Regulasi PPMHA dan Kontribusi PKBH Untad: Perspektif Hukum Inklusi

id Akademisi Untad,MHR. Tampubolon,Masyarakat Hukum Adat Oleh MHR. Tampubolon*)

Regulasi PPMHA dan Kontribusi PKBH Untad: Perspektif Hukum Inklusi

Akademisi Universitas Tadulako Palu MHR Tampubolon (ANTARA/HO-Dokumentasi Pribadi)

Palu (ANTARA) - “Pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat bukanlah sekadar formalitas, melainkan langkah krusial untuk menjadikan mereka subjek berdaulat, bukan lagi objek regulasi yang tersisihkan”

“Institusi pendidikan membangun kepercayaan publik bukan dengan kata-kata, tetapi dengan aksi nyata yang berpihak pada keadilan, khususnya bagi mereka yang terpinggirkan”

Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) merupakan entitas sosio-kultural yang kaya dengan keanekaragaman Masyarakat Hukum Adat (MHA). Setidaknya terdapat 34 komunitas MHA yang telah teridentifikasi, dengan 79 wilayah adat seluas 896.892,33 hektar dan populasi lebih dari 109.871 jiwa dari berbagai komunitas adat seperti Tau Taa Wana (Touna), To Wana Posangke (Morut), To Kulawi Moma Dan Uma (Ngata Moa, Marena, Toro, Masewo, Banasu, Pelempea dan Lindu Kab. Sigi), merupakan arena nyata bagi penerapan hukum inklusif dan masing-masing dengan sistem nilai, norma, dan pranata sosial yang unik. Sistem hukum adat ini telah berfungsi secara mandiri sebagai mekanisme pengaturan dan penyelesaian konflik internal selama berabad-abad. Namun, penetrasi sistem hukum positif nasional yang seringkali bersifat mono-legalistik telah menciptakan ketegangan dan pluralisme hukum yang tidak terkelola. Hukum adat kerap diposisikan sebagai subordinat, bahkan diabaikan, dalam sistem hukum nasional yang berorientasi pada legalitas formal.

Ketegangan hukum ini diperparah oleh pendekatan pembangunan yang tidak sensitif terhadap hak-hak MHA, terutama dalam penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam. Konflik agraria yang melibatkan MHA dengan korporasi perkebunan, pertambangan, dan kehutanan telah menjadi cerminan nyata dari ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang sistemik. Mandat konstitusional Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 tentang pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan MHA beserta hak-hak tradisionalnya belum diimplementasikan secara maksimal, terhambat oleh penafsiran sempit terhadap frasa “sepanjang masih hidup” dan disharmoni regulasi sektoral.

Dalam konteks inilah, Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (Ranperda PPMHA) Provinsi Sulawesi Tengah hadir sebagai sebuah kebutuhan mendesak. Raperda ini tidak hanya dimaksudkan untuk menjembatani kesenjangan normatif dan yuridis tetapi juga untuk mewujudkan pembangunan yang berkeadilan dan inklusif. Pusat Konsultasi Dan Bantuan Hukum Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Tadulako (PKBH LPPM Untad) memainkan peran sentral dalam proses ini, bertindak sebagai public trust dan public justice vehicle yang mengadvokasi pendekatan Hukum Inklusi dalam setiap tahapan penyusunan kebijakan.



COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.