Kemenkeu: Proyeksi ekonomi RI kuat di tengah moderasi global
Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu menilai proyeksi ekonomi Indonesia pada tahun 2022 dan 2023 oleh Dana Moneter Internasional (IMF) tetap kuat di tengah moderasi pertumbuhan ekonomi global.
IMF memprediksikan ekonomi RI tumbuh 5,6 persen dan enam persen pada 2022 dan 2023, dari 3,3 persen di 2021, lebih baik dari moderasi ekonomi global ke 4,4 persen dan 3,8 persen di 2022 serta 2023, dari 5,9 persen pada 2021.
“Kuatnya perekonomian Indonesia yang sudah terlihat pada tahun 2022 dan berlanjut ke tahun 2023 adalah bukti bahwa penanganan pandemi berbuah signifikan pada relatif cepatnya pemulihan ekonomi Indonesia," ujar Febrio dalam keterangan resmi di Jakarta, Rabu.
Dengan demikian, ia menilai kebijakan penanganan pandemi dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang efektif pada 2021 dan diperkuat dengan penciptaan tenaga kerja selain kesehatan dan perlindungan masyarakat di 2022 menjadi faktor penting, sehingga momentum pemulihan perlu dijaga dengan tetap waspada terhadap berbagai risiko.
Beberapa risiko yang perlu diwaspadai ke depan antara lain potensi kemunculan varian baru COVID-19, isu disrupsi suplai dan volatilitas harga energi yang memberi ketidakpastian pada tingkat inflasi, serta risiko pada stabilitas keuangan di negara-negara emerging market.
"Selain itu, normalisasi kebijakan moneter negara maju dengan menaikkan suku bunga, tensi geopolitik yang masih tinggi, dan isu perubahan iklim juga menjadi risiko-risiko yang perlu diwaspadai ke depan," katanya.
Menurut dia, IMF memberikan beberapa rekomendasi penguatan kerangka kebijakan komprehensif, yaitu memperkuat kebijakan sektor kesehatan termasuk pemerataan vaksin, perubahan kebijakan moneter yang harus didukung dengan komunikasi efektif, memperkuat posisi dan kesinambungan fiskal, memperkuat kerja sama internasional,serta melanjutkan reformasi struktural dan kebijakan perubahan iklim.
Adapun beberapa penyebab turunnya prediksi IMF terhadap pertumbuhan ekonomi global adalah kemunculan varian Omicron, kenaikan harga energi dan disrupsi suplai yang mendorong lonjakan inflasi, serta adanya kebijakan pengetatan regulasi pada sektor perumahan di Tiongkok.
Moderasi terjadi secara luas pada ekonomi negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS), Tiongkok, serta Eropa, di mana pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam diperkirakan turun dari 5,6 persen di 2021 menuju ke empat persen pada 2022, dan 2,6 persen di 2023.
Dalam periode yang sama, proyeksi pertumbuhan Tiongkok adalah 8,1 persen, 4,8 persen, dan 5,2 persen, sedangkan di Eropa sebesar 5,2 persen, 3,9 persen, dan 2,5 persen.
Febrio menjelaskan arah normalisasi kebijakan moneter serta berlanjutnya disrupsi pasokan diperkirakan menjadi kontributor utama melambatnya pertumbuhan ekonomi AS, sementara perlambatan yang terjadi pada perekonomian Tiongkok diperkirakan merupakan dampak adanya disrupsi pada sektor perumahan serta kebijakan zero Covid-19 yang mempengaruhi mobilitas.
Di Eropa, perkembangan COVID-19 dan gangguan pasokan juga berpotensi mempengaruhi perekonomian ke depan di wilayah tersebut.
Sedangkan, IMF memproyeksikan pertumbuhan negara-negara emerging market utama beragam di 2021 hingga 2023, salah satunya yakni India yang diperkirakan tumbuh tinggi masing-masing sembilan persen pada tahun 2021 dan 2022, namun menurun menjadi 7,1 persen di 2023.
Prospek perekonomian India diperkirakan membaik seiring pertumbuhan kredit yang diperkirakan akan berpengaruh positif pada tingkat investasi dan konsumsi.
Di Kawasan ASEAN-5, ekonomi diperkirakan meningkat pada 2021-2023, contohnya Malaysia sebesar 3,5 persen, 5,7 persen, dan 5,7 persen, Thailand sebesar 1,3 persen, 4,1 persen, dan 4,7 persen,serta Filipina 4,6 persen, 6,3 persen, dan 4,9 persen.
IMF memprediksikan ekonomi RI tumbuh 5,6 persen dan enam persen pada 2022 dan 2023, dari 3,3 persen di 2021, lebih baik dari moderasi ekonomi global ke 4,4 persen dan 3,8 persen di 2022 serta 2023, dari 5,9 persen pada 2021.
“Kuatnya perekonomian Indonesia yang sudah terlihat pada tahun 2022 dan berlanjut ke tahun 2023 adalah bukti bahwa penanganan pandemi berbuah signifikan pada relatif cepatnya pemulihan ekonomi Indonesia," ujar Febrio dalam keterangan resmi di Jakarta, Rabu.
Dengan demikian, ia menilai kebijakan penanganan pandemi dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang efektif pada 2021 dan diperkuat dengan penciptaan tenaga kerja selain kesehatan dan perlindungan masyarakat di 2022 menjadi faktor penting, sehingga momentum pemulihan perlu dijaga dengan tetap waspada terhadap berbagai risiko.
Beberapa risiko yang perlu diwaspadai ke depan antara lain potensi kemunculan varian baru COVID-19, isu disrupsi suplai dan volatilitas harga energi yang memberi ketidakpastian pada tingkat inflasi, serta risiko pada stabilitas keuangan di negara-negara emerging market.
"Selain itu, normalisasi kebijakan moneter negara maju dengan menaikkan suku bunga, tensi geopolitik yang masih tinggi, dan isu perubahan iklim juga menjadi risiko-risiko yang perlu diwaspadai ke depan," katanya.
Menurut dia, IMF memberikan beberapa rekomendasi penguatan kerangka kebijakan komprehensif, yaitu memperkuat kebijakan sektor kesehatan termasuk pemerataan vaksin, perubahan kebijakan moneter yang harus didukung dengan komunikasi efektif, memperkuat posisi dan kesinambungan fiskal, memperkuat kerja sama internasional,serta melanjutkan reformasi struktural dan kebijakan perubahan iklim.
Adapun beberapa penyebab turunnya prediksi IMF terhadap pertumbuhan ekonomi global adalah kemunculan varian Omicron, kenaikan harga energi dan disrupsi suplai yang mendorong lonjakan inflasi, serta adanya kebijakan pengetatan regulasi pada sektor perumahan di Tiongkok.
Moderasi terjadi secara luas pada ekonomi negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS), Tiongkok, serta Eropa, di mana pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam diperkirakan turun dari 5,6 persen di 2021 menuju ke empat persen pada 2022, dan 2,6 persen di 2023.
Dalam periode yang sama, proyeksi pertumbuhan Tiongkok adalah 8,1 persen, 4,8 persen, dan 5,2 persen, sedangkan di Eropa sebesar 5,2 persen, 3,9 persen, dan 2,5 persen.
Febrio menjelaskan arah normalisasi kebijakan moneter serta berlanjutnya disrupsi pasokan diperkirakan menjadi kontributor utama melambatnya pertumbuhan ekonomi AS, sementara perlambatan yang terjadi pada perekonomian Tiongkok diperkirakan merupakan dampak adanya disrupsi pada sektor perumahan serta kebijakan zero Covid-19 yang mempengaruhi mobilitas.
Di Eropa, perkembangan COVID-19 dan gangguan pasokan juga berpotensi mempengaruhi perekonomian ke depan di wilayah tersebut.
Sedangkan, IMF memproyeksikan pertumbuhan negara-negara emerging market utama beragam di 2021 hingga 2023, salah satunya yakni India yang diperkirakan tumbuh tinggi masing-masing sembilan persen pada tahun 2021 dan 2022, namun menurun menjadi 7,1 persen di 2023.
Prospek perekonomian India diperkirakan membaik seiring pertumbuhan kredit yang diperkirakan akan berpengaruh positif pada tingkat investasi dan konsumsi.
Di Kawasan ASEAN-5, ekonomi diperkirakan meningkat pada 2021-2023, contohnya Malaysia sebesar 3,5 persen, 5,7 persen, dan 5,7 persen, Thailand sebesar 1,3 persen, 4,1 persen, dan 4,7 persen,serta Filipina 4,6 persen, 6,3 persen, dan 4,9 persen.