Morowali, Sulawesi Tengah (ANTARA) - Pagi di Bahodopi tak pernah benar-benar sepi lagi. Ayam jantan masih berkokok, tapi suaranya kalah oleh knalpot motor dan deru truk pengangkut. Dari jalan utama, ribuan pekerja datang berbondong-bondong, seperti arus sungai yang terus mengalir.
Ada yang menumpang truk perusahaan, ada yang memacu motor. Di wajah-wajah itu, tersimpan banyak cerita: seorang ayah yang menanggung biaya sekolah anak, pemuda yang menabung demi mimpi, atau pekerja yang sekadar berharap bisa naik jenjang karier.
Tujuan mereka sama: kawasan industri Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP). Sejak berdiri lebih dari satu dekade lalu, IMIP mengubah Morowali dari desa sunyi menjadi pusat industri yang nyaris tak pernah tidur.
Cahaya matahari pagi memantul di helm proyek dan rompi keselamatan. Di kejauhan, lampu-lampu pabrik masih menyala, menyambut pergantian shift. Cerobong raksasa mengepulkan asap putih, garis-garis pipa baja membentang seperti "urat nadi" industri, menara crane berdiri kaku, siap mengangkat beban berat.

Dulu, Bahodopi hanyalah desa lengang. Rumah-rumah sederhana berjajar di tepi sawah, masyarakat hidup dalam ritme harian yang tenang. Kini, ribuan pekerja lokal maupun asing mengisi ruang yang sama, menciptakan ritme baru bagi wilayah ini. Perubahan besar ini tak hanya terlihat dari fisik. Peluang ekonomi pun tumbuh nyata.
“Lebih dari 85 ribu tenaga kerja terserap di berbagai sektor, mulai dari produksi, logistik, hingga layanan pendukung. Mayoritas dari mereka adalah warga Sulawesi,” kata Direktur Komunikasi PT IMIP Emilia Bassar.
Gaji karyawan cukup untuk menggerakkan ekonomi Morowali. Setiap bulan, puluhan miliar rupiah mengalir ke pasar, warung, dan usaha kecil di sekitarnya. Nilai PDRB Morowali melonjak dari Rp158 triliun pada 2023 menjadi Rp174 triliun pada 2024. Sektor industri pengolahan tumbuh dua digit, menjadi kontributor terbesar bagi pertumbuhan Sulawesi Tengah, hampir 8 persen pada pertengahan 2025.
Kehadiran kawasan industri sejak 2013 membuat Bahodopi tak lagi sama. Dari lahan 4.000 hektare, lahir lapangan kerja baru, peluang usaha, dan denyut ekonomi yang terus bergerak.
Dari warung ke pasar dunia
Transformasi Morowali tak hanya soal pabrik dan angka statistik. IMIP juga menaruh perhatian pada peluang ekonomi masyarakat. Abdullah, 53 tahun, pemilik warung Dapur Pak Dul, merasakannya.
“Sudah delapan bulan ini saya buka warung hingga 24 jam. Banyak pelanggan dari karyawan yang masuk bekerja malam,” ujarnya.
Abdullah merantau dari Soppeng, Sulawesi Selatan. Usahanya kini telah mempekerjakan 18 orang. Warungnya menjadi contoh kecil dari gelombang peluang ekonomi yang lahir bersama industri.
Investasi IMIP yang mencapai 34,3 miliar Dolar AS atau Rp553 triliun mendorong pertumbuhan UMKM. Jumlah usaha mikro, kecil, dan menengah meningkat dari 4.697 pada 2021 menjadi 7.643 pada 2025, menyerap tenaga kerja hingga 16.705 orang. Produk lokal tak lagi sekadar mengisi pasar desa. Kini mereka masuk kantin perusahaan, meramaikan rak pasar modern, bahkan ikut dalam rantai ekspor industri logam.
Begitu pula, Sukarno, Ketua Kelompok Tani Berkah Mombula menceritakan panen kol mereka. Ia turut merasakan dampak nyata kehadiran IMIP.
“Sebagian dikonsumsi karyawan, sisanya dijual ke masyarakat,” ujarnya.
Kepala Departemen CSR IMIP Raden Tommy Adi Prayogo mengatakan bahwa hasil pertanian binaan harus menjangkau pasar umum, bukan hanya lingkungan kawasan industri.
Membangun manusia
Di balik dentum mesin dan kepulan asap, ada investasi yang tak terlihat, yakni kepada manusia. Sejak berdirinya IMIP, lebih dari 1.000 mahasiswa mendapat beasiswa. Bantuan meliputi biaya kuliah, pelatihan keterampilan, hingga magang industri.
Penerima berasal dari Universitas Tadulako, Universitas Hasanuddin, hingga Politeknik Industri Logam Morowali. Bahkan anak-anak sekolah dasar diperkenalkan pada literasi industri dan teknologi — mungkin kelak mereka yang akan mewarisi mesin-mesin ini.

Fasilitas publik pun mulai berubah wajah. Jalan yang dulu berdebu kini mulus beraspal hitam, air bersih mulai mengalir lebih dekat ke rumah-rumah warga. Di sisi lain, layanan kesehatan ikut berbenah. IMIP membangun klinik lengkap dengan laboratorium, USG, hingga ruang rehabilitasi medik yang tidak hanya melayani karyawan tapi terbuka bagi warga sekitar melalui program kesehatan gratis dan layanan keliling. Begitu pula sekolah memiliki laboratorium dan ruang kelas baru.
Sementara bagi Fadrun, penyandang disabilitas, perubahan ini terasa personal. Ia menerima kaki palsu dari program CSR IMIP, mengembalikan kebebasan untuk berjalan tanpa bantuan.
Pembangunan infrastruktur bukan hanya sekadar deretan proyek fisik. Lebih dari itu, ia menjadi jembatan yang menyatukan desa dengan pusat-pusat industri, membuka akses menuju pendidikan dan layanan kesehatan, serta menghadirkan peluang yang sebelumnya terasa jauh dari jangkauan.
Menjaga alam dan negara
Pertumbuhan ekonomi seharusnya tidak dilepaskan dari tanggung jawab menjaga keberlanjutan. Udara, air, dan tanah perlu tetap bersih dari pencemaran. Walhi Sulawesi Tengah mengingatkan bahwa pengawasan yang ketat mutlak diperlukan agar aktivitas industri tidak menimbulkan kerusakan lingkungan.
IMIP merespons kritik dengan menjalankan sejumlah program lingkungan. Upaya yang dilakukan meliputi penghijauan, pemantauan kualitas udara dan air, hingga pengelolaan limbah tailing yang mereka klaim ramah lingkungan.
Di balik itu, kontribusi industri ini terhadap perekonomian nasional juga cukup besar. Pada 2024, produksi nikel IMIP mencapai 200.000 ton feronikel yang menjadi bahan penting bagi stainless steel dan baterai kendaraan listrik. Dari sisi keuangan negara, pajak dan royalti yang dibayarkan turut memperkuat kas pemerintah.
“Kita ingin industri dalam negeri betul-betul berkembang sebagaimana yang diharapkan Presiden, semakin meningkatkan sumbangan pajak ke negara,” kata Wakil Menteri Perindustrian Faisol Riza dalam kunjungannya ke Morowali.
Denyut kehidupan di Morowali
Senja di Morowali memantulkan warna oranye di langit. Dari cerobong pabrik, uap putih masih terus keluar. Jalan-jalan kawasan industri mulai sepi, tapi kota ini tidak pernah benar-benar berhenti. Ribuan pekerja pulang bergantian, warung makan menyalakan lampu, suara kendaraan masih terdengar sampai malam.
Maret lalu, saya berkesempatan ikut rombongan pemerintah pusat dan masuk ke kawasan industri IMIP untuk pertama kalinya. Dari jendela mobil, terlihat gerbang besar, bus karyawan melintas, dan bangunan pabrik berdiri kokoh di bawah langit abu.
Saat mobil berhenti, saya turun dan menjejak aspal yang masih hangat. Puluhan truk listrik ikut melintas, tanpa asap, hanya meninggalkan suara dengung halus. Sebuah langkah kecil yang menandai arah baru: industri yang mencoba selaras dengan lingkungan.
Di sekitar, pekerja lokal dan asing berjalan berdampingan. Ada yang bercanda, ada yang diam menunggu bus karyawan. Wajah mereka tampak lelah, tapi matanya tetap penuh semangat.

Saya berhenti sejenak, merekam semuanya: langkah para pekerja, suara mesin, denting logam, panas dari cerobong, dan kendaraan ramah lingkungan yang lewat bergantian. Tentang IMIP yang biasanya hanya saya tulis dalam berita, kini hidup di depan mata.
Menatap cerobong-cerobong yang menjulang terasa seperti penjaga yang tidak pernah tidur. Saat berbalik, saya menyadari kawasan ini bukan sekadar pabrik atau angka produksi di laporan.
IMIP adalah lelah yang diselipi harapan, canda singkat di sela shift panjang, dan mimpi yang terus tumbuh di tengah deru mesin.
Di tanah Morowali, Sulawesi Tengah, setiap langkah dan setiap orang memberi denyut hidupnya sendiri.
