Ini Dia Tambak Udang Berproduktivitas Tertinggi Di Dunia

id supra intensif

Ini Dia Tambak Udang Berproduktivitas Tertinggi Di Dunia

Hasanuddin Atjo memperlihatkan udang hasil panen di tambak supra intensif di Barru, Minggu (6/12) sebelum dimuat ke sebuah truk yang akan membawa komoditi strategis itu ke Surabaya. (AntaraSulteng/Rolex Malaha)

Hasanuddin Atjo: produktivitas naik sekitar 30 persen dibanding saat teknologi tersebut diluncurkan pada Oktober 2013 yang tercatat 153 ton per hektare.
Dua petak tambak berkonstruksi beton tampak penuh dengan air. Satu tambak berukuran 30x30 meter, sementara yang lainnya 30x40 meter. Luas bersih ruang yang dihuni udang vaname di dua kolam modern itu totalnya 2.000 meter persegi.

Di atas permukaan air kedua tambak itu terus berputar sejumlah kincir, sementara suara bising dari mesin peniup (blower) oksigen terus menggelitik telinga dan menimbulkan gelembung-gelembung di seantero kolam.

Di sebelah timur kedua tambak adalah jalan raya padat lalulintas yang menghubungkan Kota Makassar dan Parepare, sementara di sebelah baratnya adalah Pantai Kuppa, Kabupaten Barru, yang sangat indah saat matahari akan terbenam.

Di lokasi inilah Dr Ir Hasanuddin Atjo, MP memulai uji coba teknologi budi daya udang supra intensif tahun 2011, pada salah satu kolam berukuran 30x30 meter persegi warisan orang tuanya. Kolam itu direkonstruksi menjadi tambak beton yang dapat menampung air setinggi 2,8 meter dari dasar kolam.

Kunci sukses teknologi budidaya ini adalah pada penanganan limbah yang intensif dan efektif menggunakan teknologi central drain lalu dipadu dengan penerapan empat subsistem budidaya lainnya yakni penggunaan benih unggul, standarisasi sarana dan prasarana yang digunakan seperti kincir, pemberian pakan, dan suplai oksigen, manajemen usaha yang baik serta penerapan panen parsial.

Teknologi central drain sebagai kunci utama sistem budi daya ini berfungsi menyedot dan membuang sedimentasi pakan yang beredar dalam kolam sehingga lingkungan udang terjamin kesehatannya.

Dua tahun setelah uji coba diterapkan, teknologi ini kemudian diluncurkan secara resmi pada Oktober 2013 oleh Ketua Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) Prof Dr Rokhmin Dahuri di lokasi tambak tersebut yang terletak sekitar 150 kilometer utara Kota Makassar.

Pada saat panen sehari sebelum peluncuran dilakukan, produktivitas tambak tercatat 15,3 ton untuk areal sekitar 1.000 meter persegi, atau bila dikonversi ke satuan hektare mencapai 153 ton/hektare.

"Menurut catatan kami, ini adalah produktivitas udang tertinggi di dunia saat ini," ungkap Rokhmin Dahuri, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan tersebut dalam sambutannya saat meresmikan peluncuran teknologi budidaya udang dengan nama Supra Intensif Indonesia (SII) saat itu.

Hasil penjualan udang dengan margin sampai 40 persen itu semuanya diinvestasikan untuk melakukan inovasi-inovasi baru guna menemukan konfigurasi subsistem budidaya yang paling ideal guna menghasilkan produktivitas yang paling tinggi.

Pada 2014, areal uji coba ditambah menjadi dua petak sehingga total areal yang digunakan kini mencapai 2.000 meter persegi dan siklus panen dipertahankan dua kali setahun dengan masa budidaya empat bulan dan panen parsial sampai lima kali dalam satu siklus.

Meningkat drastis

Alhasil, berkat inovasi tiada henti yang dilakukan Hasanuddin Atjo selaku penemu teknologi itu, produktivitas teknologi SII mencatat kemajuan baru dengan menghasilkan 20 kilogram per meter persegi atau 200 ton per hektare pada panen siklus kedua 2015, Minggu (6/12).

"Produktivitas ini naik sekitar 30 persen dibanding saat teknologi tersebut diluncurkan pada Oktober 2013 yang tercatat 153 ton per hektare," ucap Hasanuddin Atjo di sela-sela panen.

Pada siklus pertama 2015, kedua tambak itu menghasilkan 17 ton/2.000 meter persegi atau 170 ton/hektare.

Produktivitas siklus pertama dan kedua tahun 2015 ini meningkat cukup tajam setelah diterapkannya inovasi baru yakni meningkatkan pasokan oksigen ke dalam kolam dengan menambah kapasitas blower menjadi 27 "horse power" atau tenaga kuda (HP) serta memasang sejumlah turbo turbin.

Suplai oksigen yang besar ini tidak hanya bermanfaat untuk pernapasan udang, tetapi juga untuk mengikat sedimentasi di dalam kolam sehingga lingkungan menjadi lebih bersih.

Selain itu, program pemberian pakan (feeding program) terus disempurnakan dengan menerapkan sistem hatchery di mana benih udang diberi pakan secara maksimum di dalam kolam hatchery berukuran sekitar 10x10 meter saat berusia 0 sampai 25 hari, setelah itu baru dipindahkan ke kolam pembudidayaan hingga usia panen.

"Filosofinya diambil dari kehidupan manusia, di mana pada usia balita, asupan makanan harus dilakukan secara maksimum karena akan sangat menentukan perkembangan anak di kemudian hari," ujar Hasanuddin Atjo yang juga Ketua Shrimp Club Indoesia (SCI) Wilayah Sulawesi itu.

Karena itu, saat udang berumur 0-25 hari, semuanya dikumpulkan pada kolam kecil di mana pemberian pakan dilakukan secara intensif sehingga di setiap tempat pergerakannya, baik ke samping, atas dan bawah, udang akan selamanya menemukan makanan.

"Kalau pemberian pakan pada tahap ini maksimal, maka pada umur 25 hari, ukuran udang minimal sudah mencapai dua gram per ekor. Saat udang-udang itu dipindahkan ke kolam budi daya, pertumbuhannya akan lari lebih kencang sehingga dalam tempo tiga bulan saja, panen sudah bisa selesai dilakukan dengan ukuran udang 35 ekor per kilogram," ujar Atjo yang juga Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulteng itu.

Doktor perikanan Universitas Hasanuddin Makassar 2004 ini mengatakan penelitian ini masih akan terus dikembangkannya dengan menginvestasikan hampir seluruh hasil penjualan udang yang diperolehnya selama ini, karena ia yakin, teknologi itu bisa mencapai produktivitas 300 ton per hektare.

Jawaban berbagai krisis

Akhir-akhir ini, Indonesia dirundung berbagai masalah mulai dari merosotnya nilai tukar rupiah, musim kemarau yang berkepanjangan dan kini menghadapi persaingan di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) mulai Januari 2016.

Melemahnya nilai rupiah hingga menembus angka Rp14.500 per dolar AS dan diperparah musim kemarau berkepanjangan, berdampak terhadap turunnya kinerja ekspor komoditas agro dan perikanan karena proses budi daya terganggu dan akhirnya mengancam pasokan bahan baku ke industri pengolahan.

Panjangnya musim kering menyebabkan salinitas (kadar garam) air tambak meningkat tajam dan beda temperatur air siang dan malam menjadi ekstrem.

Kedua variabel lingkungan ini menghambat pertumbuhan udang pada tambak-tambak konvensional sehingga memerlukan waktu lebih lama dari biasanya dan ongkos lebih mahal untuk mencapai ukuran tertentu, bahkan di beberapa kasus menyebabkan kematian massal.

Oleh karena itu, tutur Hasanuddin Atjo, diperlukan teknologi budidaya yang dapat diimplementasikan untuk memproduksi udang meskipun kondisi iklim tidak menunjang dan jawabannya adalah teknologi supra intensif Indonesia.

Selain tahan terhadap dampak kemarau, teknologi ini akan membantu Indonesia untuk terus meningkatkan produksi agar tetap menjadi negara penghasil udang besar di dunia dengan kualitas yang tidak mungkin ditolak pasar global yang sangat kritis terhadap masalah lingkungan.

"Teknologi SII ini juga akan meningkatkan daya saing Indonesia menghadapi era MEA," ujarnya.

Tercatat ekspor perikanan Indonesia tahun 2014 sekitar 4,7 miliar dolar AS dan separuhnya disumbangkan oleh udang dari bahan baku sekitar 250.000 ton.

Selain itu, berkurangnya suplai bahan baku ikut mendongkrak harga. Kini udang vaname ukuran 50 ekor per kilogram di tingkat pembudidaya dihargai Rp80.000 per kilogram yang sebelumnya sekitar Rp60.000.

Karena itu teknologi budi daya ini akan sangat membantu dalam meningkatkan perolehan devisa dan pengembangan industri agro di dalam negeri serta mempekuat ketahanan pangan, justru pada saat-saat krisis melanda negeri seperti melemahnya nilai rupiah, musim kemarau panjang dan semakin ketatnya persaingan di tingkat regional dan global. (R007/C004)