Jakarta (ANTARA) - Teknologi kecerdasan buatan (AI) berpotensi menggantikan sejumlah pekerjaan yang bersifat repetitif dan administratif, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran terkait dampaknya terhadap tenaga kerja, kata General Manager & Technology Leader IBM ASEAN Catherine Lian.
Nyatanya kini AI tidak lagi menjadi domain eksklusif perusahaan besar. Semakin banyak pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) di Indonesia mulai memanfaatkan AI, antara lain untuk otomatisasi pemasaran, prediksi kebutuhan stok, dan layanan pelanggan melalui chatbot.AI bantu pertumbuhan bisnis, tapi picu kekhawatiran bagi tenaga kerja

Catherine Lian, General Manager & Technology Leader, IBM ASEAN dalam acara media briefing bertajuk “Perusahaan Indonesia Siap Menerapkan AI untuk Mendorong Pertumbuhan Nasional,” di Jakarta, Rabu (4/6/2025). ANTARA/Nindi Atika
“Tugas-tugas seperti menjawab pertanyaan HR harian, pengajuan cuti atau izin sakit, kini bisa ditangani AI secara cepat dan konsisten. Ini bukan hanya soal efisiensi, tapi juga peningkatan pengalaman pengguna,” kata Catherine saat media briefing IBM Indonesia, di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, ada tiga alasan utama di balik adopsi AI oleh perusahaan, yakni efisiensi biaya, peningkatan produktivitas, dan perbaikan pengalaman pelanggan. Namun transformasi ini dapat memicu restrukturisasi organisasi dan pengurangan tenaga kerja, khususnya di sektor operasional dan manufaktur.
Kendati demikian, Catherine menegaskan bahwa AI seharusnya menjadi pendorong bagi pekerja untuk terus mengembangkan keterampilan. Ia menggambarkan perubahan ini sebagai sebuah piramida, di mana tenaga kerja perlu naik tingkat untuk tetap relevan.
“Tenaga kerja akan terus naik level. Mereka perlu meningkatkan keterampilannya seiring perkembangan teknologi,” kata dia.
Ia menambahkan bahwa dampak AI tidak bersifat seragam bagi seluruh sektor. Adopsi teknologi ini, menurut dia, merupakan proses jangka panjang yang memerlukan kesiapan dari sisi teknologi, struktur bisnis, dan budaya organisasi.
“Transformasi ini adalah maraton, bukan sprint. Setiap perusahaan punya tahapan dan kebutuhan yang berbeda dalam penerapan AI,” kata Catherine.
Karena itu, ia mendorong perusahaan untuk secara cermat mengevaluasi kesiapan internal sebelum mengadopsi AI. Menurutnya, jika tidak ada dampak nyata terhadap produktivitas, efisiensi, atau kualitas SDM, maka langkah adopsi tersebut perlu dipertimbangkan ulang.
“Pada akhirnya, AI bukan sekadar alat otomasi, tapi pendorong pertumbuhan. Namun untuk mencapainya, semua pihak harus siap berubah,” tutup Catherine.