Makassar (ANTARA) - Pengamat masalah lingkungan Mustam Arif yang juga Direktur Eksekutif Jurnal Celebes mengatakan semua pihak patut mewaspadai bencana ekologis yang dapat menjadi ancaman rutin dan serentak.
"Kita berada di era bencana rutin, karena kerusakan lingkungan dan dampak perubahan iklim. Sejumlah kabupaten/kota di Sulawesi Selatan telah dipetakan olah BPBD sebagai daerah rawan bencana, terutama banjir dan longsor," kata Mustam di Makassar, Sabtu.
Dia mengatakan, bencana banjir dan longsor di Sulsel terjadi setiap tahun. Namun, tampaknya belum disikapi serius dalam menanggulangi banjir dan longsor yang rutin terjadi setiap tahun.
Karena itu, rentetan banjir dan longsor beberapa bulan ini kemudian memuncak pada banjir dan longsor serentak di Luwu, Sidrap, Pinrang, Wajo, Enrekang, Bone dan Sinjai adalah pukulan telak.
Peristiwa pahit yang harus membuat Pemerintah Provinsi Sulsel dan pemkab untuk segera mengambil langkah serius, karena bila mengacu anomali kepada dampak perubahan iklim, bencana serentak ini bisa jadi akan rutin.
Hal yang mendasar, kata dia, perlu mengubah paradigma penanggulangan bencana yang berimbang antara orientasi tanggap darurat dan pemulihan dengan pencegahan (mitigasi) dan kesiapsiagaan.
Selama ini penanggulangan bencana terlalu berorientasi pada tanggap darurat (response) dan pemulihan (recovery). Dana dan sumber daya terlalu banyak dialokasikan untuk tanggap darurat dan pemulihan setelah bencana.
Sementara pencegahan atau mitigasi menjadi aspek kurang penting. Padahal, di level hulu inilah sesungguhnya dampak bencana bisa diminimalkan atau dicegah.
Sementara eskalasi bencana kian tahun kian meningkat akibat kerusakan lingkungan dan dampak perubahan iklim. Sedangkan penanggulangan bencana terkesan selalu menunggu datangnya bencana.
"Karena itu banjir dan longsor serentak ini mestinya menjadi pembelajaran berharga, agar pemerintah daerah di Sulsel menyikapi serius dengan bertolak pada kesadaran bahwa degradasi lingkungan menjadi penyebab utama bencana rutin ini," katanya.
Dengan demikian, tidak kemudian menyalahkan faktor cuaca atau iklim, karena aspek itu lebih sebagai aspek pemicu, bukan semata-mata penyebab.
Pemerintah daerah di Sulawesi Selatan (pemrov/pemkab) harus mengambil langkah pencegahan dengan melakukan pemulihan lingkungan. Salah satunya perlu merevisi tata ruang sebagai upaya memulihkan daya dukung lingkungan yang berimbang.
Sebagai gambaran, dengan kembali melihat 32 Izin Usaha Pertambangan (IUP) berada di 43.619,30 hektare ekosistem hutan, terdiri atas 6.526,93 ha hutan primer, dan 37.092,37 ha hutan sekunder (data JURnaL Celebes – JPIK Sulsel).
"Butuh kerelaan merombak tata ruang dan menata kembali izin-izin industri, perkebunan/pertanian, real estate, terutama izin industri ekstraktif yang berbasis lahan," ujar Mustam.
Pemerintah daerah harus kembali menata lahan-lahan pertanian yang mengokupasi tutupan hutan dari lembah sampai ke puncak-puncak gunung dan bukit.
Selain itu, pemerintah daerah di Sulsel harus kembali semakin memperkuat kesiasiagaan masyarakat, terutama di wilayah atau titik-titik rawan bencana.
Tidak sekadar pelatihan atau pembentukan kelompok dan forum yang hanya berorientasi pemenuhan target proyek. Butuh keseriusan untuk membangun ketahanan masyarakat (resilience) menghadapi bencana.
Masyarakat di titik-titik rawan bencana sudah harus didukung oleh rencana kedaruratan (contigency plan) yang memadai dan siap diaktifkan pada saat datanya bencana dan tanggap darurat. Rencana kedaruratan yang didukung sistem peringatan dini (early warning system) yang memadai.
Sarana peringatan dini tidak selalu harus tergantung pada teknologi canggih. BMKG hampir setiap saat memberi peringatan. Sesuai asesmen Jurnal Celebes, sebagian masyarakat lokal dan adat di Sulsel memiliki pengetahuan atau kearifan lokal yang menjadi peringatan dini menghadapi bencana. Harusnya potensi ini diberdayakan di lapangan.*