Mendambakan kampanye saling memuji antarcapres dan cawapres

id Pemilu 2024,kampanye pemilu, kampanye capres, kampanye hitam, politik identitas

Mendambakan kampanye saling memuji antarcapres dan cawapres

Ilustrasi-Pemilu 2024. (ANTARA/Ilustrator Abdullah Rifai)

Bondowoso (ANTARA) -
Suatu siang, tiga mahasiswa sedang duduk santai di sebuah warung kopi. Ketiganya terlibat diskusi mengenai berbagai hal, termasuk perkembangan politik negeri ini.

Sampailah pada momen, Arbi, mahasiswa yang bukan aktivis, menyodorkan ide pada Bian, mahasiswa aktivis dan kritis.

Arbi berandai-andai pada Pemilu 2024, kampanye calon presiden dan calon wakil presiden diwarnai dengan ungkapan saling memuji antarcalon.

Ia memunculkan ide itu dengan alasan menangkap ada kejenuhan di masyarakat, khususnya generasi muda pada suasana kampanye yang panas. Satu calon menyerang calon lainnya.

Sikap saling serang itu seperti berkembang biak, apalagi jika hal itu diikuti oleh pendukung masing-masing calon. Bukan hanya fakta yang disuguhkan oleh pendukung, misalnya calon A, mengenai kelemahan calon B, tapi juga fitnah alias hoaks.

Sebagai mahasiswa "polos" yang tidak banyak mengenal politik praktis di lingkungan terkecil atau di kampus, Arbi yakin bahwa gagasannya itu bagus dan mewakili aspirasi kalangan generasi muda, yang menurut kesimpulannya, lebih mengedepankan kebutuhan praktis mengenai masa depan daripada urusan politik.

Carli, teman aktivis Bian, yang selama ini memang dikenal vokal di berbagai forum di kampus dan luar kampus, awalnya hanya menyimak uraian Arbi.

Tiba-tiba Carli menukas, "Ah, gagasan tidak masuk akal. Kalau itu betul-betul terjadi, kampanye hanya akan diisi oleh basa-basi yang akan jauh lebih menjenuhkan. Tidak ada dinamika dan gagasan yang bisa kita uji dari kampanye model begitu."

"Iya, itu tidak masuk akal. Namanya kampanye politik, tentu masing-masing calon harus menunjukkan kualitas diri dan gagasannya. Kalau perlu menyerang gagasan pihak lawan," kata Bian menimpali.

Arbi, Bian, dan Carli, bukan nama sebenarnya. Ketiganya hanya menggambarkan pemikiran berbeda di kalangan generasi muda. Meskipun dimentahkan oleh Carli dan Bian, gagasan Arbi layak untuk dielaborasi dan sangat mungkin untuk diterapkan pada ajang kampanye pada Pemilu 2024.

Sebelum masuk ke bahasan kampanye saling memuji antarcalon, cukup menarik untuk melihat fenomena hasil Pemilu 2019, di mana dua calon yang di masa kampanye saling berhadap-hadapan, mereka kemudian bersatu dalam satu perahu pemerintah.

Prabowo Subianto yang menjadi lawan Jokowi pada Pemilu 2019, kemudian rela menjadi bagian dari pemerintahan yang dipimpin Jokowi, rivalnya.

Demikian juga dengan Sandiaga Salahuddin Uno, cawapres pasangan Prabowo juga bergabung ke pasangan Presiden Jokowi dengan Wapres Maruf Amin.

Sebagaimana diakui oleh Prabowo Subianto, dalam sebuah wawancara dengan presenter Najwa Shihab, bergabungnya dua rival politik dalam satu pemerintahan itu menjadi perhatian sejumlah politikus di negara lain.

Menurut Prabowo, dalam kunjungannya ke luar negeri, ia banyak ditanya oleh tokoh di luar, bagaimana bisa rivalitas itu kemudian bersatu dalam satu pemerintahan.

Fenomena bergabungnya Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno dalam pemerintahan Presiden Jokowi-Makruf Amin telah menjadi pelajaran besar, bukan hanya bagi praktik politik di luar negeri, tapi mestinya juga bagi negeri kita sendiri.

Karena itu, menarik apa yang dilontarkan oleh Arbi dalam diskusi dengan Bian dan Carli. Gagasan dari warung kopi barangkali kurang bergengsi dibandingkan dengan hasil dari forum-forum ilmiah yang menghadirkan para pembicara dengan gelar doktor, bahkan profesor.

Apa yang disampaikan oleh Arbi bisa jadi memang mewakili alam pikir generasi muda saat ini, yang dari lahir hingga mencapai remaja atau dewasa awal dalam istilah psikologi, sudah dilingkupi berbagai kemudahan.

Ketika di bangku sekolah, mereka yang disebut sebagai generasi milenial itu sudah berjumpa dengan hamparan kemudahan. Untuk memahami mata pelajaran, mereka tidak perlu lagi bersusah payah mencari buku di perpustakaan atau ke toko buku. Mereka cukup membuka gawai. Ada pilihan yang disediakan oleh mesin pencari "google" atau menjadi anggota perpustakaan secara daring, baik di perpustakaan nasional maupun daerah.

Karena itu, ketika kaum muda ini disuguhi dengan warna politik yang panas karena calon satu menyerang calon lainnya, tidak menutup kemungkinan generasi muda akan menjadi apatis pada politik. "Politik itu ruwet," begitu kira-kira kesimpulan yang akan mereka tangkap.

Maka dari itu, gagasan Arbi mengenai kampanye saling memuji menemukan pijakannya untuk dicoba kita semai.

Dengan kampanye saling memuji antarcalon, generasi muda akan melihat bahwa politik itu mengasyikkan, jauh dari ketegangan.

Apalagi, pemilihan tanggal hari pelaksanaan Pemilu 2024 yang serentak, yakni 14 Februari, juga tidak lepas aura psikologis kaum muda. Entah sengaja atau tidak, tanggal pelaksanaan pemilu itu bertepatan dengan hari Valentin atau hari kasih sayang. Meskipun beberapa kalangan menentang hari kasih sayang itu, terutama karena ada penyimpangan perilaku laki-laki dan perempuan, pikiran bawah sadar kolektif bangsa ini, umumnya memahami tanggal 14 Februari sebagai hari Valentin.

Kasih sayang, di dalamnya mengandung makna damai. Karena itu, mengikhtiarkan pemilu yang damai, termasuk pada masa kampanye, lebih memiliki tempat atau ruang di hati dan pikiran anak muda. Bahkan, generasi tuapun juga pasti merasa nyaman dengan situasi perhelatan politik praktis yang penuh rasa ayem dan tenteram itu.

Generasi tua yang mungkin sudah penat dengan berbagai aktivitas pekerjaan, juga tidak nyaman dengan tampilan politik yang menempatkan satu sama lain sebagai musuh, sehingga harus dikuliti kekurangan masing-masing.

Jika bersatunya Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno dalam pemerintahan Jokowi menjadi model yang dikagumi negara lain, bukan tidak mungkin hasil Pemilu 2024, fenomena itu akan terulang.

Dari beberapa capres yang kini sudah mencuat, bukan tidak mungkin jika, misalnya Ganjar Pranowo menjadi presiden, Prabowo Subianto akan menjadi menteri lagi, demikian juga dengan Anies Baswedan. Jika, misalnya, Prabowo Subianto yang menjadi presiden, Ganjar Pranowo dan Anies berpeluang menjadi menterinya. Atau, misalnya, Anies Baswedan yang menang, terbuka peluang bagi Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto menjadi menterinya.

Jika misalnya, kampanye saling memuji antarcalon itu berjalan atau dapat diterapkan maka capres yang kalah tetap punya muka di depan capres yang menang. Si capres kalah dan kemudian menjadi menteri dari rivalnya, tidak perlu lelah mengklarifikasi ucapan-ucapannya saat kampanye.

Kalau para capres dan cawapres peserta Pemilu 2024, dengan ketulusan hati mau menerapkan model kampanye ini, Pemilu 2024 akan menjadi momen pemilihan umum yang mewariskan suasana damai bagi generasi pewaris negeri ini. Dalam pikiran bawah sadar kolektif generasi muda akan tumbuh keyakinan bahwa politik tidak harus saling menjatuhkan satu sama lain.

Meskipun demikian, catatan yang disampaikan oleh Carli dan Bian atas gagasan Arbi itu, juga tidak boleh dicampakkan. Bagaimana pun politik tetap memerlukan dinamika gagasan antarcalon.

Jika dalam adu gagasan, antarcapres dan cawapres harus mengkritisi calon lain berdasarkan data, dalam kampanye saling memuji antarcalon juga harus dilakukan demikian.

Data yang mendukung bahwa gagasan pasangan capres-cawapres A perlu dipuji atau didukung oleh capres-cawapres B, harus disampaikan dalam bingkai data dan fakta.

Dengan basis data itu, kekhawatiran kampanye saling memuji antarcalon itu hanya akan menjadi tontonan basa-basi, tidak akan terbukti. Pasangan calon yang mampu menghindari jebakan basa-basi adalah calon yang cerdas dan layak mendapatkan dukungan besar dari pemilih.

Berdasarkan data dan proporsional, basa-basi tidak akan muncul di arena kampanye. Jika dalam kampanye saling menonjolkan diri dan pasangan diperlukan kepiawaian dalam mengolah dan menyampaikan data, demikian pula dalam kampanye saling memuji antarcalon ini.

Pasangan capres-cawapres beserta partai politik dan tim pendukung harus mengulik dan mengolah data mana dari kompetitor itu yang layak untuk dipuji. Bahkan, capres-cawapres A, misalnya, bisa menarik simpati pemilih dengan menegaskan akan menerapkan ide capres-cawapres lawan jika mereka terpilih menjadi presiden dan wakil presiden. Di sinilah dituntut kecerdasan capres-cawapres dan pendukung untuk mengolah program mana yang kelak bisa disinergikan dengan program dari capres-cawapres lawan.

Indahnya politik yang layak dirayakan sebagai pesta.