'Inovasi atau mati,' ucapnya singkat usai panen udang vanamei
yang menerapkan sistem budidaya supra intensif di Kabupaten Barru,
Sulawesi Selatan, beberapa waktu lalu.
Teknologi budidaya supra intensif ini adalah hasil inovasi
Hasanuddin Atjo, pemilik CV. Dewi Windu yang bergerak di bidang
perbenihan dan pertambakan udang di Kelurahan Kuppa, Kabupaten Baru,
sekitar 140 km utara Kota Makassar.
Inovasi ini berawal dari disertasinya untuk meraih gelar doktor (S3)
di Fakultas Perikanan Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar pada
2004.
"Dalam disertasi itu saya membuat hipotesis bahwa penyakit (udang)
tidak akan muncul kalau limbah ditangani dengan baik," ucap lelaki
kelahiran Poso, Sulawesi Tengah, 53 tahun lalu itu.
Ia kemudian mengembangkan teknologi central drain sebagai cara penanganan limbah dalam tambak udang yang kemudian terbukti sangat efektif.
Central drain adalah sebuah teknologi pembuangan limbah yang
diletakkan di tengah-tengah dan di dasar tambak. Alat ini berfungsi
membuang limbah berupa kotoran udang, sisa makanan dan limbah lainnya
setiap enam jam secara mekanis.
Namun sistem budidaya supra intensif ini tak hanya soal central drain
saja, tetapi menyangkut lima subsistem budidaya yakni penggunaan benih
bermutu, pengendalian kesehatan dan lingkungan, standarisasi sarana dan
prasarana yang digunakan, penggunaan teknologi serta manajemen usaha
yang baik.
"Kelima subsistem ini diimplementasikan secara simultan, konsisten
dan intensif," ujar Hasanuddin yang juga Kepala Dinas Kelautan dan
Perikanan Sulawesi Tengah tersebut.
Untuk menguji coba teknologi supra intensif ini, Hasanuddin yang
menekuni usaha tambak udang sejak 1994 itu menjadikan tambak udang
miliknya di Desa Kuppa, Kabupaten Baru sebagai lokasi riset.
"Karena modal minim waktu itu, saya terpaksa menjual mobil escudo
saya dengan harga Rp180 juta dan mulai merekayasa teknologi tersebut,"
ujar alumnus S1 Fakultas Perikanan IPB Bogor 1983 ini.
Langkah pertama yang ia lakukan adalah membenahi konstruksi tambak
seluas 1000 meter persegi dengan melapisinya dengan beton sekeliling dan
juga dasar tambak serta memasang central drain.
Operasional risetpun mulai berjalan dengan menebar benih unggul dan memberikan pakan secara otomatis menggunakan peralatan automatic feeder teratur waktu dan volume pemberian pakan serta mengatur ketinggian air dalam kolam sampai 1,7 meter.
Untuk menjaga kecukupan oksigen untuk udang dan pengurai limbah, digunakan kincir, root blower dan turbo jet. Panennya pun dilakukan secara parsial, tidak sekaligus.
Selama beberapa tahun, ia terus mencari konfigurasi paling ideal
dari kelima sistem budidaya tersebut untuk menghasilkan produksi yang
paling optimum. Hasilnya baru mulai terlihat pada 2011 ketika memanen
udang (sekali panen) saat itu sebanyak 5,4 ton dengan nilai Rp217 juta.
Hasil ini belum memuaskan baginya. Karena itu, hasil penjualan udang
itupun kemudian dicurahkan kembali ke riset berikutnya. Ketingian air
dinaikan dari sebelumnya 1,7 meter menjadi 2,4 meter dengan menambah
tinggi pematang tambak yang terbuat dari beton. Kincirpun diperbanyak,
dan panen dilakukan secara parsial.
"Hasilnya, pada panen Pebruari 2013, dari kolam yang sama seluas
1000 m2, dihasilkan 15,3 ton," ujar," ujar Ketua Klub Pengusaha Udang
(Shirmp Club) se-Sulawesi itu bangga.
"Dengan beberapa kali panen yang sudah dilakukan, semua biaya yang
diinvestasikan untuk melakukan riset selama ini sudah kembali, bahkan
sudah mengantongi untung yang lumayan," ujarnya.
Pada panen-panen berikutnya, ayah tiga putra dan putri ini mengaku
bisa meraup keuntungan sekitar Rp380 juta setiap siklus panen dari areal
tambak 1000 m2 itu. Nah, dalam setahun, panen akan berjalan dua siklus.
"Kini, bank-bank mulai berlomba menawarkan kredit untuk membiayai
usaha itu, tapi saya bilang, nanti dulu," ujar Hasanuddin dengan senyum.
Luar Biasa
Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) pun tertarik dengan teknologi
budaya itu sehingga mengambil inisiatif untuk secara resmi
meluncurkannya dengan nama teknologi Supra Intensif Indonesia untuk budidaya udang vanamei pada Sabtu (19/10) di Barru.
"Ini luar biasa. Kalau teknologi ini dimplementasikan secara
terkendali dan terintegrasi pada areal 1000 hektare saja, maka Indonesia
dapat meningkatkan produksi udang nasional sebesar 300.000 ton/tahun,"
ujar Ketua MAI Prof Dr Rokhmin Dahuri.
Wakil Gubernur Sulawesi Tengah H. Soedarto yang menghadiri
peluncuran itu bahkan langsung memerintahkan Kadis Kelautan dan
Perikanan Sulteng untuk segera mereplikasi tenologi ini di daerahnya.
"Kami
akan mendukung penyediaan anggarannya bila Dinas KP mengajukan usul
anggaran replikasi teknologi ini dalam APBD," kata Zainal Daud,
AnggotaKomisi II DPRD Sulteng yang juga hadir padapeluncuran tersebut.
Sementara Kepala Dinas KP Sulawesi Selatan H. Iskandar mengaku bangga atas prestasi Hasanuddin Atjo sebagai technopreneur
putra daerah Sulsel, dan ia optimistis dengan penerapan sistem budidaya
ini, Sulsel akan mampu mencapai target poduksi udang 33.000 ton pada
2014.
"Indonesia bisa menjadi penghasil udang terbesar di dunia kalau
teknologi ini diterapkan. Kementerian kami seyogianya yakin dengan
teknologi ini karena sudah teruji efektifitasnya," kata Dirjen Kelautan,
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3) Sudirman Sa`ad.
Ketika ditanya apakah ia tidak keberatan bila teknologi hasil
gagasannya ini direplikasi oleh pengusaha lain, Hasanuddin mengaku
menyerahkannya kepada Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI).
"Implementasi teknologi ini toh tidak semudah yang dilihat.
Kalkulasinya ilmiahnya cukup sulit sehingga pihak-pihak yang akan
mengimplementasikannya harus mempelajarinya lebih mendalam agar sukses,"
ujarnya.
Karena itu, kata Hasanuddin, mulai 2014, MAI merencanakan menggelar
seminar dan pelatihan-pelatihan mengenai teknologi supra intensif ini
agar repikasinya di Indonesia bisa lebih cepat meluas.
"Jangan sampai kita kecolongan. Pengusaha nasional sudah dengan
susah payah mengembangkan teknologi ini, namun pengusaha asing yang
mereplikasikannya secara besar-besaran," ujar Dirken Kp3K Sudirman Saad.
Hasanuddin sendiri mengaku bahwa beberapa pengusaha dari Thailand
sudah berencana untuk melakukan studi banding ke lokasi tambaknya di
Kabupaten Barru.
Terkait rencana MAI mengusulkan teknologi supra intensif Indonesia ini
masuk Mseum Rekor Indonesia (MURI), Hasanuddin Atjo mengaku gembira.
"Saya kira itu adalah salah satu bentuk apresiasi dan penghargaan kepada para technopreneur
anak bangsa yang telah berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi negara dan
bangsa ini. Dengan begitu, semangat berinovasi akan terus tumbuh, karena
tanpa inovasi, kita bisa mati," ujarnya. (R007)
Hasanuddin Jual Mobil Demi Teknologi Supra Intensif
"Karena modal minim waktu itu, saya terpaksa menjual mobil escudo saya dengan harga Rp180 juta dan mulai merekayasa teknologi tersebut," ujar alumnus S1 Fakultas Perikanan IPB Bogor 1983 ini.