Yogyakarta (ANTARA) - Pagi itu, udara sejuk menyelimuti ujung Dusun Turgo, Kelurahan Purwobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Di lereng selatan Gunung Merapi tersebut, terdapat sebuah rumah sederhana nan asri.
Halaman depan dan belakangnya berdiri rumah kaca atau green house berpenyangga kayu yang menampung aneka spesies tanaman anggota famili Orchidaceae atau dikenal anggrek.
Rumah tersebut dihuni Musimin, 58 tahun, beserta istrinya, Sarinah.
Untuk menuju rumah Musimin harus melalui jalan berbatu menanjak dengan rimbun pepohonan di bagian kanan dan kirinya. Kira-kira sejauh 100 meter dari ruas jalan beraspal.
Saat ditemui di rumah kaca di sisi belakang rumah, Musimin tengah memilah dan membuang daun-daun anggrek yang mengering.
Pria berkopiah dan berjenggot putih itu kemudian memompa alat semprot tanaman berisi air, lalu mengarahkannya pada setiap bagian anggrek berhabitat asli Gunung Merapi.
Setidaknya lebih dari 100 spesies anggrek dengan berbagai media tanam tumbuh subur di ruang beratap transparan itu.
Di sela kesibukannya, Musimin bercerita bahwa dirinya jatuh hati pada aneka tanaman berbunga indah itu sejak lama, tepatnya selepas bencana erupsi Gunung Merapi pada November 1994.
Kala itu, awan panas yang meluncur dari kawah gunung api itu menyapu hutan yang berjarak sekitar 700 meter dari rumahnya. Akibatnya, seluruh vegetasi musnah termasuk beragam jenis dan spesies anggrek yang telah lama hidup dan tumbuh alami di hutan sisi selatan Merapi.
Setelah kembali dari pengungsian, pria paruh baya itu sedih karena anggrek yang biasa ia lihat sejak kecil tak lagi dapat dijumpai.
Musimin, yang merupakan petani panggarap lahan hutan Merapi, kala itu tergerak hati mengembalikan ekosistem anggrek lokal di gunung itu dengan cara sebisanya.
Baginya, tanaman anggrek di hutan itu merupakan aset sekaligus identitas kekayaan alam Gunung Merapi yang mesti dilestarikan dan tak boleh hilang.
"Itu anugerah Allah yang terlimpah dan tersedia di Merapi, lalu kenapa tidak kita budi dayakan? " ucap ayah dua anak itu.
Mengembalikan anggrek Merapi
Mengawali misi perjuangannya, Musimin pada medio 1996 mencoba mengumpulkan satu per satu spesies anggrek.
Anggrek lokal Merapi yang dikoleksi warga sekitar sebagai tanaman hias dia beli, kemudian dibudidayakan di rumahnya. Saat itu, dia berhasil mengumpulkan hingga tujuh spesies anggrek lokal Merapi.
Setelah berjuang sendirian, pada tahun 2000, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Yogyakarta mengetahui dan mendukung langkah Musimin dengan memberikan sebanyak 50 batang anggrek Vanda tricolor untuk ditangkar.
Setelah ditangkar sendiri secara tradisional selama 3 tahun, Musimin kemudian mengembalikan anggrek-anggrek itu ke habitat aslinya.
Untuk mengembalikan jenis anggrek "epifit" atau yang hidup menempel pada batang pohon, ia harus membawa tangga dari rumah dengan tinggi 4 meter. Fungsinya, untuk menempel anggrek beserta akarnya pada batang pohon di hutan Merapi.
Setelah tertempel, anggrek itu tak lantas dibiarkan. Selama 2 tahun, dia masih harus merawat dan memantau hingga anggrek benar-benar tumbuh secara mandiri.
Berkat kerja keras itu, sedikit demi sedikit tanaman anggrek mulai tampak kembali di hutan sisi selatan Gunung Merapi yang berada di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM).
Meski demikian, Musimin meyakini masih banyak spesies anggrek lain yang belum kembali di hutan Merapi.
Pada tahun 2003, dia berkesempatan bertemu dengan sejumlah warga sisi barat dan sisi timur lereng Merapi dalam program Gerakan Nasional Rehabiltiasi Hutan dan Lahan (GNRHL) yang diinisiasi Pemerintah.
Melalui kegiatan tersebut, ia memperoleh banyak informasi mengenai beragam spesies lain dari anggrek lokal Merapi yang ada di masyarakat dan kemudian ia beli lalu dibudidayakan pula.
Pasca-erupsi Merapi 2010, Musimin yang tak gentar dan masih konsisten dengan misi konservasinya bertemu kembali dengan seorang peneliti anggrek bernama Sulistyono yang sebelumnya pernah ia kenal pada tahun 2000-an.
Dari Sulistyono, Musimin mendapatkan banyak wawasan mengenai cara budi daya anggrek, termasuk nama-nama ilmiahnya.
Sulistyono, periset lingkungan, pada tahun 2011 melakukan penelitian dan pendataan spesies anggrek di sisi selatan lereng Merapi.
Berdasarkan hasil pendataan dan penelitian yang mengikutsertakan Musimin itu, masih ditemukan sebanyak 53 spesies anggrek lokal Merapi.
Padahal, sebelum erupsi Merapi 2010, tidak kurang 90 spesies anggrek teridentifikasi hidup di gunung itu.
Berbekal data itu, Musimin kemudian terus memburu informasi terkait spesies-spesies anggrek lokal Merapi yang hilang dari sejumlah kawan maupun kenalannya termasuk yang tinggal di sisi barat dan timur lereng Merapi.
"Sebanyak 90 spesies itu terus kami kejar. Baik yang bisa kami budi dayakan maupun tidak, saya harus menemukan," ujar Musimin mengenang.
Hingga pada November 2022, ia mengaku telah mengumpulkan total sebanyak 120 spesies anggrek lokal Merapi yang kemudian ditangkar dan setelah dewasa dilepas atau dikembalikan ke habitatnya.
Spesies anggrek yang dibudidayakan Musimin antara lain Trichotosia ferox, Calanthe triplicata, Vanda tricolor, Dendrobium heterocarpum, Dendrobium Sagittatum, Liparis pallida, Aerides Odoratus Lour, Calanthe flava, Taeniophyllum glandulosum, dan masih banyak lainnya.1
Untuk menopang upayanya terus berkelanjutan, Musimin kemudian membuka kesempatan bagi masyarakat untuk ikut serta mengonservasi anggrek melalui sistem adopsi.
Dalam sistem itu, masyarakat atau adopter dapat berkontribusi memberikan biaya perawatan anggrek yang diadopsi melalui beberapa paket disesuaikan jumlah dan spesiesnya.
Untuk paket platinum yang dikhususkan anggrek Vanda tricolor biayanya Rp1 juta, paket gold Rp850 ribu, dan paket silver Rp750 ribu yang berisi beragam spesies anggrek.
Selain mendapat sertifikat, masyarakat diberikan kesempatan melihat kapan saja anggrek yang telah mereka adopsi secara langsung di habitat aslinya.
Ancaman pencurian
Upaya konservasi anggrek yang dilakoni pria tamatan SD itu bukan tanpa tantangan. Salah satunya adalah risiko pencurian oleh pemburu anggrek.
Sejumlah anggrek yang telah dia rawat selama beberapa tahun dan dikembalikan ke habitatnya, hilang dicuri orang. Beruntung, masih banyak bibit anggrek serupa yang tersimpan di rumahnya.
Sejak saat itu, ia meningkatkan pengawasan, utamanya pada akses jalan menuju kawasan hutan yang salah satunya harus melintasi depan halaman rumahnya.
Musimin mengaku pernah menjumpai gerak-gerik orang mencurigakan dari luar Dusun Turgo yang mencoba menyusup ke kawasan hutan tempat konservasi anggrek.
Dia membuntuti hingga masuk kawasan konservasi anggrek. Orang tersebut pun berlalu meninggalkan lokasi setelah Musimin menanyakan maksud kedatangannya.
Peneliti Pusat Studi Lingkungan (PSL) Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Sulistyono mengatakan bahwa inisiatif Musimin sangat penting untuk mendukung konservasi anggrek sebagai salah satu kekayaan alam di Gunung Merapi.
Selain bunganya yang menarik, anggrek juga bernilai ekonomi sehingga banyak yang dipelihara dan diperjualbelikan oleh masyarakat.
Akan tetapi, tanpa disertai upaya konservasi seperti yang dilakukan Musimin, anggrek lama-lama habis di alam dan tidak lagi dapat dilihat oleh generasi berikutnya.
Dengan kiprah pentingnya mengembalikan dan mengonservasi anggrek lokal Merapi, Musimin merasa tak pantas disebut penyelamat, pahlawan, atau sederet julukan lainnya.
"Saya sekadar mengupayakan anggrek-anggrek itu lestari. Cuma itu saja," ucap Musimin.