Pakar: Pencegahan korupsi dimulai dari pendidikan karakter

id korupsi,pendidikan karakter,pencegahan korupsi,psikologi

Pakar: Pencegahan korupsi dimulai dari pendidikan karakter

Dosen Psikologi Universitas 'Aisyiyah (UNISA) Yogyakarta Innes Yonanda, S.Psi., M.Psi., Psikolog saat memberikan pandangan tentang pencegahan korupsi melalui pendekatan psikologi dan pendidikan karakter di Kampus UNISA, Sleman, DIY, Rabu (15/10/2025). ANTARA/Indra Kurniawan

Yogyakarta (ANTARA) - Dosen Psikologi Universitas 'Aisyiyah Yogyakarta (UNISA) Innes Yonanda menilai pencegahan korupsi tidak cukup dilakukan dengan penegakan hukum semata, tetapi harus dimulai dari pendidikan karakter dan pembentukan integritas sejak usia dini melalui pendekatan psikologis.

"Korupsi itu sudah mulai berakar ke dalam cara berfikir sosial dan budaya. Tidak hanya dalam lingkup hukum saja, tapi lebih dalam dari sisi psikologi," ujar Iness di Kampus UNISA, Sleman, DIY, Rabu.
Menurut Innes, dari sisi individu, pelaku korupsi sering menggunakan mekanisme pertahanan diri terutama berupa rasionalisasi untuk mengurangi rasa bersalah atas tindakannya.
"Mereka cenderung membenarkan tindakannya dengan alasan seperti 'semua orang di kantor juga melakukan ini' atau 'saya hanya mengambil sedikit'. Dalam sisi psikologis, korupsi ini bukan hanya terkait uang, tetapi juga berbagai bentuk penyimpangan lain," ujarnya.
Sejumlah penelitian menyebut fenomena sosial ini sebagai banalitas korupsi, yaitu kondisi ketika masyarakat mulai menganggap korupsi sebagai hal yang wajar.
"Ini merupakan contoh kecil dari hal yang sangat berbahaya karena bisa menormalisasi perilaku koruptif," kata dia.
Innes menilai budaya kolektivistik di Indonesia yang lebih menekankan kepentingan kelompok daripada individu turut berperan dalam perilaku korupsi.
Berdasarkan berbagai kajian, menurut dia, tindakan korupsi tidak selalu didorong oleh keinginan untuk kaya, melainkan karena adanya solidaritas dalam organisasi.
Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya pendidikan karakter sebagai investasi jangka panjang untuk menanamkan nilai moral dan integritas sejak dini.
"Yang pertama berkaitan dengan pengetahuan, mengajarkan anak mana yang benar dan salah. Kedua, aspek perasaan menanamkan rasa bersalah dan tidak nyaman ketika melakukan kecurangan. Ketiga, aspek tindakan membiasakan anak memilih jujur walaupun sulit," ujar dia.
Dia mengatakan pendidikan karakter tidak cukup berhenti pada teori, tetapi harus menjadi kebiasaan sehari-hari yang dicontohkan oleh orang tua, guru, dan dosen.
"Kalau sejak kecil sudah tertanam, maka ketika dewasa individu akan punya refleks moral, mampu memilih jujur meskipun berada di lingkungan yang koruptif," katanya.
Dari perspektif teori behavioristik, Innes menyebut perilaku akan menetap jika mendapat penguatan dari lingkungan.
Namun, ia menilai saat ini yang terjadi justru pelaku korupsi kerap mendapat penguatan negatif berupa hukuman ringan, kekayaan, atau bahkan jabatan.
"Sebaliknya, perilaku jujur sering tidak diberi penguatan, tidak dihargai, tidak ada reward. Lama-lama perilaku jujur itu akan hilang," ujar Innes.
Ia pun mengusulkan inovasi psikologi dalam pendidikan antikorupsi, yakni memberikan penguatan positif berupa penghargaan kepada mahasiswa dan karyawan yang jujur, disiplin, dan transparan.
Selain itu, menurut dia, perlu pula menghadirkan tokoh-tokoh yang menjunjung kejujuran sebagai role model dalam seminar atau lokakarya.
"Semakin banyak penguatan ke hal positif, maka perilaku jujur akan semakin menetap dan berulang. Ini yang harus kita terapkan di instansi pendidikan dan organisasi," kata Innes.

Pewarta :
Editor : Andriy Karantiti
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.