Jakarta (ANTARA) - Beberapa indikasi menunjukkan pemerintahan Presiden Amerika Serikat Joe Biden sudah gerah terhadap sepak terjang Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Kegerahan itu salah satunya dipicu oleh ketidakjelasan masa depan Gaza pascaperang dan keengganan Netanyahu merangkul platform dua negara untuk solusi konflik Israel-Palestina, yang sudah menjadi konsensus global.
Meski melakukan penghancuran tiada henti di Gaza, Netanyahu sejauh ini tak berhasil melumpuhkan Hamas.
Dia juga gagal membebaskan sandera dari kelompok-kelompok perlawanan Palestina pimpinan Hamas di Gaza, kecuali lewat perundingan damai yang dimediasi pihak ketiga, khususnya Qatar.
Lain hal, skala pembalasan dan kehancuran akibat serangan balasan Israel terhadap serangan mengejutkan Hamas dan kelompok-kelompok Palestina ke dalam wilayah Israel pada 17 Oktober 2023, telah mengusik komunitas internasional, sampai Afrika Selatan memperkarakan Israel di Mahkamah Internasional dengan tudingan genosida di Gaza.
Situasi ini membuat sekutu-sekutu Israel, khususnya Amerika Serikat, ikut terpojok.
Tapi dalam situasi ini pun Netanyahu tak kunjung memberikan rencana pascaperang di Gaza, padahal ketiadaan rencana pascaperang tak saja membuat AS dan Barat mendapatkan pepesan kosong dari Netanyahu, tapi juga bisa mengakibatkan kevakuman kekuasaan di Gaza yang merugikan Israel sendiri.
Baru pada 27 Februari 2024, atau empat bulan sejak operasi militer di Gaza, Netanyahu mempresentasikan rencana pascaperang itu.
Media-media arus utama Israel, termasuk Jerusalem Post, menganggap proposal pascaperang itu tidak lahir dari perencanaan matang, melainkan sebagai bentuk menenangkan kritik dan kegundahan Amerika Serikat yang ingin mengetahui pasti apa rencana Netanyahu selanjutnya di Gaza.
Sebaliknya, apa yang diinginkan Netanyahu adalah serangan militer maksimum untuk kehancuran total Hamas, padahal banyak kalangan di Israel sendiri yang menilai upaya itu akan memperlemah Israel.
Bukannya membuat pemerintah Amerika menjadi tenang, rencana pascaperang Netanyahu itu malah membuat murka Washington.
Pasalnya, dalam rencana itu Netanyahu tak menyingung solusi dua negara yang sudah menjadi template wajib untuk solusi apa pun menyangkut konflik Israel-Palestina.
Netanyahu juga bandel melanjutkan permukiman warga Yahudi di tanah-tanah Palestina yang diduduki, yang kini bahkan memasukkan pula Jalur Gaza.
Dia bahkan merencanakan kehadiran militer Israel di Jalur Gaza sampai setidaknya 10 tahun ke depan dan juga mengesampingkan Otoritas Palestina.
Padahal, Desember 2023, di sela konferensi iklim di Dubai, Wakil Presiden Amerika Serikat Kamala Harris menegaskan bahwa AS berpegang pada lima prinsip dalam melihat skenario Gaza pascaperang.
Palestina harus didengar
Kelima prinsip yang dipegang AS itu adalah tak boleh ada pemindahan paksa, tak boleh ada pendudukan kembali (Gaza), tak boleh ada pengepungan atau blokade, tak ada boleh ada penyusutan wilayah Gaza dan menghindarkan Gaza digunakan sebagai basis terorisme.
"Kami ingin melihat Gaza dan Tepi Barat yang bersatu di bawah Otoritas Palestina, dan bahwa suara serta aspirasi Palestina menjadi menjadi pusat dari semua upaya," kata Harris, akhir tahun lalu itu.
Netanyahu tak menggubris syarat AS itu, karena dia hanya mau mendengar pandangannya sendiri dan suara kelompok-kelompok kanan ekstrem di Israel yang menjadi mitra koalisinya.
Kemarahan Washington semakin besar setelah terjadi insiden yang membuat dunia semakin muak kepada Israel ketika tentara Israel menembaki warga sipil Palestina yang antre bantuan di Gaza utara pada 1 Maret.
Israel berdalih awalnya hendak membubarkan massa yang berusaha menjarah bantuan, tapi mengaku menembaki warga Palestina karena tentara mereka terancam.
Insiden itu sendiri dikritik di dalam negeri Israel, termasuk surat kabar Haaretz yang menurunkan opini berjudul "Sengaja atau tidak, korban jiwa yang besar di Gaza dapat mengubah arah perang Israel-Hamas" (menjadi tidak menguntungkan Israel).
Biden sendiri kian tidak tahan kepada Netanyahu, sehingga makin terang-terangan menyentil Netanyahu.
Salah satu petunjuk untuk itu adalah kesediaan pemerintahan Biden dalam menerima kunjungan mantan menteri pertahanan Israel, Benny Gantz, yang merupakan sekutu sekaligus pesaing politik paling kuat untuk Netanyahu.
Pada 5 Maret lalu, Gantz bertemu dengan Kamala Harris, Penasihat Keamanan Nasional Jake Sullivan, Menteri Pertahanan Lloyd Austin dan Menteri Luar Negeri Antony Blinken.
Kunjungan Gantz yang masuk kabinet perang Netanyahu tetapi juga lawan politik utama Netanyahu itu, membuat perdana menteri Israel tersebut meradang, apalagi dia tak pernah diundang lagi ke Gedung Putih padahal sudah berkuasa lebih dari satu tahun di Israel.
Seakan hendak membalas sikap Washington, Netanyahu lalu memberikan lampu hijau kepada militer Israel untuk melancarkan operasi militer di Rafah.
Padahal, organisasi-organisasi dunia termasuk WHO, mewanti-wanti bahwa setiap kekerasan di Rafah akan menciptakan bencana kemanusiaan yang hebat.
Di pihak lain pemerintahan Biden kian terbuka mengungkapkan sikap tidak sejalan mereka dengan Netanyahu.
Penghalang perdamaian
Puncaknya, Pemimpin Mayoritas Senat Chuck Schumer yang juga politisi Yahudi paling senior di Amerika Serikat, menyebut Netanyahu penghalang proses perdamaian dan oleh karena itu harus disingkirkan dari kekuasaan, dengan mempercepat pemilu Israel yang sedianya digelar akhir Oktober 2026.
Schumer menyatakan pemerintahan Netanyahu sudah tak diinginkan negaranya, sementara rakyat Israel kini diperangkap oleh visi pemerintahannya yang terjebak masa lalu.
Pandangan Schumer itu sejalan dengan laporan intelijen AS yang menyatakan pemerintahan koalisi kanan jauh dan ultra ortodoks pimpinan Netanyahu berada dalam bahaya besar.
Mereka juga menyimpulkan bahwa ketidakpercayaan terhadap Netanyahu sudah kian luas.
Opini publik di Israel sendiri menunjukkan 70 persen rakyat menginginkan Netanyahu mundur, entah sekarang atau setelah berakhirnya perang melawan Hamas di Gaza.
Biden sendiri mengamini pandangan Schumer, dengan menyebut pandangan tokoh penting Partai Demokrat di Senat itu mencerminkan keprihatinan dan kekhawatiran rakyat Amerika Serikat.
Pemerintah Biden sendiri tengah menghadapi tekanan publik kuat karena dianggap tidak adi terhadap Palestina.
Biden mungkin tak mempedulikan kritik dunia, tapi dia tak bisa menganggap sepi kritik dari dalam negeri berkaitan dengan sikapnya di Gaza. Apalagi dia menghadapi Pemilu melawan Donald Trump.
Biden tahu pasti ketidakpuasan pemilih bakal mempersulit upaya dia dalam mengalahkan Trump pada pemilihan presiden tahun ini.
Di antara kelompok masyarakat AS yang kritis soal Gaza adalah para pemilih muda, penduduk Muslim di negara itu, dan kalangan progresif dalam struktur pemilih Partai Demokrat.
Tak heran Biden belakangan kain kencang mengkritik Netanyahu.
Dua hari lalu pada Senin 17 Maret, Biden akhirnya berbicara dengan Netanyahu. Kontak di antara mereka ini malah kian menguatkan perbedaan pandangan di antara kedua pemimpin.
Biden menolak operasi militer di Gaza, sebaliknya Netanyahu ngotot melakukannya dengan menganggap penentangan terhadap operasi militer di Rafah sama artinya menyerah total kepada Hamas.
Penasihat Keamanan Amerika Serikat Jake Sullivan seketika menampik argumen Netanyahu sebagai tak masuk akal.
Meski tak pernah berani meluluskan resolusi dewan keamanan PBB yang memojokkan Israel, sikap pemerintah AS ini memberi harapan bahwa ekstremisme Netanyahu tak dibiarkan merusak prospek damai di Timur Tengah dan solusi langgeng untuk konflik Palestina-Israel.