Jakarta (ANTARA) - Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya menilai koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah lemah dalam mengantisipasi kepulangan Rizieq Shihab, sehingga terjadi beberapa pelanggaran dan pembiaran yang dapat memunculkan klater baru Covid-19 di Tanah Air.
"Semestinya pencegahan terhadap berkumpulnya masa dapat diantisipasi kalau pemerintah pusat berkoordinasi lebih baik dengan perintah daerah khususnya Banten, Jakarta, dan Jawa Barat di mana penyambutan Rizieq Shihab juga terjadi di Kabupaten Bogor dan melibatkan massa dengan jumlah yang cukup banyak," kata Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya, Teguh P Nugroho, di Jakarta, Senin.
Di awal kepulangan Shihab yang tinggal selama 3,5 tahun di Arab Saudi itu, Ombudsman menilai pemerintah pusat dan pemerintah daerah tergagap dalam mengantisipasi.
Menurut Nugroho, pendekatan konfrontatif Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan HAM, Mahfud MD, yang fokus pada penggiringan isu apakah Shihab dideportasi akibat melebihi ijin tinggal saat kembali ke Tanah Air menjadi kontraproduktif.
Ia mengatakan pendekatan ini justru mendorong simpatisan Shihab berbondong-bondong menjemput dia di Terminal 3 Bandar Udara Internasisonal Soekarno Hatta, di Banten. Padahal bandara itu adalah obyek vital nasional yang harus dijamin keamanan, keselamatan, dan kelancaran operasionalisasinya. Di Bandara Internasional Soekarno-Hatta ini juga terdapat Polres Bandara Soekarno-Hatta yang tergabung ke dalam Polda Metro Jaya.
Pada momen ini, kata Nugroho, seharusnya pemerintah bisa fokus pada upaya meredam glorifikasi kepulangan Shihab, termasuk pendekatan konsiliatif.
"Pilihan Polri untuk melakukan diskresi berupa pengamanan bukan penghalauan merupakan tindakan paling rasional dan mencegah terhambatnya pelayanan publik yang lebih luas akibat potensi bentrokan antara simpatisan Rizieq Shihab dengan Polri," ujar dia.
Ombudsman juga menilai pemerintah Provinsi DKI Jakarta lambat mengantisipasi, terlebih ketika Wakil Gubernur DKI Jakarta, Riza Patria, justru menghadiri acara Maulid Nabi pada Jumat (13/11) di daerah Tebet, Jakarta Selatan, yang juga dihadiri Shihab walau tidak melibatkan masa dalam jumlah besar.
Selain itu juga, kedatangan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, ke rumah Shihab, di kawasan Petamburan, Jakarta Pusat, membuat imbauan wali kota Jakarta Pusat pada 12 November 2020 persis tiupan angin lalu.
"Kehadiran pejabat pada acara yang mengundang masa besar seperti sebuah persetujuan bahwa acara tersebut mungkin dilakukan selama menjalankan protokol kesehatan, padahal tidak akan ada yang mampu memastikan protokol kesehatan di kerumunan massa dengan jumlah sebanyak itu," kata Nugroho.
Ombudsman menyayangkan kedatangan Baswedan ke kediaman Shihab pada Selasa malam (10/11), di mana semestinya Shihab melakukan isolasi mandiri selama 14 hari.
Ketentuan isolasi ini sesuai dengan Surat Edaran Nomor HK.02.01/Menkes/313/2020 tentang Protokol Kesehatan Penanganan Kepulangan WNI dan Kedatangan WNA dari Luar Negeri di Pintu Masuk Negara dan di wilayah pada situasi Pembatasan Sosial Berskala Besar.
Ombudsman Jakarta Raya juga melihat kelemahan koordinasi itu juga tampak pada upaya pencegahan penyebaran Covid-19 oleh Satgas Nasional Penanganan Covid-19 dengan memberikan 20.000 masker lengkap dengan fasilitas lain.
Menurut Ombudsman Jakarta Raya bukan pencegahan seperti yang dimaksud dalam upaya mengurangi potensi penyebaran pandemik Covid-19. "Pemberian fasilitas disaat mengetahui akan dipergunakan untuk pengumpulan masa dalam jumlah yang besar namanya memfasilitasi," ujar Teguh.
Teguh menyebutkan, satuan tugas memiliki tim pakar yang mengetahui potensi penyebaran Covid-19 saat massa berkumpul walaupun mempergunakan sarana dan prasarana pencegahan Covid-19, di antaranya masker dan "hand sanitizer".
Oleh karena itu, kata dia, pemberian sanksi administratif oleh pemerintah Provinsi DKI Jaya kepada Shihab berupa denda Rp50 juta lebih merupakan pemenuhan kewajiban administrasi bahwa ada upaya pemenuhan prosedur yang dilakukan pemerintah untuk penegakan aturan, namun hal itu berdampak buruk pada persepsi masyarakat.
"Ada pesan yang disampaikan secara tidak langsung, bahwa masyarakat dipersilahkan untuk melakukan pengumpulan massa berapapun jumlahnya, sejauh mampu membayar denda sebanyak Rp50 juta," kata Nugroho.