Jakarta (ANTARA) - Tangan-tangan itu dengan cekatan memilah dan memilih sampah yang mengalir di atas conveyor belt untuk memisahkan antara plastik, kain, dan organik.
Kedua tangan yang terbungkus sarung warna hitam itu seperti berlomba mengambil sampah yang berjalan di atas "sabuk berjalan" itu menuju ke mesin pencacah.
Tampak petugas dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jakarta, yang penuh konsentrasi untuk menyingkap dan mencari sampah yang tidak sesuai dengan ketentuan.
"Kami mencari sampah kain dan organik, agar tidak tercampur dengan sampah plastik" kata petugas sambil mencari sampah yang dimaksud.
Mereka saat itu berada di gedung baru tempat pengolahan sampah (TPS) berkonsep kurangi, pakai kembali, dan daur ulang (reduce, reuse and recycle/3R) yang berada di Kelurahan Pejaten Barat, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
TPS berkonsep 3R itu tidak seperti TPS konvensional yang selalu dipenuhi tumpukan sampah dengan lahan yang luas dan bahkan hingga menggunung.
Namun, TPS 3R yang berada di Kelurahan Pejaten Barat, tidaklah kotor meskipun namanya tempat pembuangan sampah. Lahannya kurang lebih hanya 600 meter persegi.
Keberadaan TPS 3R di Jakarta Selatan ini merupakan upaya pemerintah daerah untuk mengurangi sampah yang dikirim ke Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi.
TPS 3R merupakan fasilitas mengolah sampah serupa Refuse Derived Fuel (RDF) Plant di TPST Bantargebang, tetapi dalam skala lebih kecil.
Di TPS 3R, sampah rumah tangga dipilah dan diolah. Kemudian khusus untuk sampah kering, nantinya dijadikan bahan bakar alternatif industri manufaktur.
Pengolahan sampah ini merupakan upaya Pemerintah dalam menekan dampak sampah agar tidak menjadi bahaya di kemudian hari akibat tidak tertampung di tempat pembuangan akhir. Untuk itu, dibangunlah TPS 3R.
Kepala Suku Dinas Lingkungan Hidup Jakarta Selatan (Sudin LH Jaksel) Mohamad Amin mengatakan bahwa produksi sampah rumah tangga di 10 kecamatan yang berada di Jaksel per hari mencapai 1.559 ton.
Jumlah tersebut akan jauh lebih "menggunung" apabila tidak disertai dengan sejumlah solusi dari Pemerintah dalam rangka menekan pengiriman sampah ke TPST Bantargebang.
Program yang dimaksud di antaranya yaitu melalui Peraturan Gubernur (Pergub) 77 tentang Pengelolaan Sampah, di mana setiap RW dianjurkan bisa mengelola sampahnya sendiri untuk menekan suplai sampah ke TPST Bantargebang.
Selain itu terdapat pula program bank sampah, pembuatan kompos dari sampah, dan lain sebagainya, guna menekan produksi sampah yang dibuang ke tempat pembuangan sampah akhir.
Untuk TPS 3R di Kelurahan Pejaten Barat, Kecamatan Pasar Minggu -- yang baru saja diresmikan -- dapat mengolah 50 ton sampah per hari, sedangkan produksi sampah di wilayah tersebut mencapai 220 ton per hari.
"Berkurang 50 ton dengan diolah di TPS 3R. Jadi, rata-rata bisa berkurang menjadi 170 ton sampah yang dibuang ke TPST Bantargebang, dari semula 220 ton, karena 50 ton direduksi di sini," kata Amin.
Meningkatkan nilai tambah
Program peningkatan nilai tambah untuk sampah sudah sering digaungkan kepada masyarakat dengan beragam aksi yang dilakukan oleh semua lapisan, mulai dari kelompok masyarakat, Pemerintah, maupun swasta.
Seperti halnya program bank sampah yang kini hampir terlaksana di setiap RW di Jakarta, -- meskipun program tersebut tentu masih tidak dapat menyelesaikan masalah sampah --, tetapi setidaknya dapat mengurangi kiriman sampah.
Karena dengan program bank sampah, masyarakat dapat menukarkan sampah, seperti botol plastik, kardus, kertas, dan lainnya yang bernilai menjadi rupiah.
Ada pula program sampah menjadi emas yang diinisiasi oleh perusahaan pelat merah, bahkan secara nasional sejak program tersebut digulirkan pada tahun 2018 telah terkumpul tabungan emas hingga mencapai 5 kilogram atau setara dengan Rp5 miliar.
Program tersebut tentu baik untuk menekan produksi sampah dan perlu terus ditingkatkan, agar sampah yang dihasilkan benar-benar dapat memiliki nilai tambah. Kehadiran TPS 3R juga dalam rangka menjadikan sampah memiliki nilai tambah, pasalnya setiap sampah yang diolah di tempat tersebut dapat dijual kembali setelah melalui serangkaian prosesnya.
Sampah yang masuk ke TPS 3R nantinya diolah untuk dijadikan bahan bakar (RDF) oleh sebuah perusahaan.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta Asep Kuswanto mengatakan bahwa hasil dari pengolahan sampah tersebut akan dijual ke penampung (offtaker) yang sudah bekerja sama dengan Pemprov DKI Jakarta.
Sementara ini untuk harganya, per 1 ton olahan sampah itu akan dibeli pada kisaran 30 dolar AS atau setara dengan Rp470 ribu menggunakan kurs saat ini.
Pembangunan TPS 3R
Pemkot Jakarta Selatan menargetkan pada tahun ini dapat memiliki empat TPS 3R yang berada di empat kecamatan berbeda yaitu, Kecamatan Pasar Minggu, Setiabudi, Jagakarsa, dan Kecamatan Pesanggrahan.
Untuk TPS 3R yang sudah beroperasi di Jaksel baru satu unit yaitu TPS 3R di Kelurahan Pejaten Barat, Kecamatan Pasar Minggu, dengan kapasitas oleh per hari mencapai 50 ton sampah.
Sementara tiga TPS 3R lainnya masih dalam proses, seperti di Pesanggrahan dan Jagakarsa bangunannya sudah berdiri tinggal pengadaan mesin oleh pihak ketiga melalui dana tanggung jawab sosial (CSR) perusahaan. Adapun untuk di Menteng Atas, Kecamatan Setiabudi, baru akan dibangun oleh Pemerintah pada tahun ini. Dana dan lahan sudah tersedia, tinggal dieksekusi.
Pemprov DKI Jakarta menargetkan membangun TPS 3R di 44 kecamatan yang ada di daerah itu dalam rangka mengurangi volume sampah.
Pemprov DKI Jakarta pada tahun 2023 sudah membangun tujuh TPS 3R dan pada tahun ini bakal mendirikan empat lagi.
"Diharapkan seluruh kecamatan punya TPS 3R," ujar Pj. Gubernur DKI Jakarta Heru Budi.
Direktur Pengurangan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Vinda Damayanti Ansjar menjelaskan pengelolaan sampah dengan TPS 3R merupakan salah satu langkah pengurangan dan penanganan sampah sehingga limbah yang dibuang ke TPA itu bisa diminimalkan.
Program tersebut juga sebagai upaya mengejar target Pemerintah terkait pengurangan sampah. Hal itu lantaran pada 2030 tidak akan ada pembukaan TPA baru, dan program ini wajib dimulai sejak dini untuk melakukan pengolahan sampah dari sumbernya.
KLHK menargetkan pada tahun 2025 dapat mengurangi sampah sebanyak 30 persen, sedangkan 70 sisanya sampah yang dihasilkan dapat dikelola.
Sampah ketika tidak diolah dan dikelola dengan baik maka menimbulkan beragam permasalahan, mulai dari lingkungan kotor, kesehatan, keindahan kota, serta dampak buruk sebagainya.
Untuk itu, upaya Pemerintah mengolah sampah harus diikuti dengan warga untuk mengurangi volume sampah rumah tangga, misalnya, tidak memakai kantong plastik sekali pakai.