Jakarta (ANTARA) - Ikatan Guru Indonesia (IGI) mengusulkan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk menghapus jalur prestasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2020.
"Cukup dengan menggunakan jalur zonasi dan jalur prestasi," ujar Ketua IGI, Muhammad Ramli Rahim, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Minggu.
IGI beralasan dari hasil survei yang dilakukannya, sebanyak 81,94 persen dari 410 responden guru di Indonesia menyatakan bahwa nilai rapor bisa dimanipulasi.
Dengan rincian, sebanyak 148 responden atau 36,09 persen menyatakan "sangat bisa" dimanipulasi, sementara 188 responden atau 45,85 persen menyatakan "bisa" dimanipulasi. Sementara hanya 18,06 persen responden yang tidak yakin nilai rapor bisa dimanipulasi terdiri atas 18 responden atau 4,4 persen yang menyatakan "sulit", 41 responden atau 10 persen menyatakan sangat sulit dan 15 responden atau 3,66 persen menyatakan "mustahil atau tidak mungkin"
.
Saat diberikan pertanyaan selanjutnya, terkait alasan mereka yang tidak yakin nilai rapor bisa dimanipulasi, responden beralasan karena selama ini mereka sudah menggunakan e-rapor sehingga sangat sulit atau tidak mungkin lagi dimanipulasi.
Sementara responden yang yakin bisa dimanipulasi, karena mereka belum menggunakan e-rapor atau mereka tahu bahwa masih banyak sekolah yang belum menggunakan e-rapor.
"Dari situ, kami kemudian menelusuri dan menemukan data bahwa siswa SD kelas 6 dan siswa SMP kelas 9 yang saat ini akan menghadapi PPDB masih sangat banyak yang belum menggunakan e-rapor," katanya.
Data keseluruhan yang diperoleh hanya 30 hingga 40 persen sekolah di Indonesia yang sudah menggunakan e-rapor.
"Oleh karena itu, penerimaan siswa baru lewat jalur prestasi tidak layak untuk digunakan," kata dia.
Jalur prestasi dengan menggunakan nilai rapor boleh digunakan jika e-rapor sudah diterapkan lebih dari 80 persen atau paling tidak 65 persen yang biasanya menjadi standar minimal digunakan menjadi kebijakan.
Penggunaan jalur prestasi juga sangat berpotensi membuat orang tua mengalami stres dalam kondisi pandemi COVID-19.
"Orang tua akan jauh lebih stres jika anaknya tidak mendapatkan sekolah pada jenjang berikutnya dibanding berburu sekolah unggulan," kata dia.
Namun dengan sistem domisili dan perpindahan orang tua 100 persen, maka semua urusan bisa diatur oleh pemerintah dalam menentukan posisi sekolah. Orang tua cukup mendapatkan pemberitahuan dari dinas pendidikan setempat bahwa anak mereka dipastikan akan mendapatkan sekolah dan akan bersekolah di sekolah yang sudah ditentukan oleh dinas pendidikan masing-masing.
"Hal ini tentu saja jauh lebih mudah dengan menggunakan domisili masing-masing orang tua siswa dan langsung menentukan sekolah yang dituju," terang Ramli. ***3***