Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palangkaraya Prof. KH Khairil Anwar menyebut tiga hal yang menjadi landasan utama pascapemilu, yakni keadilan, toleransi, dan inklusivitas.
"Keadilan, toleransi, dan inklusivitas harus menjadi landasan utama bagi masyarakat Indonesia dalam melangkah pascapemilu. Dengan kesadaran yang tinggi terhadap nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan, saya berharap agar Indonesia dapat menghadapi masa depan dengan persatuan dan keharmonisan yang kokoh," kata Khairil dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu.
Oleh sebab itu, dia menilai rekonsiliasi dan membangun kebangsaan pascapemilu penting untuk dilakukan. Hal itu mengingat tidak dapat dimungkiri ada perbedaan pandangan yang muncul selama masa kampanye.
"Seluruh pihak yang telah selesai berkompetisi perlu melakukan rekonsiliasi secara arif dan bijaksana, terutama di tengah dinamika politik pasca-Pemilu 2024. Menurut saya, langkah pertama rekonsiliasi dapat dimulai dari simpul-simpul antar-partai politik yang sempat berbeda dalam menentukan dukungan dan pandangannya," jelasnya.
Ketua umum Majelis Ulama Indonesia provinsi Kalimantan Tengah itu juga mengusulkan ada pertemuan perwakilan partai politik, termasuk tokoh-tokoh nasionalis dan agamis, yang dianggap dapat mendekati berbagai pihak.
Dia menyebut Sri Sultan Hamengku Buwono X, KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) dari Nahdlatul Ulama, dan Haedar Nashir dari Muhammadiyah merupakan tokoh-tokoh yang dapat berperan sebagai jembatan rekonsiliasi.
Pemilihan tokoh-tokoh tersebut tidak semata-mata berdasarkan afiliasi politik, melainkan berfokus pada karakter inklusif dan wawasan kebangsaan yang dimiliki oleh mereka.
Langkah itu diharapkan dapat memperkuat nilai-nilai kebangsaan dan mempersatukan Indonesia pascapemilu.
Selain menyoroti pentingnya rekonsiliasi, Khairil juga menjelaskan konteks politik identitas, termasuk yang menggunakan label agama.
Dia menilai politik identitas sebenarnya dapat menjadi instrumen positif, tergantung pada cara penggunaannya.
"Sebagai contoh, kita bisa melihat pada Nabi Muhammad Saw. Rasulullah pernah juga melakukan politik identitas yang inklusif dan dapat menyatukan umat, serta mempersatukan nilai-nilai kebangsaan. Namun, terhadap politik identitas yang eksklusif, yang mendorong ujaran kebencian dan ketidakadilan, harus kita tinggalkan,” katanya.
Dua pun mencermati bahwa politik identitas yang bersifat eksklusif masih ada di Pemilu 2024, tetapi tidak separah pemilu sebelumnya.
Meskipun demikian, Khairil menekankan peningkatan ujaran kebencian sebagai isu yang patut diwaspadai.
Dia juga menilai kesadaran masyarakat dalam menyikapi pemilu masih perlu dimaksimalkan. Khairil mengingatkan bahwa segala keputusan yang dihasilkan melalui pemilu menjadi krusial bagi hajat hidup rakyat Indonesia.
"Kesadaran akan pentingnya peran aktif sebagai warga negara, khususnya melalui hak pilih, perlu ditingkatkan. Saya berharap masyarakat dapat memiliki kesadaran yang lebih tinggi terhadap arti kebangsaan dan tanggung jawabnya dalam memilih pemimpin," ujar Khairil.
Dia berharap masyarakat Indonesia bisa menerima hasil Pemilu 2024 dan berpesan bahwa semangat persatuan serta persaudaraan harus tetap dijaga.