kampung tidak jadi dilaksanakan.  Silaturahmi secara langsung dengan nenek dan keluarga pun tidak dapat terlaksana. Hal ini tentu membuat sedih, akan tetapi harus diterima demi keselamatan semua pihak.

Mara Athirah Siagian adalah putri pasangan Haidir Fitra Siagian dan Nurhira Abdul Kadir, keduanya merupakan dosen UIN Alauddin Makassar yang sedang mendapat tugas belajar di Australia. Ayahnya berasal dari Sipirok Sumatra Utara, sedangkan ibunya berasal dari Somba, Majene, Sulawesi Barat. Di Indonesia, mereka tinggal di Bakung, Samata, Gowa Sulawesi Selatan. Saat ini mereka sedang tinggal di Wollongong, Negara Bagian New South Wales. Athirah sendiri sedang sekolah setingkat kelas enam sekolah dasar di Gwynneville Public School, Wollongong.


Karya Essay Athirah   

“The Plan". This is the story of our family in corona time. We planned to return to my father’s hometown in Sipirok, Indonesia on May 20th, 2020. We already bought tickets. We found cheap tickets, so we bought them in September last year. I was very happy thinking about going to my father's house when he was a child. The last time I went there was in 2014, when my uncle got married.

I and my sister made a good plan, going to the river, grilling fish from our granny’s pond. It was the best plan ever made in eleven years. I waited the time impatiently. I crossed my calendar every day. As the time went on, the year moved to 2020. Australia started the year with bush fire. When the bush fire stopped, a new virus from China called COVID-19 arrived. In Victoria, January 25th, 2020, to be precisely. Day by day, the cases increased. Some airlines were stopped and, finally, ours too. My father told us sadly, we could not go home. I was so sad.

I heard that there were people who went home to Indonesia. As a result, some of them contracted COVID-19, passing it to others. I was sad even more. On the day when my plane was planned to depart, I was at home, learning online with Google classroom. When we had dinner my brother said, Hey, we are transiting in Jakarta, now! When we almost slept, my sister said, Look, we are approaching Medan! That was how we comforted each other. But my father never laughed. He did not talk much. When he was in our balcony. He looked at kookaburra birds flying from a tree to another”.