Hasanuddin Jual Mobil Demi Teknologi Supra Intensif

id hasanuddin, atjo

Hasanuddin Jual Mobil Demi Teknologi Supra Intensif

Hasanuddin Atjo dan 'automatic feeder' di tambak udang miliknya di Kabupaten Barru, Sulsel. (ANTARASulteng/istimewa)

"Karena modal minim waktu itu, saya terpaksa menjual mobil escudo saya dengan harga Rp180 juta dan mulai merekayasa teknologi tersebut," ujar alumnus S1 Fakultas Perikanan IPB Bogor 1983 ini.
'Inovasi atau mati,' ucapnya singkat usai panen udang vanamei yang menerapkan sistem budidaya supra intensif di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, beberapa waktu lalu.

Teknologi budidaya supra intensif ini adalah hasil inovasi Hasanuddin Atjo, pemilik CV. Dewi Windu yang bergerak di bidang perbenihan dan pertambakan udang di Kelurahan Kuppa, Kabupaten Baru, sekitar 140 km utara Kota Makassar.

Inovasi ini berawal dari disertasinya untuk meraih gelar doktor (S3) di Fakultas Perikanan Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar pada 2004.

"Dalam disertasi itu saya membuat hipotesis bahwa penyakit (udang) tidak akan muncul kalau limbah ditangani dengan baik," ucap lelaki kelahiran Poso, Sulawesi Tengah, 53 tahun lalu itu.

Ia kemudian mengembangkan teknologi central drain sebagai cara penanganan limbah dalam tambak udang yang kemudian terbukti sangat efektif.

Central drain
adalah sebuah teknologi pembuangan limbah yang diletakkan di tengah-tengah dan di dasar tambak. Alat ini berfungsi membuang limbah berupa kotoran udang, sisa makanan dan limbah lainnya setiap enam jam secara mekanis.

Namun sistem budidaya supra intensif ini tak hanya soal central drain saja, tetapi menyangkut lima subsistem budidaya yakni penggunaan benih bermutu, pengendalian kesehatan dan lingkungan, standarisasi sarana dan prasarana yang digunakan, penggunaan teknologi serta manajemen usaha yang baik.

"Kelima subsistem ini diimplementasikan secara simultan, konsisten dan intensif," ujar Hasanuddin yang juga Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Tengah tersebut.

Untuk menguji coba teknologi supra intensif ini, Hasanuddin yang menekuni usaha tambak udang sejak 1994 itu menjadikan tambak udang miliknya di Desa Kuppa, Kabupaten Baru sebagai lokasi riset.

"Karena modal minim waktu itu, saya terpaksa menjual mobil escudo saya dengan harga Rp180 juta dan mulai merekayasa teknologi tersebut," ujar alumnus S1 Fakultas Perikanan IPB Bogor 1983 ini.

Langkah pertama yang ia lakukan adalah membenahi konstruksi tambak seluas 1000 meter persegi dengan melapisinya dengan beton sekeliling dan juga dasar tambak serta memasang central drain.

Operasional risetpun mulai berjalan dengan menebar benih unggul dan memberikan pakan secara otomatis menggunakan peralatan automatic feeder teratur waktu dan volume pemberian pakan serta mengatur ketinggian air dalam kolam sampai 1,7 meter.

Untuk menjaga kecukupan oksigen untuk udang dan pengurai limbah, digunakan kincir, root blower dan turbo jet. Panennya pun dilakukan secara parsial, tidak sekaligus.

Selama beberapa tahun, ia terus mencari konfigurasi paling ideal dari kelima sistem budidaya tersebut untuk menghasilkan produksi yang paling optimum. Hasilnya baru mulai terlihat pada 2011 ketika memanen udang (sekali panen) saat itu sebanyak 5,4 ton dengan nilai Rp217 juta.

Hasil ini belum memuaskan baginya. Karena itu, hasil penjualan udang itupun kemudian dicurahkan kembali ke riset berikutnya. Ketingian air dinaikan dari sebelumnya 1,7 meter menjadi 2,4 meter dengan menambah tinggi pematang tambak yang terbuat dari beton. Kincirpun diperbanyak, dan panen dilakukan secara parsial.

"Hasilnya, pada panen Pebruari 2013, dari kolam yang sama seluas 1000 m2, dihasilkan 15,3 ton," ujar," ujar Ketua Klub Pengusaha Udang (Shirmp Club) se-Sulawesi itu bangga.

"Dengan beberapa kali panen yang sudah dilakukan, semua biaya yang diinvestasikan untuk melakukan riset selama ini sudah kembali, bahkan sudah mengantongi untung yang lumayan," ujarnya.

Pada panen-panen berikutnya, ayah tiga putra dan putri ini mengaku bisa meraup keuntungan sekitar Rp380 juta setiap siklus panen dari areal tambak 1000 m2 itu. Nah, dalam setahun, panen akan berjalan dua siklus.

"Kini, bank-bank mulai berlomba menawarkan kredit untuk membiayai usaha itu, tapi saya bilang, nanti dulu," ujar Hasanuddin dengan senyum.

Luar Biasa

Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) pun tertarik dengan teknologi budaya itu sehingga mengambil inisiatif  untuk secara resmi meluncurkannya dengan nama teknologi Supra Intensif Indonesia untuk budidaya udang vanamei pada Sabtu (19/10) di Barru.

"Ini luar biasa. Kalau teknologi ini dimplementasikan secara terkendali dan terintegrasi pada areal 1000 hektare saja, maka Indonesia dapat meningkatkan produksi udang nasional sebesar 300.000 ton/tahun," ujar Ketua MAI Prof Dr Rokhmin Dahuri.

Wakil Gubernur Sulawesi Tengah H. Soedarto yang menghadiri peluncuran itu bahkan langsung memerintahkan Kadis Kelautan dan Perikanan Sulteng untuk segera mereplikasi tenologi ini di daerahnya.

"Kami akan mendukung penyediaan anggarannya bila Dinas KP mengajukan usul anggaran replikasi teknologi ini dalam APBD," kata Zainal Daud, AnggotaKomisi II DPRD Sulteng yang juga hadir padapeluncuran tersebut.

Sementara Kepala Dinas KP Sulawesi Selatan H. Iskandar mengaku bangga atas prestasi Hasanuddin Atjo sebagai technopreneur putra daerah Sulsel, dan ia optimistis dengan penerapan sistem budidaya ini, Sulsel akan mampu mencapai target poduksi udang 33.000 ton pada 2014.

"Indonesia bisa menjadi penghasil udang terbesar di dunia kalau teknologi ini diterapkan. Kementerian kami seyogianya yakin dengan teknologi ini karena sudah teruji efektifitasnya," kata Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3) Sudirman Sa`ad.

Ketika ditanya apakah ia tidak keberatan bila teknologi hasil gagasannya ini direplikasi oleh pengusaha lain, Hasanuddin mengaku menyerahkannya kepada Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI).

"Implementasi teknologi ini toh tidak semudah yang dilihat. Kalkulasinya ilmiahnya cukup sulit sehingga pihak-pihak yang akan mengimplementasikannya harus mempelajarinya lebih mendalam agar sukses," ujarnya.

Karena itu, kata Hasanuddin, mulai 2014, MAI merencanakan menggelar seminar dan pelatihan-pelatihan mengenai teknologi supra intensif ini agar repikasinya di Indonesia bisa lebih cepat meluas.

"Jangan sampai kita kecolongan. Pengusaha nasional sudah dengan susah payah mengembangkan teknologi ini, namun pengusaha asing yang mereplikasikannya secara besar-besaran," ujar Dirken Kp3K Sudirman Saad.

Hasanuddin sendiri mengaku bahwa beberapa pengusaha dari Thailand sudah berencana untuk melakukan studi banding ke lokasi tambaknya di Kabupaten Barru.

Terkait rencana MAI mengusulkan teknologi supra intensif Indonesia ini masuk Mseum Rekor Indonesia (MURI), Hasanuddin Atjo mengaku gembira.

"Saya kira itu adalah salah satu bentuk apresiasi dan penghargaan kepada para technopreneur anak bangsa yang telah berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi negara dan bangsa ini. Dengan begitu, semangat berinovasi akan terus tumbuh, karena tanpa inovasi, kita bisa mati," ujarnya. (R007)