Palu (ANTARA) - Sebagian korban bencana alam gempa bumi dan likuefaksi Balaroa, Kota Palu, yang selama ini bertahan di tenda pengungsian dan hunian sementara, akhirnya bisa menempati sebagian hunian tetap yang disiapkan pemerintah di Kelurahan Balaroa.
"Saya sudah delapan malam di sini (huntap Balaroa). Saya yang pertama tinggal di sini," kata seorang penyintas Dewi Listiawati, di Palu, Rabu.
Dewi dan keluarganya adalah salah satu korban bencana gempa dan likuefaksi Balaroa, Kota Palu, pada 28 September 2018. Dewi bersama seorang anak perempuannya berusia empat tahun menempati Blok F1 No. 1, Huntap Balaroa.
"Saya dapat rumah ini melalui cabut lot. Saya juga tidak menyangka kalau dapat rumah di lokasi ini," katanya.
Di blok F1, baru Dewi dan dua tetangganya yang menempati rumah hunian tipe 36 berkonstruksi tahan gempa itu. Ia kini merasa jauh lebih nyaman dibanding saat dia bersama anaknya masih tinggal di tenda darurat.
Sebelumnya Dewi tinggal bersama anak balita perempuannya di tenda darurat, hanya sekitar 70 meter dari rumah yang ia tempati sekarang.
Walaupun belum ada penyerahan resmi dari pemerintah kepada para penyintas, namun Dewi merasa sudah nyaman karena tidak lagi tidur di atas tanah, di bawah tenda.
"Kalau malam di sini ramai karena masih banyak pengungsi yang menempati tenda di sekitar sini, mereka datang berfoto melihat suasana Kota Palu dari ketinggian," katanya.
Di rumah yang terbuat dari konstruksi Risha (rumah instan sederhana sehat) itu, Dewi dan dua tetangganya sudah menikmati listrik, jalan lingkungan yang lebar, dan didukung dengan penerangan jalan.
"Air belum masuk karena baknya sementara dibangun," katanya.
Huntap Balaroa ditetapkan sebagai lokasi pembangunan hunian korban bencana oleh pemerintah Kota Palu karena sebagian masyarakat tetap bertahan tidak mau meninggalkan daerah itu.
Padahal di tempat lain pemerintah Kota Palu telah menyediakan lahan dan membangunkan rumah untuk korban bencana gempa, likuefaksi, dan tsunami.
Pemerintah Kota Palu akhirnya mengambil kebijakan menjadikan lokasi tersebut sebagai lokasi hunian tetap sebanyak 127 unit.
"Sekarang tahap finishing, listriknya juga sebagian baru tahap pemasangan," kata Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) Dinas Perumahan dan Permukiman Kota Palu, Yana.
Dia mengatakan pemerintah belum menyerahkan secara resmi hunian tersebut kepada penyintas, namun sebagian penyintas sudah ada yang bersedia menempati rumah tersebut.
"Tapi dengan catatan jangan mengeluh karena fasilitasnya masih terbatas, seperti fasilitas air bersih masih dalam pembangunan, sebagian listrik juga belum terpasang," katanya.
Dia memperkirakan seluruh bangunan huntap tersebut akan rampung akhir Juli 2020.
Pemerintah melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) membangun rumah tersebut dengan anggaran Rp50 juta per unit dengan spesifikasi 36 berkonstruksi Risha, dinding batako tanpa plester, dibangun di atas lahan 15x10 meter.
"Kami tidak membangun dapur. Nanti itu dibangun sendiri oleh pemiliknya karena ada lahan," katanya.
Kawasan tersebut dibangun secara gotong rotong dengan dua sumber pembiayaan yakni APBD Kota Palu dan APBN.
APBD Palu antara lain membiayai pemetaan lahan, pembentukan badan jalan, talut, drainase dan sanitasi. Sementara APBN melalui dana DAK membangun fisik rumahnya.