Menurut Lutfiyah, kolaborasi itu bernilai penting karena dalam mewujudkan desa mandiri, terdapat kompleksitas masalah dan potensi di desa tidak dapat diselesaikan secara parsial.
Ia mengatakan, diperlukan pendekatan terpadu melalui kolaborasi lintas sektor, seperti dari pendamping desa dengan beragam pihak lainnya dalam hal ini kementerian atau lembaga yang terkait dengan pembangunan desa.
Upaya menuju perwujudan kolaborasi itu lalu dimulai oleh Kemendes PDTT dengan menggelar diskusi kelompok terpumpun yang melibatkan 12 kementerian dan lembaga, di antaranya di Kupang, Makassar, dan Belitung. Diskusi itu juga diselenggarakan untuk menyinergikan pendampingan pemberdayaan dan pembangunan di desa.
“Kementerian dan lembaga lain juga fokus pada pendampingan tematik di desa, jadi kolaborasi ini sangat penting untuk mempercepat pencapaian tujuan,” kata utfiyah.
Berikutnya, dia menekankan bahwa kolaborasi seperti itu memerlukan tahapan-tahapan yang penting untuk dilakukan, seperti penyelarasan persepsi, penentuan tujuan bersama, dan penguatan komitmen untuk bekerja bersama.
"Kata kunci lainnya adalah akselerasi. Kita harus mempercepat peningkatan jumlah desa mandiri di Indonesia yang saat ini masih sangat sedikit dibandingkan dengan total jumlah desa," katanya.
Dengan kolaborasi yang kuat, Luthfiyah berharap perubahan status desa menuju desa mandiri dapat dipercepat.
Selain itu, kata dia menambahkan, pendekatan holistik diperlukan pula untuk mengatasi kompleksitas masalah dan memaksimalkan potensi desa.
"Saya berharap kolaborasi ini bisa berjalan dengan baik dan berbasis pada semangat kebersamaan," tuturnya.
Program Kolaborasi Pendampingan Desa yang melibatkan berbagai elemen, seperti Penggerak Swadaya Masyarakat (PSM), Program Keluarga Harapan (PKH), dan Penyuluh Pertanian akan resmi diluncurkan oleh Menteri Desa PDTT Abdul Halim Iskandar pada Rabu ini.