Menangkap potensi ASEAN menuju pemain kunci di industri EV dunia

id Industri EV,ASEAN,Ekosistem EV,kendaraan listrik

Menangkap potensi ASEAN menuju pemain kunci di industri EV dunia

Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah dan Aneka (IKMA) Kementerian Perindustrian, Gati Wibawaningsih menguji coba sepeda motor listrik Katalis EV.1000. ANTARA/Biro Humas Kementerian Perindustrian/pri. (ANTARA/ Biro Humas Kementerian Perindustrian)

Jakarta (ANTARA) - Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) menyepakati kerja sama dan kolaborasi pengembangan ekosistem kendaraan listrik (electric vehicles/EV) di kawasan ASEAN.

Negara-negara anggota ASEAN berkomitmen untuk membangun kawasan sebagai pusat produksi global untuk industri kendaraan listrik. Hal tersebut tertuang dalam salah satu poin perjanjian kerja sama "ASEAN Leaders' Declaration on Developing Regional Electric Vehicle (EV) Ecosystem" pada KTT Ke-42 ASEAN di Labuan Bajo, NTT, Mei 2023.

Sebagaimana yang dikatakan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), kawasan ASEAN diharapkan dapat menjadi bagian penting dari rantai pasok EV dunia yang menekankan hilirisasi industri.

Dalam KTT KE-43 ASEAN di Jakarta, Kamis (7/9), diskursus berlanjut hingga mencapai kesepakatan pengembangan end-to-end ekosistem EV yang didukung penuh oleh China, Jepang, dan Korea Selatan. Kerja sama ASEAN Plus Three penting bagi kemajuan dan pertumbuhan kawasan.

Baik China, Jepang, maupun Korea Selatan dapat dikatakan termasuk dalam pemimpin di bidang teknologi EV. Dengan adanya dukungan dari ketiga negara ini, ASEAN dapat memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman mereka melalui kerja sama teknologi, transfer pengetahuan, dan penelitian bersama.

Pengamat otomotif sekaligus akademisi Institut Teknologi Bandung (ITB) Yannes Martinus Pasaribu memandang bahwa kerja sama erat ASEAN dengan China, Jepang, dan Korea Selatan dalam pengembangan teknologi EV dapat menciptakan ekosistem yang komprehensif dan kompetitif.

Dengan menggabungkan sumber daya alam, pasar yang besar, teknologi canggih, dan infrastruktur yang solid, dinilai ASEAN memiliki potensi untuk menjadi pemain kunci dalam industri kendaraan listrik dunia.

Hal ini dapat mengubah peta industri EV global, dengan ASEAN menjadi pusat pertumbuhan baru yang menggantikan Eropa dan Amerika dalam beberapa dekade mendatang.

Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi Internasional Kemenko Perekonomian, Edi Prio Pambudi, mengatakan bahwa pengembangan ekosistem EV di ASEAN merupakan langkah yang menjanjikan apalagi kawasan tengah bertumbuh dan memiliki berbagai modalitas yang akan mendukung pembangunan produksi EV di kawasan.

Dengan populasi penduduk lebih dari 600 juta jiwa, ASEAN diyakini menjadi pasar yang potensial dengan peluang investasi menjanjikan. Adapun estimasi pasar EV di kawasan ASEAN mencapai 2,7 miliar dolar AS di tahun 2027. Apalagi, menurut Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia, investasi ekosistem EV di ASEAN meningkat 570 persen pada 2022 dan diperkirakan akan terus bertumbuh.

Kondisi setiap negara anggota ASEAN memang tidak homogen. Sejumlah negara tengah mengembangkan ekosistem EV-nya sendiri termasuk Indonesia, Vietnam, Thailand, Malaysia, dan seterusnya. Beberapa negara anggota ASEAN juga memiliki relasi bisnis dengan negara lain di luar ASEAN.

Namun alih-alih hanya berkompetisi, para pemimpin ASEAN pun sepakat bahwa kerja sama dibutuhkan di antara negara anggota sehingga diharapkan dapat menghasilkan produk yang lebih kompetitif dalam rantai pasok dunia.

Dalam dokumen deklarasi yang disahkan saat KTT Ke-42, disebutkan pula bahwa pengembangan ekosistem EV melibatkan semua negara anggota ASEAN yang mendukung adopsi EV dan peningkatan industri EV. Meski begitu, para pemimpin juga menyadari adanya perbedaan tingkat perkembangan ekonomi dan kebijakan dalam negeri di antara anggota ASEAN.

Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara mengingatkan kesepakatan dalam tataran pemimpin ASEAN perlu diterjemahkan ke dalam pemetaan yang rinci mengenai keunggulan masing-masing negara anggota. Prinsip yang sama juga pernah diadaptasi dalam kerja sama pengembangan kendaraan konvensional.

"Komponen besar di-breakdown lagi menjadi komponen-komponen kecil. Di sisi lain, ada juga pendukung-pendukung lainnya seperti lembaga penelitian dan balai uji. Jadi, mata rantainya panjang sekali," ujar Kukuh.

Malaysia, misalnya, memiliki keunggulan dari segi komponen semikonduktor yang menjadi bagian penting dalam rantai pasok EV. Negara anggota lain yang dinilai telah siap dalam sektor EV, seperti Thailand dan Vietnam, juga memiliki andil penting di dalam pembangunan lanskap ekosistem EV ASEAN.

Sementara Indonesia unggul dalam sumber daya nikel yang menjadi salah satu bahan baku mineral untuk baterai EV. Diketahui, Indonesia merupakan negara dengan pemilik cadangan nikel terbesar di dunia dunia dengan angka mencapai 23 persen. Di samping itu, ada pula Filipina yang juga unggul dalam sumber daya nikel.

Teknologi EV dapat dikatakan masih baru dengan harga yang relatif mahal. Namun dengan adanya kerja sama pengembangan ekosistem EV ASEAN, pengamat otomotif lain dari ITB, Agus Purwadi, memandang bahwa kawasan akan mendapat manfaat dengan skala ekonomi (economies of scale) yang terus meningkat. Seiring dengan itu, diharapkan harga EV bisa turun atau lebih terjangkau, terutama untuk komponen baterai.

"Pekerjaan rumah" selanjutnya

Sebagai negara yang menginisiasi kolaborasi pembangunan ekosistem EV melalui Keketuaan ASEAN tahun ini, Indonesia perlu berperan aktif dalam menyelaraskan perbedaan regulasi di antara negara-negara ASEAN.

Ini menjadi "pekerjaan rumah" selanjutnya bagi ASEAN untuk mewujudkan ambisi sebagai pemain kunci di industri EV dunia. Yannes menilai, harmonisasi regulasi menjadi landasan utama dalam memaksimalkan kerja sama ekosistem EV di ASEAN. Hal ini juga demi keuntungan Indonesia.

Keseragaman regulasi terkait kendaraan listrik di ASEAN merupakan kunci dalam memfasilitasi perdagangan dan investasi di antara negara-negara anggota. Kedua pengamat, baik Yannes maupun Agus, juga sepakat bahwa Indonesia perlu bekerja sama dengan mitra regionalnya untuk menciptakan kerangka kerja atau peta jalan (roadmap) yang detail, jelas, dan konsisten.

Kesepakatan yang telah dibuat juga perlu diikuti dengan rencana tindakan (action plan) yang terukur. Hal ini menjadi tantangan terbesar bagi ASEAN untuk menghindari stagnasi kesepakatan kerja sama yang tidak hanya tertulis di atas kertas. Jangan sampai, pasar dan pemain EV yang potensial ini diambil alih oleh negara-negara lain di luar kawasan.

Di sisi lain, menurut pandangan Yannes, Indonesia juga harus melakukan antisipasi lain untuk dapat mengambil manfaat sepenuhnya dari peluang kerja sama tersebut. Selain mengupayakan penyelarasan regulasi, Indonesia perlu melengkapi diri dengan penyediaan infrastruktur pendukung EV, seperti pengisian baterai, sehingga mendapat kepercayaan dari masyarakat dalam negeri.

Indonesia juga harus memperhatikan dampak lingkungan, termasuk manajemen limbah baterai yang dilakukan dengan bijak serta praktik produksi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Hal ini mengingat produksi dan pemusnahan baterai EV memiliki dampak lingkungan yang signifikan apabila tidak dikelola dengan baik.

Kesiapan tenaga kerja terampil juga perlu menjadi perhatian. Pertumbuhan industri EV akan membutuhkan sumber daya manusia yang terlatih dalam teknologi terkini. Oleh sebab itu, investasi dalam pendidikan dan pelatihan untuk menghasilkan tenaga kerja yang berkualitas menjadi kunci.

Terakhir, persaingan global yang ketat dalam industri EV harus dihadapi dengan inovasi dan daya saing produk nasional yang kuat. Indonesia harus memastikan produknya untuk dapat bersaing dengan negara-negara lain yang juga mengincar pangsa pasar EV.

Dengan mengantisipasi hal-hal itu, Indonesia diharapkan tidak hanya dapat memaksimalkan manfaat kerja sama ekosistem EV di ASEAN melainkan juga menjadi pemain kunci dalam industri EV di kawasan serta memperkuat posisinya dalam geopolitik global